Wednesday, August 30, 2023

TEORI KONFLIK MENURUT RALF DAHRENDORF

 

kompasiana.com
 

A.            BIOGRAFI

Dahrendorf merupakan salah satu tokoh sosiolog yang lahir pada tanggal 1 Mei 1929  di Hamburg Jerman. Ia dikenal juga sebagai filsuf, ilmuwan politik, dan politikus liberal Jerman-Britania. Dahrendorf lahir dari pasangan dari Gustav dan Lina. Semasa hidupnya, Dahrendorf menikah dua kali, yakni Ellen Dahrendorf  (1980–2004) sebagai pasangan pertama dan Christiane Dahrendorf  (2004–2009) sebagai pasangan kedua. Dahrendorf juga dikaruniai tiga orang anak yakni Alexandra DahrendorfNicola DahrendorfDaphne Dahrendorf.

Dahrendorf kecil hidup pada rezim Nazi. Hal ini menyebabkan Dahrendorf mempunyai banyak pengalaman mengenai kekejaman terhadap rezim Nazi. Dahrendorf remaja mendukung kegiatan anti Nazi dan sangat menentang kekejaman Nazi. Dahrendorf bersama ayahnya yang seorang anggota SPD Parlemen Jerman, ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi supaya kegiatan mereka anti-Nazi selama nasional sosialis rezim.

Setelah perang dunia II, Dahrendorf terlibat dalam politik praktis di Jerman Barat. Ia bahkan pernah menjadi anggota parlemen. Dahrendorf juga menduduki jabatan prestisius sebagai direktur London School of Economics tahun 1974-1984. Dari pemikirannya Dahrendorf mempunyai pengaruh yang luas dan tidak terbatas di negaranya.

Dahrendorf mempelajari filsafat psikologi dan sosiologi di Universitas Hamburg tahun 1947-1952 dan meraih gelar doktor filsafat. Selanjutnya pada tahun 1957-1960 ia menjadi profesor ilmu sosiologi di Hambur, Universitas Konstanz, dan Universitas Tabingen. Tahun 1986-1997 Dahrendorf menetap di Inggris dan menjadi warga-warga Inggris di tahun 1988. Dan tahun 1974-1984, Dahrendorf menjadi direktur London School of Economics di London[1]. Pada tahun 1993, Ralf Dahrendorf telah dianugerahi penghargaan gelar sebagi Baron[2].

Ralf Dahrendorf meninggal dunia dalam usia ke-80 di Cologne, Jerman 17 Juni 2009 akibat penyakit kanker yang dideritanya. Dahrendorf meninggalkan seorang istri, tiga putri, dan satu cucu. Sebagai seorang sosiolog era moderen, ia tertarik akan konflik kelas, Dahrendorf merupakan tokoh ternama menganalisis pembagian kelas di masyarakat modern dan diakui sebagai salah satu tokoh pemikir paling berpengaruh di masanya.

 

B.            KARYA-KARYA PEMIKIRAN RAFL DAHRENDORF

Dahrendorf bersama Lewis A.Coser, Gyorgy Lukacs, dan Randal Collins termasuk tokoh teori konflik kontemporer. Karya-karya yang dihasilkan oleh Dahrendorf tidak terlepas dari karya dan pemikiran Karl Marx. Publikasi pertama karya Dahrendorf yakni sebuah tesis tentang filsafat sosial yang berisi kritik terhadap teori Marxis. Tesisnya ini tertuang pula dalam edisi Jerman di buku Modern Konflik Sosial (1992). Teori Konflik Dahrendorf menarik perhatian banyak pihak terutama para sosiolog Amerika. Ia mempublikasikan karya spektakulernya berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society pada tahun 1959[3].


C.            ESENSI TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF

Konflik merupakan gejala yang pasti datang dalam kehidupan sosial masyarakat dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan Karl Marx, Dahrendorf mempunyai pandangan tentang konflik sosial bahwa terjadinya pengelompokan kelas tidak hanya berdasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan–hubungan kekuasaan. Dari hal ini, konflik akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem (hubungan) tersebut. Karenanya konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem. Teori konflik Dahrendorf memaparkan jika relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan.

Dahrendorf menjelaskan bahwa suatu bentuk dari keteraturan di dalam kehidupan masyarakat berasal dari pemaksaan oleh anggotanya pada mereka yang telah memiliki kekuasaan. Yang memiliki kekuasaan selalu menjadi faktor dari konflik sosial. Dalam kehidupan sosial memiliki kekuasaan yang berbeda-beda. Kekuasaan tersebut memiliki dua unsur yaitu penguasa dan orang yang dikuasai[4].

Menurutnya wewenang dan Posisi merupakan kunci utama dari konflik sosial. Perbedaan wewenang menyebabkan perbedaan posisi didalamnya. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata merupakan faktor terjadinya sebuah konflik.  Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan. Apabila seseorang memegang kekuasaan memiliki kewajiban atau beban untuk mempertahankan statusnya pada saat bersamaan. 

Intinya bahwa dalam konflik masyarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus (kesepakatan yang disetujui bersama). Dahrendorf memaparkan tentang kelompok, konflik dan perubahan. Bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang melakukan perubahan dalam struktur sosial.

Sebuah kelompok masyarakat tidak akan ada apabila tidak ada konsensus dan konflik menjadi salah satu kesepakatannya[5]. Hal tersebutlah yang membuat Dahrendorf berpendapat bahwa teori konflik harus dibagi menjadi dua bagian, yakni teori konflik dan teori konsensus. Konflik dapat menimbulkan adanya disintegrasi karena masyarakat tunduk pada proses perubahan dengan pertentangan yang saling beriringan, sedangkan konsensus menciptakan adanya persamaan nilai moral dan norma-norma dalam masyarakat yang dianggap penting bagi keberlangsungan dan perkembangan masyarakat, sehingga muncullah kerjasama antaranggota masyarakat dan dari situlah terjadi adanya integrasi[6].

Dapat disimpulkan konflik menurut Dahrendorf diperlukan agar terciptanya perubahan sosial. Konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya pertentangan dalam kepentingan. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan, sehingga pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan (konsesus) bersama.  Keteraturan yang terjadi pada masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.


D.            IMPLEMENTASI TEORI KONFLIK MENURUT RALF DAHRENDORF

Konflik menurut Dahrendorf  harus dibagi menjadi dua bagian, yakni konflik dan konsensus. Konflik dapat menimbulkan adanya disintegrasi (perpecahan) karena masyarakat tunduk pada proses perubahan dengan pertentangan, sedangkan konsensus menciptakan adanya persamaan nilai moral dan norma-norma yang dianggap penting bagi keberlangsungan dan perkembangan masyarakat. 

Ia percaya bahwa dalam masyarakat ada dua dimensi yang beriringan yakni konflik dan kerja sama. Konflik muncul karena adanya pertentangan kepentingan (kekuasaan) antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Akan tetapi disisi lain, kerja sama juga diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan kesatuan sosial. Baginya, dalam masyarakat modern konflik tidak selalu tentang kepemilikan sarana produksi sebagai pengontrol akan tetapi pertentangan mengenai legitimasi kekuasaan.

Sebagai contoh konket saat ini mulai gencar-gencarnya menyuarakan kesetaraan gender. Gender merupakan pandangan sosial bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan sebagaimana tuntutan masyarakat. Gender erat kaitannya dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Ketika pandangan sosial itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena ‘dianggap’ kodrati dan alamiah.

Kelompok wanita mulai menyadari perlunya kesetaraan dengan kaum pria dan menolak posisi semu yang diabaikan dalam struktur sosial. Kemunculan persoalan keterataan gender membuat kaum wanita menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Banyak upaya yang dilakukan kaum perempuan untuk menyuarakan kesetraan genter diantaranya adanya Komnas Perempuan, Samahita Bandung, Hollaback Jakarta, Lentera Sintas Indonesia[7].

Dengan adanya penyuaraan terhadap kesetaraan gender, maka menunjukan bahwa konflik yang terjadi tidak berkaitan dengan kepemilikan lahan produksi. Kaum perempuan menyarakan haknya agar memiliki kesaaman hak dengan laki-laki yang selama ini dipandang memiliki kuasa dalam segala hal. Hal ini sesuai dengan persepektif konflik sosial menurut Dahrendorf bahwa kelompok yang berkuasa (laki-laki) cenderung menciptakan ideologi untuk membenarkan dominasinya, sementara kelompok yang kurang berkuasa (perempuan) mungkin menciptakan ancaman terhadap ideologi tersebut dengan melakukan pemberontakan.

Dari konflik sosial ini juga menciptakan kerjasama positif terhadap kaum perempuan. Mereka bersatu padu melawan segala bentuk kekerasan yang di terima atas ketidakadilan gender dan saling mendukung untuk menyuarakan pendapat di depan publik. Hal inilah yang menurut Dahrendorf membentuk kerjasama (integrasi) bagi perempuan sebagai akibat dari konflik.

 

 

 


[1] George Ritzer & Goodman, Douglas J. 1997. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 103.

[2] Zety Tafiah. 2021. Konversi Bercadar Pada Santri di Pondok Pesantren Thoriqul Ulum Lamongan Perspektif Teori Konflik Ralf Dahrendorf. SKRIPSI. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

[3] Fauziah Nur Aini. 2018. Studi Kasus Penggunaan Rumah Tinggal Sebagai Tempat Ibadah Bagi Umat Kristen Batak Protestan di Pondok Benowo Indah, Babat Jerawat, Pakal, Surabaya. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

[4] Fajri M. Kasim dan Abidin Nurdin. 2015. Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi:Sosiologi Masyarakat Aceh. Aceh: Unimal Press. Hal. 52.

[5] Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Rajawali Pers.

[6] Rany Rizkyah Putri. Konflik Sosial Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf). Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2018

[7] Nisita Widianti. 2019. 5 Komunitas dan Yayasan yang Peduli dengan Perempuan Korban Kekerasan. Online. https://journal.sociolla.com/lifestyle/komunitas-peduli-perempuan-korban-kekerasan (diakses pada 30 Agustus 2023)

No comments:

Post a Comment