ERVING GOFFMAN
sumber: https://www.sosiologi79.com/ |
A.
Biografi
Erving Goffman
Goffman
lahir di Mannville, Alberta, Kanada pada 11 Juni 1922. Ia lahir dalam keluarga
Yahudi Ukraina dari pasangan Max Goffman dan Anne Goffman. [1]Pada
tahun 1972 Goffman menikah dengan Angelica Choate, setahun kemudiaan putra
pertama mereka Thomas Goffman lahir. Akibat penyakit mental, tahun 1964
Angelica meninggal bunuh diri. Tahun 1981 Goffman menikah lagi dengan Gillian
Sankoff seorang sosiolinguistik. Dari pernikahan ini lahir seorang putri
bernama Alice Goffman. Alice Goffman mengikuti jejak sang ayah menjadi seorang
sosiolog. Enam puluh (60) tahun kemudian tepatnya 19 November 1982 di
Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat Goffman meniggal dunia karena
kanker usus.
Goffman
pernah terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Manitoba jurusan kimia, namun
ia berhenti dari studinya. Goffman meraih gelar Bachelor of Arts (B.A) tahun
1945 di Universitas Toronto, gelar Master of Arts tahun 1949 di Universitas
Chicago, dan gelar Philosophy Doctor (Ph.D) tahun 1953 juga di Universitas
Chicago. Tahun 1958 meraih gelar Guru Besar, tahun 1970 diangkat menjadi
anggota Committee for Study of
Incarceration. Dan tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan
Guggenheim. Ia juga menjabat sebagai Presiden dari American Sociological Association tahun 1981-1982.
Sepanjang
kariernya sebagai Sosiolog, Ervin Goffman banyak menghasilkan tulisan, baik
buku maupun artkel ilmiah. Salah satu teori yang cukup populer dari
Goffman adalah teori dramaturgi dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life. [2]Tulisan
Goffman yang telah dibukukan adalah sebagai berikut:
B.
Pandangan
yang mempengaruhi
Paradigma
Goffman tidak terlepas dari pengaruh antropologi sosial, observasi partisipan,
dan tradisi penelitian sosiologi. Ada beberapa pandangan ahli interaksionisme
simbolik yang mempengaruhi Eving Goffman adalah diantaranya Charles Horton
Cooley, George Herbert Mead, dan Herbert Blumer[3].
Skema Pengaruh Pandangan Interaksionisme Simbolik terhadap Goffman
Sumber: [4]sosiologi.fis.unp.ac.id
Perbedaan antara Perspektif Goffman dengan
interaksionis simbolik adalah bagaimana Goffman memperhatikan cara "individu
sebagai masyarakat .... memaksa untuk menghadirkan suatu citra diri tertentu
.... memainkan antara banyak peran yang rumit, yang juga membuat individu
selalu kurang jujur, tidak konsisten dan tidak terhormat".
Pandangan dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari pasti menampilkan bagian depan (front) sebagai bentuk pengeskpresian diri mencakup penampilan dirinya atau citra diri di khalayak ramai. Bagian belakang (back) adalah ekspresi diri yang disembunyikan atau penampilan diri yang tidak ada pada front stage (diri individu apa adanya tidak dibuat-buat).
C.
Esensi
Teori Dramaturgi
Dalam
bukunya yang berjudul The Presentation of
Self in Everyday Life Goffman menjelaskan proses dan makna dalam berinteraksi.
Goffman menganalogikan dunia sosial seperti panggung sandiwara. Dalam hubungan
sosial, seorang individu menjadi aktor atas statusnya dan bebas memainkan peran
dirinya. Asumsi Goffman bahwa peran yang ditampilkan aktor dalam interaksi mengandung
simbol tertentu. Simbol tersebut digunakan individu untuk menunjukkan citra (image) diri agar bisa diterima orang
lain. Goffman menyebutnya impression
management (pengelolaan kesan).
Kehidupan
sosial ini bagi Goffman dibagi menjadi “panggung depan” (front stage) dan “panggung belakang” (back stage). Front stage
memungkinkan aktor bergaya, menampilkan, atau memainkan peran yang sudah
ditentukan oleh dirinya sendiri. Sedangkan back
stage merupakan tempat dimana aktor mempersiapkan perannya untuk
menampilkan hal terbaik di front stage.
Front stage ibarat “panggung”
sandiwara yang dipertontonkan, sedangkan back
stage ibarat ruang ruang ganti utnuk mempersiapkan diri, atau sekedar
berlatih.
Goffman membagi Front stage menjadi dua bagian yakni front pribadi (personal front) dan setting. Personal Front situasi atau alat yang
dianggap sebagai perlengkapan dibawa aktor ke dalam setting (situasi fisik).
Tanpa setting aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukan. Misalnya
seorang guru memerlukan ruang kelas (setting),
membawa perlengkapan mengajar, berpenampilan rapi, serta menggunakan sepatu. Personal front juga mencakup bahasa
verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah
asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia dan
sebagainya. Bagian ini juga mungkinkan aktor memanipulasi perannya misalnya
melembutkan tutur katanya, menghitamkan rambutnya dan sebagainya.
Berbeda dengan Front stage, panggung belakang (back stage) memungkinkan aktor berbicara dengan kata-kata kasar, duduk dan berdiri sembrono, merokok, berpakaian seenaknya, mengomel, berteriak, bertindak agresif, bersenandung dan sebagainnya. Panggung depan dan penggung belakang biasanya sangat berbeda. [5]Ada 7 alasan yang disembunyikan aktor dalam pertunjukkan yakni:
Goffman
berpendapat bahwa umumnya orang-orang akan berusaha menunjukkan diri dalam
pertunjukan mereka di pangung depan, mereka merasa perlu menyembunyikan hal-hal
tertentu yang dapat merusak peran yang sedang dimainkannya dan menaruhnya di belakang
panggung agar tak terlihat oleh penonton. Dari hal ini ada 4 hal yang Goffman
coba tampilkan tampilkan dalam dramaturgi yakni front stage, back stage, audience (penonton), impression management (pengelolaan kesan). Hal tersebut dapat
dipahami sebagai berikut:
1.
Panggung Depan (Front Stage)
Panggung
depan merupakan tempat dimana aktor memainkan peran yang ingin dimainkan di
depan penonton.
2.
Panggung Belakang (Back Stage)
Panggung
belakang merupakan tempat dimana aktor mempersiapkan diri, beristirahat,
melakukan latihan, atau segala upaya untuk menunjang perannya di depan
panggung.
3.
Penonton (Audience)
Penonton
merupakan orang yang menonton suatu permainan peran atau pertunjukan yang
dimainkan oleh aktor.
4.
Pengelolaan Kesan (Impression Management)
Pengelolaan kesan merupakan upaya atau alasan aktor memainkan sebuah peran sehingga menumbuhkan kesan sesuai dengan citra diri yang ingin dilabelkan pada aktor.
D.
Instagram
sebagai panggung Dramaturgi
Pada
tulisan kali ini tidak melihat sisi negatif dari sosial media. Dengan acuan
dramaturgi Goffman kita membahas sosial media sebagai sarana pengakuan diri
untuk membangun image seseorang di dunia maya.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, di
era millennial saat ini, semua orang rata-rata mengenal dan bersosial media.
Salah satu contoh sosial media yang digunakan adalah platform instagram. Dewasa
ini sosial media instagram menjadi hal yang lumrah untuk dimiliki. Instagram memudahkan
penggunanya berpartisipasi, berkomunikasi, bersosialisasi, mencari teman,
berbisnis, dan mencari informasi ter-update dengan siapa saja dibelahan dunia
manapun.
Bahkan
dalam jurnal [6]Teaching and Teacher Education dunia
pendidikan mulai melirik media sosial instagram untuk menunjang pembelajaran. “
…… They also make professional use of
sites not originally created with educators in mind, and Instagram is yet
another example of this phenomenon. Instagram appears to be a portal to access
professional affinity spaces where teachers exchange ideas and affirmation,
with a subset of users monetizing some of the idea exchanges”. (Mereka juga
memanfaatkan situs secara profesional yang awalnya tidak dibuat dengan
mempertimbangkan pendidik, dan Instagram adalah contoh lain dari ini fenomena.
Instagram tampaknya menjadi portal untuk mengakses ruang afinitas profesional
di mana guru bertukar ide dan penegasan, dengan sebagian pengguna yang
memonetisasi beberapa pertukaran ide).
Media
sosial berbasis foto
ini
berdiri sejak tahun 2010 dan mampu bersaing dengan platform medsos lainnya. [7]Tujuan
umum dari Instagram itu sendiri salah satunya yakni sebagai sarana kegemaran
dari masing-masing individu yang ingin mempublikasikan kegiatan, barang, tempat
atau pun dirinya sendiri kedalam bentuk foto. Banyak pengguna instagram
mengekspresikan diri untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan dirinya dengan
meng-upload foto atau video. Selain itu untuk mendapatkan perhatian, meminta
pendapat, menumbuhkan citra, hobi, dan untuk menambah teman.
Tentunya
foto-foto dan video yang dibagikan di aplikasi instagram sering kali berbeda
dengan keadaan sebenarnya. Individu atau aktor berusaha sebisa mungkin mengedit
foto atau video agar terlihat lebih menarik. Dengan fitur-fitur yang ditawarkan
oleh instagram, postingan yang ditampilkan terlihat instagramable sesuai
keinginan pengguna. Dengan foto yang sudah dimanipulasi agar terlihat fotogenik
aktor membangun sebuah citra diri. Citra diri atau image yang dibangun memiliki
value yang diharapkan aktor dari
pengikut instagramnya.
Pendekatan
dramaturgi Goffman berintikan pandangan bahwa ketika seseorang berinteraksi
dengan sesamannya, seseorang ingin mengelola kesan yang diharapkan dari orang
lain terhadapnya. [8]Untuk
itu, setiap orang memainkan peran yang dipilihnya di depan orang lain untuk
membangun citra diri sesuai dengan keinginannya. Seseorang bisa saja memainkan
peran yang berbeda dengan peran yang sebelumnya dimainkannya bergantung pada
situasi apa yang sedang dihadapinya.
Di
panggung Depan (Front Stage) tempat
dimana aktor memainkan peran yang ingin ditampilkan, dalam hal ini adalah foto
atau video yang ditampakkan dalam media sosial Instagram. Aktor memainkan peran
tertentu sehingga membantu mencapai tujuan seperti keinginan yakni meningkatnya
status sosial dan mendapatkan perhatian dari followersnya. Sebagai sosial media
yang sangat luas dan digandrungi banyak usia mulai dari anak-anak hingga orang
dewasa, instagram tentunya menjadi media yang dianggap cocok sebagai Front Stage untuk bermain peran. Foto
atau video (sebagai peran yang dimainkan aktor) di upload ke instagram dapat dengan mudah dilihat oleh
siapapun dan dimanapun. Hal inilah yang mempermudah seseorang dalam membangun
citranya melalui dunia maya.
Di
Panggung Belakang (Back Stage)
sebagai tempat aktor mempersiapkan diri, beristirahat, melakukan latihan, atau
segala upaya untuk menunjang perannya di depan panggung. Pada panggung belakang
seorang aktor berusaha memenuhi atau mendukung peran yang akan ia mainkan.
Sebelum memposting foto atau video, aktor mencari referansi atau bahkan dengan
mengikuti trending terbaru untuk eksistensi atau sekedar viral. Tidak jarang postingan aktor di front stage
berbeda dengan back stage. Dipanggung belakang berkaitan dengan status seorang
aktor. Bila aktor tersebut karyawan maka ia harus bekerja untuk memenuhi atau
membeli barang-barang yang akan menunjang statusnya.
Menurut
Goffman, penonton atau (Audience)
ialah orang yang menyaksikan pertunjukan aktor panggung depannya. Penonton
instagram ialah pengikut atau para pengguna instagram yang melihat, menyukai,
atau berkomentar, unggahan dari aktor yang berupaya memainkan perannya dalam
media sosial instagram.
Alasan
seorang aktor memainkan sebuah peran demi menumbuhkan kesan sesuai dengan citra
diri yang ingin dilabelkan pada aktor bagi Goffman adalah pengolahan pesan atau
(Impression Management). Aktor menunjukan perannya melalui foto-foto
atau instastory yang diunggah pada akun instagram pribadinya disertai dengan
caption yang mendukungnya dalam menciptakan image bahwa aktor memiliki status
sosial yang tinggi. Tidak hanya ingin status sosialnya terlihat lebih tinggi
dalam segi ekonomi, tetapi juga dalam segi pengetahuan. Tidak hanya itu, aktor
juga kerap mengunggah quotes dengan
kalimat bijak yang dibuatnya ke instagram untuk menunjukkan bahwa dirinya
memiliki pengalaman hidup yang banyak sehingga membuatnya tampak seperti orang
yang bijak.
Terlepas
dari semua itu, tidak ada salahnya seorang username melakukan panjat sosial, walaupun
sebenarnya aktor tidak benar-benar mampu secara ekonomi. Saat ini instagram
juga menjadi ladang bisnis yang cukup menjanjikan. Semua orang, siapapun itu
bisa menggunakan sosial medianya untuk mencari kebutuhan hidup. Selama
menggunakan dengan bijak, tidak menjadi masalah jika membentuk kesan di benak
followersnya bahwa aktor memiliki status sosial yang tinggi padahal dalam
kenyataannya status tersebut tidak benar-benar ada.
Instagram
yang digunakan sebagai panggung dramaturgi, sudah kita ketahui bersama bahwa front stage dan back stage nya berbeda. Namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua
username melakukan panjat sosial atau membangun citra diri. Ada sebagian besar
username menggunakan instagram sebagai album foto digital. Menyimpan semua kenangan
foto dan video untuk dilihat oleh anak cucunya kelak.
Terlepas bagaimana kita bersosial media, mari menggunakannya dengan bijak. Tidak menjatuhkan atau menyinggung orang lain. Kita tidak akan terlihat keren dengan postingan yang selalu menjatuhkan orang lain. Lebih bagus lagi jika sosial media menjadi sesuatu yang menguntungkan kita secara finansial, karena kita sebagai makhluk hidup butuh makan bukan sekedar kata-kata. Sebagai conclusion, kesan realitas apapun yang aktor coba tampilkan untuk membangun image diri demi sebuah identitas sosial online, jangan sampai merugikan orang lain. Mungkin itu implementasi paling bijak yang Goffman harapkan dari kita semua.
[1] Olivia
Rebeca. Erving Goffman Sosiologi. academia.edu diakses pada 3 Mei 2022
[2]
Ensiklopedi dunia. Erving Goffman. p2k.stekom.ac.id diakses pada 3 Mei 2022
[3]
Wirawan.
Teori-teori Sosial dalam tiga paradigma: Fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku
sosial. Jakarta: Kencana, 2012 (255).
[4] Teori Sosiologi Modern. sosiologi.fis.unp.ac.id
diakses 3 Mei 2022
[5] Mulyana, Deddy. Metodologi
Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2004.
hal 116
[6] Jeffrey P. Carpenter dkk. 2020. How
and why are educators using Instagram?. ELSEVIER Journal. Teaching and Teacher
Education 96 (2020) 103149
[7] Mahendra, bimo. 2017. Eksistensi
Sosial Remaja dalam Instagram (Sebuah Perspektif Komunikasi). Jurnal Visi
Komunikasi/Volume 16, No.01, Mei 2017: 151 – 160
[8] Tian Angga Pradhana. 2019.
Self-Presenting Pada Media Sosial Instagram Dalam Tinjauan Teori Dramaturgi
Erving Goffman (Studi Pada Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya). Skripsi