![]() |
kompasiana.com |
A.
BIOGRAFI
Dahrendorf merupakan salah satu tokoh sosiolog
yang lahir pada tanggal 1 Mei 1929 di
Hamburg Jerman. Ia dikenal juga sebagai filsuf, ilmuwan politik, dan politikus
liberal Jerman-Britania. Dahrendorf lahir dari pasangan dari Gustav dan Lina. Semasa
hidupnya, Dahrendorf menikah dua kali, yakni Ellen Dahrendorf
(1980–2004) sebagai pasangan pertama dan Christiane
Dahrendorf (2004–2009) sebagai pasangan kedua.
Dahrendorf juga dikaruniai tiga orang anak yakni Alexandra Dahrendorf, Nicola Dahrendorf, Daphne Dahrendorf.
Dahrendorf kecil
hidup pada rezim Nazi. Hal ini menyebabkan Dahrendorf mempunyai banyak
pengalaman mengenai kekejaman terhadap rezim Nazi. Dahrendorf remaja mendukung
kegiatan anti Nazi dan sangat menentang kekejaman Nazi. Dahrendorf bersama
ayahnya yang seorang anggota SPD Parlemen Jerman, ditangkap dan dikirim ke kamp
konsentrasi supaya kegiatan mereka anti-Nazi selama nasional sosialis rezim.
Setelah perang
dunia II, Dahrendorf terlibat dalam politik praktis di Jerman Barat. Ia bahkan
pernah menjadi anggota parlemen. Dahrendorf juga menduduki jabatan prestisius
sebagai direktur London School of Economics
tahun 1974-1984. Dari pemikirannya Dahrendorf mempunyai pengaruh yang luas
dan tidak terbatas di negaranya.
Dahrendorf mempelajari
filsafat psikologi dan sosiologi di Universitas Hamburg tahun 1947-1952 dan meraih
gelar doktor filsafat. Selanjutnya pada tahun 1957-1960 ia menjadi profesor
ilmu sosiologi di Hambur, Universitas Konstanz, dan Universitas Tabingen. Tahun
1986-1997 Dahrendorf menetap di Inggris dan menjadi warga-warga Inggris di
tahun 1988. Dan tahun 1974-1984, Dahrendorf menjadi direktur London School of
Economics di London[1].
Pada tahun 1993, Ralf Dahrendorf telah dianugerahi penghargaan gelar sebagi
Baron[2].
Ralf Dahrendorf
meninggal dunia dalam usia ke-80 di Cologne, Jerman 17 Juni 2009 akibat
penyakit kanker yang dideritanya. Dahrendorf meninggalkan seorang istri, tiga
putri, dan satu cucu. Sebagai seorang sosiolog era moderen, ia tertarik akan konflik
kelas, Dahrendorf merupakan tokoh ternama menganalisis pembagian kelas di
masyarakat modern dan diakui sebagai salah satu tokoh pemikir paling berpengaruh
di masanya.
B.
KARYA-KARYA PEMIKIRAN RAFL
DAHRENDORF
Dahrendorf bersama Lewis A.Coser, Gyorgy Lukacs, dan Randal Collins termasuk tokoh teori konflik kontemporer. Karya-karya yang dihasilkan oleh Dahrendorf tidak terlepas dari karya dan pemikiran Karl Marx. Publikasi pertama karya Dahrendorf yakni sebuah tesis tentang filsafat sosial yang berisi kritik terhadap teori Marxis. Tesisnya ini tertuang pula dalam edisi Jerman di buku Modern Konflik Sosial (1992). Teori Konflik Dahrendorf menarik perhatian banyak pihak terutama para sosiolog Amerika. Ia mempublikasikan karya spektakulernya berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society pada tahun 1959[3].
C.
ESENSI TEORI KONFLIK RALF
DAHRENDORF
Konflik merupakan
gejala yang pasti datang dalam kehidupan sosial masyarakat dan menjadi bagian
dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan Karl Marx, Dahrendorf mempunyai
pandangan tentang konflik sosial bahwa terjadinya pengelompokan kelas tidak hanya berdasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan–hubungan kekuasaan. Dari hal ini, konflik akan muncul melalui
relasi-relasi sosial dalam sistem (hubungan) tersebut. Karenanya konflik tidak mungkin
melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem. Teori konflik Dahrendorf memaparkan jika relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh
kekuasaan.
Dahrendorf menjelaskan
bahwa suatu bentuk dari keteraturan di dalam kehidupan masyarakat berasal dari pemaksaan oleh anggotanya pada mereka yang telah memiliki kekuasaan. Yang memiliki kekuasaan selalu menjadi faktor dari konflik sosial. Dalam
kehidupan sosial memiliki kekuasaan yang berbeda-beda. Kekuasaan tersebut memiliki dua unsur yaitu penguasa
dan orang yang dikuasai[4].
Menurutnya
wewenang dan Posisi merupakan kunci utama dari konflik sosial. Perbedaan
wewenang menyebabkan perbedaan posisi didalamnya. Distribusi kekuasaan dan
wewenang yang tidak merata merupakan faktor terjadinya sebuah konflik. Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang
menakutkan. Apabila seseorang memegang kekuasaan memiliki kewajiban atau beban
untuk mempertahankan statusnya pada saat bersamaan.
Intinya bahwa dalam konflik masyarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus
(kesepakatan yang disetujui bersama). Dahrendorf memaparkan tentang kelompok,
konflik dan perubahan. Bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok
itu melakukan tindakan yang melakukan perubahan dalam struktur sosial.
Sebuah kelompok
masyarakat tidak akan ada apabila tidak ada konsensus dan konflik menjadi salah
satu kesepakatannya[5].
Hal tersebutlah yang membuat Dahrendorf berpendapat bahwa teori konflik harus
dibagi menjadi dua bagian, yakni teori konflik dan teori konsensus. Konflik
dapat menimbulkan adanya disintegrasi karena masyarakat tunduk pada proses
perubahan dengan pertentangan yang saling beriringan, sedangkan konsensus
menciptakan adanya persamaan nilai moral dan norma-norma dalam masyarakat yang
dianggap penting bagi keberlangsungan dan perkembangan masyarakat, sehingga
muncullah kerjasama antaranggota masyarakat dan dari situlah terjadi adanya
integrasi[6].
Dapat
disimpulkan konflik menurut Dahrendorf diperlukan agar terciptanya
perubahan sosial. Konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena
adanya pertentangan dalam kepentingan. Di dalam konflik, selalu ada
negosiasi-negosiasi yang dilakukan, sehingga pada suatu titik tertentu,
masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan (konsesus) bersama. Keteraturan yang
terjadi pada masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori
konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
D.
IMPLEMENTASI TEORI KONFLIK
MENURUT RALF DAHRENDORF
Konflik menurut Dahrendorf harus dibagi menjadi dua bagian, yakni konflik dan konsensus. Konflik dapat menimbulkan adanya disintegrasi (perpecahan) karena masyarakat tunduk pada proses perubahan dengan pertentangan, sedangkan konsensus menciptakan adanya persamaan nilai moral dan norma-norma yang dianggap penting bagi keberlangsungan dan perkembangan masyarakat.
Ia percaya bahwa dalam masyarakat ada dua dimensi yang beriringan yakni konflik dan kerja sama. Konflik muncul karena adanya pertentangan kepentingan (kekuasaan) antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Akan tetapi disisi lain, kerja sama juga diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan kesatuan sosial. Baginya, dalam masyarakat modern konflik tidak selalu tentang kepemilikan sarana produksi sebagai pengontrol akan tetapi pertentangan mengenai legitimasi kekuasaan.
Sebagai contoh
konket saat ini mulai gencar-gencarnya menyuarakan kesetaraan gender. Gender
merupakan pandangan sosial bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan
sebagaimana tuntutan masyarakat. Gender erat kaitannya dengan pembagian peran,
kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh
masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan
menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Ketika pandangan
sosial itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena ‘dianggap’
kodrati dan alamiah.
Kelompok wanita
mulai menyadari perlunya kesetaraan dengan kaum pria dan menolak posisi semu
yang diabaikan dalam struktur sosial. Kemunculan persoalan keterataan gender
membuat kaum wanita menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Banyak upaya yang dilakukan kaum perempuan untuk menyuarakan kesetraan genter
diantaranya adanya Komnas Perempuan, Samahita Bandung, Hollaback Jakarta,
Lentera Sintas Indonesia[7].
Dengan adanya
penyuaraan terhadap kesetaraan gender, maka menunjukan bahwa konflik yang
terjadi tidak berkaitan dengan kepemilikan lahan produksi. Kaum perempuan menyarakan
haknya agar memiliki kesaaman hak dengan laki-laki yang selama ini dipandang
memiliki kuasa dalam segala hal. Hal ini sesuai dengan persepektif konflik
sosial menurut Dahrendorf bahwa kelompok yang berkuasa (laki-laki) cenderung
menciptakan ideologi untuk membenarkan dominasinya, sementara kelompok yang
kurang berkuasa (perempuan) mungkin menciptakan ancaman terhadap ideologi
tersebut dengan melakukan pemberontakan.
Dari konflik
sosial ini juga menciptakan kerjasama positif terhadap kaum perempuan. Mereka
bersatu padu melawan segala bentuk kekerasan yang di terima atas ketidakadilan
gender dan saling mendukung untuk menyuarakan pendapat di depan publik. Hal
inilah yang menurut Dahrendorf membentuk kerjasama (integrasi) bagi perempuan
sebagai akibat dari konflik.
[1]
George Ritzer &
Goodman, Douglas J. 1997. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. Hal 103.
[2] Zety Tafiah. 2021. Konversi
Bercadar Pada Santri di Pondok Pesantren Thoriqul Ulum Lamongan Perspektif
Teori Konflik Ralf Dahrendorf. SKRIPSI. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
[3] Fauziah Nur Aini. 2018. Studi Kasus Penggunaan Rumah Tinggal Sebagai Tempat Ibadah Bagi Umat Kristen Batak Protestan di Pondok Benowo Indah, Babat Jerawat, Pakal, Surabaya. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
[4] Fajri M. Kasim dan Abidin Nurdin. 2015. Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi:Sosiologi Masyarakat Aceh. Aceh: Unimal Press. Hal. 52.
[5] Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Rajawali
Pers.
[6]
Rany
Rizkyah Putri. Konflik Sosial Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf). Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2018
[7]
Nisita Widianti.
2019. 5 Komunitas dan Yayasan yang Peduli dengan Perempuan Korban Kekerasan.
Online. https://journal.sociolla.com/lifestyle/komunitas-peduli-perempuan-korban-kekerasan
(diakses pada 30 Agustus 2023)
No comments:
Post a Comment