Saturday, October 6, 2018

Toleransi Beragama

1.         Pengertian Toleransi Beragama
Toleransi merupakan sikap atau perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap perbedaan kelompok. Toleransi sebagai bentuk suatu sikap atau perilaku seseorang untuk menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan orang lain. Untuk membangun toleransi menurut Setiadi dan Kolip (2013:498) ada dua modal yang dibutuhkan, yakni pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan intensif. Kedua, membangun kepercayaan diantara berbagai kelompok dan aliran”.
Toleransi menurut Setiadi dan Kolip (2013:497) adalah “Toleransi merupakan hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai, saling menghormati, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku, dan agama, dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerjasama dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di lingkungannya”.
Berkaitan dengan agama, toleransi harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang menunjukan umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi dan lainnya. Termasuk dalam menghormati agama dan iman orang lain; menghormati ibadah yang dijalankan orang lain; tidak merusak tempat ibadah; tidak menghina ajaran agama orang lain; serta memberi kebebasan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya.
Menurut Adon Nasrullah Jamaludin (2015:109) Toleransi beragama adalah “Sikap lapang dada seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadahnya menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini tanpa ada yang menggangu atau memaksa, baik dari orang lain maupun dari keluarganya”. Sejalan dengan hal tersebut, Abdullah (2001:13) mengungkapkan toleransi agama adalah “Sikap lapang dada seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama lain untuk melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini tanpa ada yang menganggung atau memaksa baik dari orang lain maupun dari keluarganya sekalipun”.
Didukung oleh Gustav Mensching (Igboin O. Benson, 2016) yang menyatakan bahwa, “Religious tolerance speaking about religious freedom granted the individual to choose and to practice as he wishes. Religious tolerance will therefore imply that everyone within a system is reasonably free to pursue his/her religious belief without interference”. (Toleransi agama berbicara tentang kebebasan beragama yang memberikan kesempatan bagi individu untuk memilih dan mempraktikkannya agama yang diinginkannya. Oleh karena itu, toleransi agama berarti setiap orang yang berada dalam sistem bebas untuk mengejar keyakinan agamanya tanpa gangguan).
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa toleransi agama merupakan sikap seseorang untuk menghormati dan menghargai setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah yang diyakininya tanpa ada gangguan maupun paksaan dari orang lain.
2.         Prinsip-prinsip Toleransi Umat Beragama
Dalam melaksanakan toleransi beragama harus memiliki sikap dan prinsip. Menurut Adon Nasrullah Jamaludin (2015:109-111) prinsip toleransi beragama diantaranya:
a)        Kebebasan beragama
Kebebasan dalam memilih kepercayaan atau agama. Prinsip ini meliputi kebebasan perorangan dan kebebasan sosial. kebebasan perorangan adalah setiap orang mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukainya. Kebebasan sosial berarti bebas dari tekanan sosial berarti bahwa situasi dan kondisi sosial memberikan kemungkinan yang sama kepada semua agama untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan.
b)        Penghormatan agama lain
Menghormati keberagaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada. Semangat saling menghormati agama lain dalam bentuk tidak mencela atau memaksa ataupun bertindak sewenang-wenang dengan pemeluk agama lain.
c)        Penerimaan
Menekankan bahwa penganut agama mau menerima orang lain seperti apa adanya. Jika memproyeksikan penganut agama lain menurut kemauan kita, pergaulan antar golongan agama tidak akan dimungkinkan.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip toleransi adalah kebebasan beragama, prinsip penghormatan agama lain, dan prinsip penerimaan.
3.         Unsur-unsur Toleransi Agama
Dalam toleransi terdapat unsur-unsur yang harus ditekan dalam mengekspresikan terhadap orang lain. Menurut Hamidah (2015) unsur-unsur tersebut adalah:
a)        Memberikan kebebasan dan kemerdekaan
Dimana setiap manusia diberikan kebebasan untuk berbuat, bergerak maupun berkehendak menurut dirinya sendiri dan juga di dalam memilih suatu agama atau kepercayaan. Kebebasan ini diberikan sejak manusia lahir sampai nanti ia meninggal dan kebebasan atau kemerdekaan yang manusia miliki tidak dapat digantikan atau direbut oleh orang lain dengan cara apapun. Karena kebebasan itu adalah datangnya dari Tuhan YME yang harus dijaga dan dilindungi.
b)        Mengakui hak setiap orang
Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap perilaku dan nasibnya masing-masing.
c)        Menghormati keyakinan orang lain
Landasan keyakinan bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang atau golongan lain.
d)       Saling mengerti
Tidak akan terjadi, saling menghormati antara sesama manusia bila mereka tidak ada saling mengerti. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.
(http://etheses.uinmalang.ac.id/1216/6/11410138_Bab_2.pdf).

Berdasarkan pemaparan diatas, maka unsur-unsur dalam toleransi beragama meliputi: memberi kebebasan dan kemerdekaan, mengakui hak orang lain, menghormati keyakinan orang lain, dan saling mengerti.
4.         Bentuk-bentuk Toleransi Agama
Menurut Abdullah (2001:13), “Toleransi dalam agama dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu toleransi sesama agama dan toleransi terhadap agama lain (beda agama)”.
a)        Toleransi terhadap sesama agama
Menurut Al Munawar (2003:17) toleransi sesama umat beragama dapat berupa berbagai bentuk sebagai berikut:
(1)     Mengikuti kegiatan keagamaan.
(2)     Menjalankan ibadah bersama-sama antar sesama agama.
(3)     Menghormati para ulama atau para pemuka agama.
(4)     Menjalankan syariat-syariat agama.
(5)     Bertetangga yang baik.
(6)     Menjalin hubungan persaudaraan yang erat antara umat beragama.
(7)     Salin tolong menolong dalam berbuat kebaikan.
(8)     Tidak saling bermusuhan, menghina, maupun menjatuhkan agar umat beragama tidak terpecah belah.
(9)     Saling menjaga silahturahmi antar umat beragama.
(10) Menjaga toleransi antar sesaama.
(11) Saling memaafkan antar sesama.

Toleransi sesama agama mengandung maksud supaya memperoleh terbentuknya sistem yang menjamin terjaminnya pribadi, harta benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat pada masyarakat dengan menghormati agama. Moralitas serta menghargai pendapat orang lain dan perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya tanpa harus berselisih dengan sesamanya karena hanya berbeda keyakinan atau agama.
b)        Toleransi terhadap non muslim (antar umat beragama)
Toleransi dalam pergaulan hidup beragama berpangkal dari penghayatan ajaran agama masing-masing. Toleransi harus menjadi bagian terpenting dalam lingkup intra agama dan antar agama. Zuhairi Misrawi (Al Munawar, 2009:23) berpendapat bahwa “Toleransi adalah upaya dalam memahami agama-agama lain karena tidak bisa dipungkiri bahwa agama-agama tersebut juga mempunyai ajaran yang sama tentang toleransi, cinta kasih, dan kedamaian”.
Menurut Al Munawar (2003:25) toleransi umat beragama agar tercipta kerukunan akan diwijudkan melalui perilaku sebagai berikut:
(1)     Tidak membeda-bedakan atau diskriminasi terhadap orang yang berbeda keyakinannya.
(2)     Tidak membuat provokasi yang dapat memecah belah kerukunan antar umat beragama.
(3)     Saling menghormati hari raya agama lain.
(4)     Menciptakan rasa aman bagi agama-agama minoritas dalam melaksanakan ibadahnya masing-masing.
(5)     Bersatu untuk menciptakan kedamaian.
(6)     Tidak saling mengejek dan mengganggu.
(7)     Tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu.
(8)     Tidak mencela agama lain.
(9)     Tidak menjadikan perbedaan beragama sebagai suatu penghalang untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat beragama dan mempunyai keyakinan untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib untuk saling menghargai. Dengan demikian, antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.

Teori Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget, Kahlberg, Erik Erikson



 Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang memandang bahwa proses pendidikan kita telah gagal menanamkan nilai-nilai moral pada siswa. Asumsi ini muncul setelah kita menyaksikan begitu banyaknya siswa yang kurang memiliki nilai moral  yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat kita. Pendidikn moral merupakan bagian yang tidak terpisahkaan dalam proses pendidikan.
Dalam teori perkembangan moral, Kohlberg memberikan penekanan tentang pentingnya pemahaman guru tentang terhadap perkembangan nilai moral anak sebagai bagian dari karakteristik individual peserta didik. Dengan mamahami perkembangan  moral siswa, maka guru dapat mengeksplorasi, memilih dan menentukan bahan belajar, strategi pembelajaran, model-model pemberian motivasi serta bentuk-bentuk evaluasi yang tepat untuk mewujudkan proses pembelajaran yang efektif.
Pemikiran-pemikiran yang positif memberi arahan yang sudah selayaknya jika dunia pendidikan diarahkan pada upaya transformasi dan pengembangan prinsip-prinsip secara konprenhensip dalam penyelanggaraan pendidikan dan pembelajaran. Kepada para peserta didik perlu diberi bekal pengetahuan serta nilai-nilai dasar sebagai suatu pandangan hidup yang sanggta berguna untuk mengarungi kehidupan dalam masyarakat pluralis, baik dari aspek etnisitas, kultural, maupun agama. Jika dunia pendidikan berhasil melaksanakan tugas ini, maka kedepannya akan berkembang masyarakat yang berkualitas secara intelektual dan moral
Dalam proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada berbagai dinamika yang berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan-perubahan dan perkembangan yang terjadi pada peserta didik ini harus mendapat perhatian dari guru diantaranya berkaitan dengan perilaku. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam makalah ini akan membahas perkembangan moral dan  implementasinya dalam pembelajaran. Berdasarkan latar belakang, masalah umum dalam penulisan adalah “Bagaimana perkembangan nilai moral dan implementasinya”. Untuk menghindari meluasnya pembahasan, perlu kiranya diberi batasan sebagai berikut:
a.         Bagaimana teori moral menurut Jean Piaget?
b.         Bagaimana teori moral menurut Kohlberg?
c.         Bagaimana teori moral menurut Erik H. Ericson?
d.        Bagaimana perpaduan pandangan Jean Piaget, Kohlberg, Erik H. Ericson?
e.         Bagaimana implementasi keterpaduan dalam pembelajaran?

  Teori Perkembangan Moral Jean Piaget
Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang memalalui urutan yang sama meskipun tingkatan dan jenis pengalaman mereka berbeda satu sama yang lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ketahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.
Berkaitan dengan perkembangan moral, menurut Piaget (Aunurrahman, 2012:58) mengemukakan ada dua tahap perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Tahap pertama disebut  heterenomous” atau tahap “realitas moral”. Dalam tahap ini, seorang anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang berkompoten untuk itu. Tahap kedua disebut “autonomous morality” atau “independensi moral”. Dalam tahap ini seorang anak akan memandang perlu untuk memodifikasi aturan-aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dalam pandangan Piaget tahap-tahap kognitig mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik berikut:
a.         setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda dalam cara berpikir atau memecahkan permasalahan yang sama.
b.        Perbedaan cara berpikir dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berpikir yang berbeda. Dalam kerangka pemikiranya, anak-anak akan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat perkembangan usiannya.
c.         Dalam tahap ini anak akan diatur sesuai dengan cara berpikir tertentu. Piaget mengakui  bahwa cara-cara berpikir atau struktur tersebut pada dasarnya mengendalikan pemikiran yang berkembang.
d.        Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu integrasi hirarkis dari apa yang telah dialami sebelumnya.

Piaget mencoba mengkaji tingkah laku anak melalui aktivitas bermainnya. Ia ingin menguji bagaimana anak-anak dapat berpikir secara spontan dan dapat menyesuaikan konsepnya terhadap berbagai tata aturan. Dari hasil pengamatannya, Piaget mengetahui bahwa anak-anak pada usia tiga tahun yang bermain kelereng dengan teman-temannya umumnya belum mengembangkan aturan permainan sendiri atau mereka bermain sendiri-sendiri tanpa adanya kerjasama yang lebih terencana. Anak pada tahap ini cenderung menganggap pendirian atau pendapatnya sebagai sesuatu yang paling benar. Dalam perkembangan berikutnya anak berusia 7 atau 8 tahun mulai berkembang perhatiannya pada keuntungan timbal balik dan kecenderungannya untuk menyeragamkan aturan permainan. Pada usia 11 atau 12 tahun, mulai mampu menentukan aturan permainan secara lebih detail. aturan-aturan yang dihasilkan oleh anak dianggap sebagai hukum yang dihasilkan dari kesepakatan bersama, walaupun menurut mereka aturan tersebut masih dapat dimodifikasi.
Kesimpulan mendasar dari hasil pengamatan Piaget adalah bahwa dapat diambil pola-pola yang konsisten pada perilaku anak yang bergerak dari satu tahap ketahap berikutnya. Pola-pola perubahan ini terkait secara langsung dengan tingkat usia anak.

  Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Menurut Kohlberg untuk memahami perilaku moral harus didasari pemahaman tentang tahap-tahap perkembangan moral. Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan morla adalah untuk mendorong individu-individu guna mencapai tahapan-tahapan perkembangan moral selanjutnya. Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior).
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Piaget. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Keenam tahap perkembangan moralitas anak menurut Aunurrahman (2012:58) berada pada tiga level, dimana tahap pertama dan kedua berada pada level pre-conventional, tahap tiga dan empat pada level conventional, dan pada level lima dan enam pada post-convensional.
Tahap prakonvensional anak-anak meberi respon kepada aturan dan kebiasaan mengenai baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Pada tingkat prakonvensional kita menemukan:
a.              Tahap I Orientasi hukuman dan kepatuhan: Perilaku yang muncul pada anak bukan suatu kesadaran tetapi karena adanya konsekuensi bila tidak melaksanakan tindakan tesebut. Keputusan untuk melakukan tindakan tersebut untuk menghindari hukuman..
b.             Tahap 2 Orientasi relativis-intrumental: Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal ”Jika anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
Pada level konvensional anak telah tumbuh kesadaran dan penghargaan terhadap individu lain keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu. Pada tingkat konvensional menemukan:
a.             Tahap 3 Orientasi kesepakatan antara pribadi atau Orientasi ”Anak manis”: Orientasi ”anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini seseorang bermaksud baik apabila orang lain atau lingkungan sekitar bahwa tindakan yang dilakukan merupakan perilaku yang baik.
b.             Tahap 4 Orientasi hukum dan ketertiban: Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.
Tingkat paska-konvensional dicirikan oleh dorongan utama menuju ke prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau pribadi-pribadi. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang dapat diterapkan. Pada tingkat pasca-konvensional kita melihat:
a.              Tahap 5 Orientasi kontrak sosial legalistis: Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama yang memungkinkan adanya konsensus. Keungkinan ada perubahan hukum yang mendorong terhadap perilaku yang lebih baik.
b.             Tahap 6 Orientasi Prinsip Etika Universal: Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis. Prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebagai seorang individu.

Pandangan Psikologi Sosial Erik Erikson
Teori psikososial Erikson berkaitan dengan prinsip–prinsip dari perkembangan secara psikologi dan sosial, dan merupakan bentuk pengembangan dari teori psikoseksual dari Sigmund Freud. Delapan tahapan yang dibuat oleh Erikson yaitu:
a.              Trust vs Mistrust ( Percaya & Tidak Percaya, 0-18 bulan)
Hal pertama yang akan dipelajari seorang anak atau bayi dari lingkungannya adalah rasa percaya pada orang di sekitarnya, terutama pada ibu atau pengasuhnya yang selalu bersama setiap hari. Jika kebutuhan anak cukup dipenuhi oleh sang ibu atau pengasuh seperti makanan dan kasih sayang maka anak akan merasakan keamanan dan kepercayaan. Akan tetapi, jika ibu atau pengasuh tidak dapat merespon kebutuhan si anak, maka anak bisa menjadi seorang yang selalu merasa tidak aman dan tidak bisa mempercayai orang lain, menjadi seorang yang selalu skeptis dan menghindari hubungan yang berdasarkan saling percaya sepanjang hidupnya.
b.             Autonomy vs Doubt (Otonomi vs Malu, 18 bulan–3 tahun)
Kemampuan anak untuk melakukan beberapa hal pada tahap ini sudah mulai berkembang, seperti makan sendiri, berjalan, dan berbicara. Kepercayaan yang diberikan orang tua untuk memberikannya kesempatan bereksplorasi sendiri dengan dibawah bimbingan akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri serta percaya diri.
c.              Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Rasa Bersalah, 3 – 6 tahun)
Anak usia prasekolah sudah mulai mematangkan beberapa kemampuannya yang lain seperti motorik dan kemampuan berbahasa, dan mengembangkan inisiatif untuk mulai bertindak. Apabila orang tua selalu memberikan hukuman untuk dorongan inisiatif anak, akibatnya anak dapat selalu merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk mengambil tindakan. Namun, inisiatif yang berlebihan juga tidak dapat dibenarkan karena anak tidak akan memedulikan bimbingan orang tua kepadanya. Sebaliknya, jika anak memiliki inisiatif yang terlalu sedikit, maka ia dapat mengembangkan rasa ketidakpedulian.
d.             Industry vs Inferiority (Tekun vs Rasa Rendah Diri, 6-12 tahun)
Anak yang sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial akan mulai mengembangkan suatu perasaan bangga terhadap identitasnya. Kemampuan akademik anak yang sudah memasuki usia sekolah akan mulai berkembang dan juga kemampuan sosialnya untuk berinteraksi di luar keluarga.
Dukungan dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten serta percaya diri, dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai pengalaman baru. Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan kurangnya dukungan dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif.
e.              Identity vs Role Confusion (Identitas vs Kebingungan Peran, 12-18 tahun)
Pada tahap ini seorang anak remaja akan mencoba banyak hal untuk mengetahui jati diri mereka sebenarnya. Jika anak dapat menjalani berbagai peran baru dengan positif dan dukungan orang tua, maka identitas yang positif juga akan tercapai. Akan tetapi jika anak kurang mendapat bimbingan dan mendapat banyak penolakan dari orang tua terkait berbagai peranannya, maka ia bisa jadi akan mengalami kebingungan identitas serta ketidakyakinan terhadap hasrat serta kepercayaan dirinya.
f.              Intimacy vs Isolation ( Keintiman vs Isolasi, 18-35 tahun)
Tahap pertama dalam perkembangan kedewasaan ini biasanya terjadi pada masa dewasa muda, yaitu merupakan tahap ketika seseorang merasa siap membangun hubungan yang dekat dan intim dengan orang lain. Jika sukses membangun hubungan yang erat, seseorang akan mampu merasakan cinta serta kasih sayang. Pribadi yang memiliki identitas personal kuat sangat penting untuk dapat menembangkan hubungan yang sehat. Sementara kegagalan menjalin hubungan bisa membuat seseorang merasakan jarak dan terasing dari orang lain.
g.             Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan, 35-64 tahun)
ini adalah tahap kedua perkembangan kedewasaan. Normalnya seseorang sudah mapan dalam kehidupannya. Kemajuan karir atau rumah tangga yang telah dicapai memberikan seseorang perasaan untuk memiliki suatu tujuan. Namun jika seseorang merasa tidak nyaman dengan alur kehidupannya, maka biasanya akan muncul penyesalan akan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan merasa hidupnya mengalami stagnasi.
h.             Integrity vs Despair (Integritas vs Keputusasaan, 65 tahun keatas)
Pada fase ini seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flash back tentang alur kehidupannya yang telah dijalani. Juga berusaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaiklikan. Jika berhasil melewati tahap ini, maka seseorang akan mendapatkan kebijaksanaan, namun jika gagal mereka bisa menjadi putus asa. 

   Memadukan Pandangan Piaget, Kahlberg, Erik Erikson
Berdasarkan pemaparan tiga tokoh perkembangan moral yakni Jean Piaget, Kohlberg, dan Ericson, dapat dilihat beberapa kesamaan pandangan dan perbedaan, utamanya berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan anak. Kesamaan pandangan yang paling nampak adalah pengakuan terhadap adanya tahap-tahap perkembangan moral anak dari dari tahap yang paling sederhana dan sangat realistik dan memandang sesuatu sampai pada struktur yang lebih kompleks, walaupun jumlah dan sebutan untuk masing-masing tahap berbeda menurut hasil penelitian dan kajian mereka masing-masing.
Selain kesamaan, perbedaan para ahli tentang perkembangan anak dapat dilihat bahwa kesimpulan Jean Piaget mengatakan bahwa semua anak akan berkembang mulai urutan-urutan yang sama tanpa harus bergantung pada tingkat pengalaman, kondisi keluarga bahkan cenderung merupakan kesimpulan yang kurang proporsional. Pandangan Piaget berbeda dengan pandangan Erikson yang melihat bahwa perkembangan tiap-tiap tahap harus didukung oleh pranata-pranata budaya yang kuat, utamanya oleh orang tua dan berbagai unsur kemasyarakatan. Pada teori perkembangan moral Kolhberg, perkembangan anak lebih didominasi oleh perhatiannya pada faktor-faktor didalam individu sendiri dan kurang melihat pentingnya faktor lingkungan dan sosial.

     Implementasi Keterpaduan dalam Pembelajaran
Beberapa teori atau pandangan yang dikemukakan sebelumnya memberikan inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap perkembangan dan eksisitensi siswa, pemilihan bahan pembelajaran dan strategi pembelajaran dalam mewujudkan pembelajaran yang optimal. Dalam proses belajar mengajar, diharapkan berlangsung interaksi intruksional, tetapi juga interaksi pedagogis yang mengutamakan sentuhan-sentuhan emosional sehingga anak merasa senang belajar. Hal ini didukung oleh Jean Piaget yang mengingkatkan pentingnya metode mengajar anak seimbang dengan usia dan perkembangan fisiknya.
Pemahaman peserta didik merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Dalam upaya–upaya pengembangan peserta didik agar mampu mngeaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Untuk terwujudnya iklim dan proses pembelajaran yang kondusif perlu didukung oleh berbagai faktor, baik berkenana dengan kemampuan guru, misalnya di dalam memilih bahan ajar, sarana dan fasilitas pendukung serta yang tidak kalah pentingnya kesiapan dan motivasi siswa dalam hal belajar untuk mencapai hasi belajar yang optimal.