INTISARI
Sungai Kapuas atau Sungai Kapuas Buhang atau Batang Lawai (Laue)
merupakan sungai yang ada di Kalimantan Barat. Sungai ini
merupakan sungai terpanjang di pulau Kalimantan dan
sekaligus menjadi sungai terpanjang di Indonesia. Sungai
yang mempunyai panjang sekitar 1.178 Km ini terdapat lebih dari 300 spesies
ikan hidup. Sungai Kapuas terbentang dari Kabupaten
Kapuas Hulu hingga muaranya yang relatif tidak jauh dari pusat kota Pontianak.
Hingga daerah sepanjang aliran sungai Kapuas sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi objek wisata, terutama di Kota Pontianak.
Sungai Kapuas yang
dulunya menjadi
urat nadi bagi kehidupan masyarakat (terutama suku Dayak dan Melayu)
di sepanjang aliran sungai. Sebagai sarana transportasi yang murah, Sungai Kapuas
dapat menghubungkan daerah satu ke daerah lain di wilayah Kalimantan Barat,
dari pesisir Kalimantan Barat sampai ke daerah pedalaman Putussibau
dihulu sungai ini. Selain itu, sungai Kapuas juga merupakan
sumber mata pencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi
nelayan/penangkap ikan secara tradisional.
Namun,
belakangan ini Sungai Kapuas
telah tercemar logam berat dan berbagai
jenis bahan kimia, akibat
aktivitas penambangan emas dan perak di
bagian tengah sungai ini. Selain telah tercemar oleh
adanya penambangan, Sungai Kapuas juga tercemar oleh adanya aktivitas penduduk
yang ada dilingkungan sekitarnya terutama di wilayah Pontianak. Misalnya pendirian rumah maupun kios dagang secara
liar di lahan-lahan pinggir sungai
serta hampir memadati jalan dekat daerah aliran sungai sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Masyarakat miskin di wilayah
perairan Kapuas itu unik dengan berbagai
problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan
solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka.
Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai pemukiman masyarakat miskin
adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang
harus disingkirkan. Terbentuknya pemukiman disepanjang aliran sungai Kapuas baik di jembatan Landak, jembatan tol 1,
dan jembatan tol 2, membuat kelompok kami tertarik untuk mengetahui apakah
daerah tersebut tergolong pemukiman liar/squater area atau
pemukiman kumuh/slum area dan masalah
sosial apa saja yang terjadi disekitar pemukiman ini. Hal ini karena dapat menimbulkan berbagai perilaku
menyimpang seperti kejahatan dan sumber penyakit sosial lainnya. Sehingga
tanggung jawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan,
solidaritas sosial serta tolong menolong menjadi terabaikan dan kurang
diperhatikan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adanya
permukiman penduduk di tepian Sungai kapuas dengan budaya kehidupan
masyarakatnya yang cukup unik dan ketergantungan terhadap sungai sebagai sumber
kehidupannya dapat menyebabkan berbagai
masalah terhadap daerah disekitar sungai.
Permukiman penduduk yang berada diatas sungai sangat dipengaruhi oleh pasang
surut wilayah perairan, sehingga kondisi lingkungannya yang dinamis tercermin
dari penggunaan air dalam kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan sungai Kapuas oleh
masyarakat permukiman sekitarnya seperti
aktivitas pelayaran, perdagangan, industri,
transportasi air, dan pariwisata membuat
masyarakat tertarik untuk mencari rezeki disekitar sungai ini. Mereka
berlomba-lomba membuat rumah di sepanjang tepi Sungai Kapuas tanpa memikirkan masalah
yang akan timbul dikemudian hari.
Sungai Kapuas seakan menjadi jantung
kehidupan mereka. Berbagai aktivitas keseharian menggantungkan pada sungai yang
tidak bisa dibilang bersih dan sehat itu. Mulai dari mandi, mencuci, dan buang
air dilakukan di satu aliran sungai itu. Tidak
terbayangkan bagaimana kotor dan tidak sehatnya perilaku hidup mereka. Tidak hanya itu, buang
sampah pun mereka lakukan di Sungai
Kapuas. Kebiasaan hidup seperti mengotori
air sungai sementara disisi lain
memanfaatkan air tersebut, menandakan tidak adanya rasa kebersihan dan kesehatan dalam diri
masyarakat sekitar aliran Sungai Kapuas. Kesehatan dan kebersihan seakan tidak
penting untuk dipikirkan bersama.
Pengaruh yang
terjadi di pemukiman liar
sangat banyak sekali di antaranya, pengaruh lingkungan seperti pencemaran air,
pencemaran lingkungan
yang sangat mengganggu untuk kesehatan, pengaruh kenyamanan, dan yang sangat
penting yaitu pegaruh keselamatan. Pengaruh yang dialami penghuni pemukiman liar di pinggiran sungai
yaitu bahaya banjir yang akan mengancam mereka kerugian di sini adalah kerugian
materi yaitu mereka akan kehilangan harta benda akibat luapan air sungai bahkan
nyawa para penghuni pemukiman liar
tersebut juga akan terancam.
Biasanya
penghuni pemukiman liar
untuk mempertahankan hidupnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
tukang sapu jalanan, pengamen, pemulung, pengemis, gelandangan, dan pedagang
kaki lima. Dengan bekerja seperti itu mereka bisa mempertahankan hidupnya di
pemukiman tersebut sehingga menjadi komunitas kumuh di perkotaan. Selanjutnya
penuntutan kebutuhan sarana dan prasarana pemukiman baik dari segi perumahan
maupun lingkungan pemukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya
dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah sehingga
kapasitas daya dukung sarana dan prasarana lingkungan pemukiman yang ada mulai
menurun yang pada gilirannya memberikan kontribusi terjadinya lingkungan
pemukiman liar.
Dengan
bermodalkan pendidikan yang
rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan (kota) yang kurang
memadai mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk
penghuninya. Terjadinya perilaku menyimpang ini karena sulitnya mencari atau
menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas,
selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka harapkan
mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dengan yang diharapkan dan tidak dapat
memperbaiki kehidupan masyarakat.
Terbentuknya pemukiman disepanjang aliran sungai Kapuas baik di jembatan Landak, jembatan tol 1,
dan jembatan tol 2, membuat kelompok kami tertarik untuk mengetahui apakah
daerah tersebut tergolong pemukiman liar/squater area atau pemukiman kumuh/slum area dan masalah sosial apa saja yang terjadi disekitar
pemukiman ini. Berdasarkan latar belakang tersebut
timbul pertanyaan apakah penyebab terbentuknya pemukiman liar di Pontianak ? apa sajakah masalah-masalah
yang timbul akibat pemukiman liar ? bagaimana upaya untuk mengatasi pemukiman liar di Pontianak ?.
Tujuan Penulisan
Artikel
Tujuan
dari penulisan artikel ini adalah:
1. Untuk mengetahui penyebab terbentuknya pemukiman luar di Pontianak.
2. Untuk mengetahui masalah-masalah yang timbul akibat
pemukiman liar.
3. Untuk mengetahui upaya untuk mengatasi pemukiman liar di Pontianak.
Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Pemukiman Liar
Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan
permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta
ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari
penguasa yang membangun, di diami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap
pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa
pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles
Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976
di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).
Menurut Patrick
McAuslan (1986), dalam Purnawan (2004), kehadiran permukiman liar dalam
prakteknya ada beberapa macam:
1.
Massa permukiman liar yang diorganisir.
2.
Keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka
anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka.
3.
Permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu
permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki tanah itu,
tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian tanah untuk
membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik
untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun. Berbekal sedikit sumber
finansial, keterampilan dan akses lain, serta adanya kebebasan nyata untuk
mendiami lahan kosong ilegal telah memberi kemungkinan bagi mereka untuk
membangun tempat-tempat perlindungan darurat (Srinivas, 2007).
B. Masalah-masalah Pemukiman Liar
Permukiman liar umumnya berada di pusat-pusat
perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar
bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin
meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal
daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari
nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan
hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran.
Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum,
kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang
diperhatikan.
Terbentuknya
permukiman liar tersebut dipengaruhi juga oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbangunnya
permukiman liar seperti pertumbuhan ekonomi yang lambat, peraturan pemerintah kota yang setengah hati,
program pembangunan perumahan rakyat yang tak berjalan mulus, sosial
ekonomi, pendidikan dan keahlian, aksesibilitas, pengawasan tanah kurang ketat,
kurangnya pengetahuan dan kesadaarn hukum, dan ketersediaan lahan.
Keberadaan
permukiman liar memberi dampak negatif terhadap tata ruang kota, secara umum
dampak yang diakibatkan adalah degradasi lingkungan hidup dan degradasi
kehidupan sosial. Degradasi lingkungan hidup ini merupakan penurunan kualitas lingkungan
itu sendiri. Masalah-masalah yang
timbul dapat dilihat dari ruang terbuka hijau yang semakin berkurang, drainase
semakin buruk, sirkulasi terganggu, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat.
1.
Ruang Terbuka Hijau Berkurang
Berkurannya
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat mengganggu fungsi RTH secara ekologis,
dimana secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah
banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota.
2.
Drainase Semakin Buruk
Permukiman
yang tidak dirancang dengan baik akan mengganggu sistem drainase di daerah
permukiman itu sendiri, dimana drainase ini berfungsi sebagai saluran
penyerapan air ke dalam tanah, yang pada akhirnya akan mengakibatkan banjir di
daerah tersebut.
3.
Sirkulasi Terganggu
Sirkulasi
transportasi di suatu daerah akan terganggu jika permukiman liar berada pada
jalur- jalur transportasi, seperti jalur kereta api dan pinggir jalan tol.
4.
Tingkat Kesehatan Masyarakat Menurun
Areal yang
difungsikan sebagai permukiman liar tersebut, bukanlah lahan pribadi yang
dimiliki oleh pemukim. Secara tidak langsung, rasa bertanggung jawab dari
pemukim tersebut sangat kurang, maka dari itu kualitas lingkungan di daerah
tersebut sangat rendah. Kualitas lingkungan yang rendah ini dapat mempengaruhi
tingkat kesehatan masyarakat semakin menurun.
Degradasi
kehidupan sosial merupakan suatu penurunan kualitas kehidupan sosial yang
dialami oleh penduduk atau masyarakat sebagai penghuni permukiman liar, yang
termasuk didalam degradasi kehidupan sosial adalah meningkatnya kriminalitas,
dan bertambahnya pengemis di lingkungan tersebut.
1.
Kriminalitas Meningkat
Individu
yang tinggal di permukiman liar tersebut, sebagia besar berasal dari desa dan
cenderung individu yang datang tidak mempunyai kemampuan atau kemampuannya
kurang. Hal ini dapat mempengaruhi individu tersebut dalam mendapatkan
pekerjaan. Dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, akan mempengaruhi pola
pikir individu tersebut menjadi keras, jika individu tersebut tidak berhasil
dalam mendapatkan pekerjaan, secara tidak langsung mereka terpancing untuk
melakukan tindakan kriminal.
2.
Bertambahnya Pengemis
Skill dan
pendidikan yang rendah, tidak mampu bersaing akan mendorong penghuni dari
permukiman liar yang ada di perkotaan untuk melakukan aktivitas mengemis.
Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan
teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut
membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para
penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang
ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri
sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan
norma-norma sosial dalam masyarakat.
Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya
penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran,
adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di
pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan
fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut
bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian,
pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian,
melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
C. Upaya Mengatasi Pemukiman Liar
Walaupun kerap kali Pemerintah telah
melakukan penggusuran terhadap mereka yang tinggal di bantaran sungai, tetapi
tak lama kemudian timbul lagi pemukiman di sekitar bantaran sungai. Hal ini
mungkin dikarenakan Pemerintah tidak memberikan solusi terhadap orang-orang
yang di gusur tersebut.
Berikut ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi pemukiman liar ini diantaranya:
1.
Membangun Ruman Susun
Rumah susun akan dapat menampung masyarakat. Jadi
akan lebih baik jika mereka tinggal di rumah susun yang walaupun tidak terlalu
mewah, tetapi lebih nyaman daripada tinggal di bantaran sungai.
2.
Pemahaman Mengenai
Dampak Tinggal di Bantaran Sungai
Tinggal di tempat yang jauh dari layak huni ini akan
menyebabkan banyak masalah yang akan timbul misalnya masalah air. Setiap orang
yang tinggal di bantaran sungai akan menggunakan air sungai untuk mandi,
mencuci bahkan untuk memasak. Padahal air di sungai tersebut tidak bisa dijamin
kebersihanya. Maka yang timbul nantinya adalah berbagai penyakit.
3.
Menggalang Program
Pembersihan Sungai
Lingkungan sekitar bantaran sungai akan nampak lebih
indah apabila tidak ada sampah-sampah dan kotoran di sekitar sungai jadi bisa
dilakukan dengan pengerukan sungai untuk mengangkat sampah-sampah yang ada.
4.
Membuka Lapangan Kerja
Baru
Dengan pembukaan lapangan kerja baru maka mereka
yang tinggal di bantaran sungai tersebut sedikit banyak akan dapat menambah
pundi-pundi perekonomian mereka sehinnga pada akhirnya mereka bisa pindah dan
mencari pemukiman yang lebih layak.
Hal tersebut merupakan program yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota-kota besar termasuk kota besar seperti
Jakarta. Seperti tertuang pada Perda tentang larangan untuk mendirikan bangunan
di bantaran kali dalam Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang,
Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1/2012 tentang Recana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Jakarta 2030, dan Perda tentang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR)
DKI Jakarta.
Dengan adanya kesadaran semua pihak
baik Pemerintah maupun masyarakat diharapkan Ibu Kota Jakarta tercinta ini
terbebas dari pemukiman-pemukiman liar di sekitar bantaran sungai, karena itu
hanya akan mengurangi keindahan di Kota ini dan menyebabkan wabah penyakit.
Untuk itu sebagai masyarakat kota Jakarta yang baik mulailah kita turut ikut
melestarikan keindahan kota ini.
(http://www.yukiwaterfilter.com/in/artikel-180-tanggulangi-pemukiman-liar.html)
METODE YANG DIGUNAKAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumenter dan wawancara responden dengan daftar pertanyaan. Penelitian dilakukan di sekitar bantaran sungai Kapuas kota Pontianak dengan menggunakan data yang diperoleh dari ketua RT dan beberapa
warga sebagai unit
analisis. Adapun data-data yang
dikumpulkan adalah:
1. Data dari warga dan ketua RT kelurahan Tanjung Hulu.
2. Data dari warga dan ketua RT kelurahan Tambelan Sampit.
Selain
itu digunakan referensi pendukung untuk membantu dalam melakukan analisis. Data-data terkait tersebut kemudian diolah, disusun dan
dianalisis berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan tinjauan pustaka yang
sudah dibangun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Penyebab Terbentuknya Pemukiman Liar di Pontianak
Dalam
perkembangan suatu kota sangat erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya.
Masyarakat yang mampu cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat
kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih tempat
tinggal di pusat kota khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin
mencari pekerjaan dikota. Tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau
oleh kantong masyarakat yang kurang mampu serta kebutuhan akan akses ke tempat
usaha menjadi penyebab timbulnya lingkungan pemukiman liar di perkotaan.
Seperti
halnya yang terjadi di daerah bantaran aliran sungai kapuas (jembatan tol 2)
kelurahan Tanjung Hulu RT 03 RW 13, permukiman liar yang ada di daerah sini
terjadi karena adanya mobilitas penduduk dari berbagai daerah dari luar
Pontianak seperti daerah Sekadau, Batang Tarang, Ketapang, Sumatera Utara
bahkan ada yang dari pulau Jawa. Sebagian besar masyarakat yang melakukan
mobilitas merupakan masyarakat yang kurang mampu dan masih mencari-cari
pekerjaan. Karena keadaan ekonomi dan tidaknya fasilitas perumahan yang
tersedia, maka para urbanisan memilih mendirikan perumahan di daerah tidak
bertuan atau tanah sengketa yakni di dekitar aliran Sungai Kapuas. Jumlah
penduduk yang tinggal di wilayah ini kira-kira 400 lebih orang dengan 84 KK.
Sebelumnya daerah ini dihuni oleh 124 KK, karena adanya penggusuran maka mereka
pindah ke daerah lain seperti selat panjang.
Dekat
dengan tempat kerja, pasar, dan dekat dengan fasilitas kota merupakan alasan
lain mengapa mengapa mereka memilih tinggal di di daerah pinggiran Sungai
Kapuas. Dibangunnya
perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan maupun dibangunkan
oleh orang lain dapat mengakibatkan munculnya lingkungan perumahan liar, yang padat, tidak teratur dan tidak memiliki
prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan kesehatan. Warga yang tinggal di sini
rata-rata berprofesi sebagai Pemulung, tukang bangunan, buruh, pedagang bahkan
pensiunan TNI dan juga anggota Polri (Polisi Republik Indonesia).
Lain
halnya dengan daerah jembatan tol 1 kelurahan Tambelan Sampit, sebagian besar
penduduk di daerah sini merupakan warga asli Pontianak. Hanya beberapa saja
yang dari daerah di Luar Pontianak misalnya daerah Sekadau, Terindak, Sambek,
Jawa Tengah. Seperti yang mendiami RT 02 RW 07 rata-rata merupakan warga asli
Pontianak. Daerah ini dihuni sekitar 300 orang/RT dari 35-50 KK. Mereka
mendiami daerah pinggiran sungai karena daerah itu merupakan tanah warisan
leluhur mereka. Hal ini tercermin dari bangunan rumah lebih bagus dan tata
ruangnya lebih rapi. Berdasarkan penjelasan Ibu Ventia dari RT 02 RW 07, daerah
tempat tinggalnya dulunya masih berupa tanah, seiring berjalannya waktu dan
perkembangan zaman tanah yang menjadi penopang rumah lambat laun di penuhi oleh
air karena erosi. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Mahmud dari RT 04 RW
01, beliau mengatakan bahwa sekitar tahun 1975 setelah masuk perusahaan atau PT
tanah di daerah sekitar sungai mulai terkikis sedikit demi sedikit. Sebagian
warga yang tinggal di kelurahan Tambelan Sampit sudah memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Warga di sini rata-rata berprofesi sebagai tukang bangunan,
buruh harian lepas, pedagang, pengusaha (kardus) dan terambak ikan.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat kelompok kami simpulkan ada dua hal yang menjadi
penyebab terbentuknya pemukiman di tepi sungai kapuas. Pertama, pemukiman ini
terjadi karena tanah yang mereka tinggali merupakan tanah warisan. Hal ini
seperti yang terjadi di kelurahan Tambelan Sampit. Kedua karena tanah tidak
bertuan atau tanah sengketa. Ini bisa dilihat di daerah jembatan Landak
kelurahan Tanjung Hulu.
2.
Masalah-masalah yang Timbul Akibat Pemukiman Liar
Dari segi pemerintahan, pendirian daerah pemukiman liar yang tidak memiliki surat-surat lengkap dan
KTP dapat menimbulkan masalah antara warga dengan pemerintah selain itu pemerintah dianggap dan dipandang
tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan terhadap masyarakat.
Sementara pada dampak sosial, masyarakat didaerah sini berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi
menengah ke bawah sehingga menambah kumuh tata kota Pontianak. Tidak memiliki surat-surat
lengkap tidak membuat warga merasa takut atau was-was, perasaan mereka
biasa-biasa saja.
Masyarakat yang
tinggal di pemukiman ini baik di kelurahan Tanjung Hulu maupun kelurahan Tambelan Sampit pada umumnya memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang tidak tetap. Walaupun sulit mencari
atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas,
perilaku menyimpang di daerah
pemukiman ini jarang terjadi. Bentrok antar warga jarang terjadi, mereka hidup
tenteram dan damai. Hanya saja seperti di kelurahan Tanjung Hulu warga kurang
memperhatikan peraturan yang ada seperti membuang sampah ke sungai, menghindari pajak, dan sebagian tidak memiliki KTP.
Walaupun
demikian, gotong-royong tetap dilaksanakan. Hal ini terjadi di kelurahan Tanjung Hulu maupun kelurahan Tambelan
Sampit. Perbedanya warga di kelurahan Tambelan Sampit memiliki KTP. Anak-anak yang
tinggal di kelurahan Tanjung Hulu banyak yang tidak sekolah, mereka bahkan
hanya tamatan SD. Lain lagi dengan anak-anak yang tinggal di kelurahan Tambelan
Sampit. Mereka rata-rata sudah menempuh pendidikan hingga ke jenjang atas (SMA)
bahkan ada beberapa yang melanjutkan sampai tingkat perguruan tinggi. Bahkan di
Kelurahan Tambelan Sampit memiliki bangunan sekolah dari SD sampai SMA yang
terletak di RT 03 RW 05.
Dari
hasil wawancara dengan Bapak Solihin Ahmad RT 03 RW 13 tentang kelakuan remaja
di kelurahan Tanjung Hulu kami mendapatkan informasi bahwa kalangan remaja dan pengangguran, untuk mengisi kekosongan biasanya mereka main biliar, begadang di pinggir jalan dengan sampai pagi. Untuk tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian,
pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum,
perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya di daerah pinggiran aliran
sungai ini tidak terjadi atau bisa dikatakan dalam kategori aman. Hal yang sama juga terjadi di kelurahan Tambelan Sampit hanya bedanya
kalangan remaja dan pengangguran tidak ada yang begadang sampai pagi.
Jika
dikategorikan secara umum permasalahan yang terjadi di daerah
pemukiman liar pinggiran sungai Kapuas diantaranya ukuran bangunan yang sangat sempit dan tidak memenuhi
standard untuk bangunan layak huni, rumah yang berhimpitan satu sama
lain membuat wilayah pemukiman rawan akan bahaya kebakaran, sarana jalan yang sempit dan tidak memadai, tidak tersedianya jaringan drainase, kurangnya suplai air bersih, fasilitas MCK yang tidak memadai.
3.
Upaya Untuk Mengatasi Pemukiman Liar di Pontianak
Dari fenomena tersebut dapat dipetik
pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman liar tidak dapat diselesaikan secara sepihak,
tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi dan eksistensi dari seluruh
pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik Pemerintah Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota maupun masyarakat sendiri selaku penerima manfaat, Pelaku dunia
usaha, LSM/NGO, cerdik pandai dan pemerhati yang peduli. Apabila hal ini tidak
disiapkan penanggulanganya sejak dini, maka masalah pemukiman liar tidak akan menjadi masalah ketidakmampuan kota
dalam menjalankan perannya sebagai pusat pembangunan sosial, ekonomi dan
politik (Sri, 1988).
Berdasarkan aspirasi masyarakat
di Kelurahan Tambelan Sampit dan Kelurahan Tanjung Hulu diperlukan beberapa
upaya untuk memperbaiki wilayah tempat tinggal mereka. Bagi masyarakat di
Kelurahan Tanjung hulu yang mayoritasnya bukan warga asli pontianak
mengharapkan adanya perumahan rusunami bukan rusunama. Lain halnya dengan
masyarakat di kelurahan Tambelan Sampit. Mereka mengharapkan pembangunan
seperti perluasan sarana jalan, melanjutkan program pemerintah seperti bedah
rumah, aliran PDAM sampai kewilayah sungai dan pendirian tempat sampah di
daerah dekat sungai.
Jika aspirasi masyarakat
didengar dan dilaksanakan oleh pemerintah maka upaya untuk mengatasi masalah
pemukiman liar dikota Pontianak dapat diberjalan dengan baik. Hal ini dapat
menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman di wilayah kota Pontianak sehingga
masalah pemukiman liar tidak lagi menjadi masalah yang besar bagi pemerintah
kota.
KESIMPULAN
Perpindahan
penduduk dari desa ke kota jika tidak diimbangi
oleh ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan para migran, dapat menimbulkan masalah bagi
wilayah yang didatangi. Kondisi perekonomian yang tidak memadai memaksa penduduk
memanfaatkan lahan kosong seperti jalur-jalur hijau dan daerah pinggiran sungai
untuk membangun tempat bermukim. Pemukim membangun tempat tinggal di sepanjang
pinggiran sungai yang seharusnya dibiarkan kosong karena memang peruntukannya
sebagai ruang terbuka hijau.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga baik dari kelurahan
Tanjung Hulu maupun kelurahan Tambelan Sampit dapat kelompok kami simpulkan
bahwa kelurahan Tanjung Hulu merupakan kelurahan dengan permukiman liar.
Sedangkan kelurahan Tambelan Sampit merupakan tanah warisan leluhur yang telah
mengalami erosi sehingga tampak seperti pemukiman liar di tepian aliran sungai
Kapuas. Jika dikategorikan secara umum permasalahan yang terjadi di daerah
pemukiman ini diantaranya
ukuran bangunan yang sangat
sempit dan tidak memenuhi standart untuk bangunan layak huni, rumah yang berhimpitan satu sama
lain membuat wilayah pemukiman rawan akan bahaya kebakaran, sarana jalan yang sempit dan tidak memadai, tidak tersedianya jaringan drainase, kurangnya suplai air bersih, fasilitas MCK yang tidak memadai.
Walaupun daerahnya
tampak kumuh dan potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan masyarakat masih bisa hidup
tenteram dan rukun satu sama lain. Kejahatan
seperti pencurian,
pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum,
perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya di daerah pinggiran aliran
sungai ini tidak terjadi atau bisa dikatakan dalam kategori aman.
Cara mengatasi pemukiman kumuh ini dapat dilakukan oleh pemerintah dengan
cara menjalin kerjasama dengan pihak swasta dan masyarakat yang tinggal di
pemukiman kumuh tersebut. Sehingga permasalahan pemukiman kumuh ini dapat
diatasi dengan tuntas sehingga tidak menjadi masalah bagi pemerintah kota Pontiaanak.
DAFTAR PUSTAKA
Radit Mananta. 014. Wisata Sungai
Kapuas: Menyusuri Eksotika Sungai Kapuas.
Tersedia pada http://www.misterpangalayo.com/2014/04/wisata-sungai-kapuas-menyusuri-eksotika.html#ixzz3sfj3IUuC
(diakses pada 27 November 2015)
Nona Winda.
2014. Pemukiman Kumuh dan Liar. Tersedia pada http://nonawinda.blogspot.co.id/2014/07/pemukiman-kumuh.html
(diakses pada 27 November 2015)
Citra Wayan .
2012. Keberadaan Pemukiman Liar Dalam Tata Ruang Kota. Tersedia pada http://citra-wayan.blogspot.co.id/2012/03/keberadaan-permukiman-liar-dalam-tata.html
(diakses pada 27 November 2015)
Anonim. 2014. Tanggulangi Pemukiman
Liar. Tersedia pada http://www.yukiwaterfilter.com/in/artikel-180-tanggulangi-pemukiman-liar.html
(diakses pada 27 November 2015)
No comments:
Post a Comment