Thursday, March 11, 2021

BELIS DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR

 

Hakikat Belis

Belis merupakan kata lain dari maskawin atau mahar bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Belis menjadi hak mutlak calon pengantin wanita yang wajib diberikan oleh pengantin pria sebelum akad nikah dilangsungkan. Belis melambangkan tanggung jawab pengantin pria terhadap wanitanya, yang kemudian menjadi istrinya. Belis adalah harta yang diberikan pada saat melangsungkan sebuah perkawinan adat. Belis menjadi unsur dalam lembaga perkawinan adatyang memegang peranan penting.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Fransiska Idaroyani Neonnub (2018:111) belis mempunyai arti untuk menentukan sahnya perkawinan sebagai imbalan jasa atau jerih payah orangtua, sebagai tanda penggantian nama si gadis. Artinya, menurunkan nama keluarga si gadis dan menaikkan nama keluarga laki-laki. Jika tidak dilaksanakan belis, pihak laki-laki tidak berhak atas pemberian nama suku atas nama sukunya.

Rodliyah dkk (2016:27) mengungkapkan “According to public opinion the meaning of belis in kinship bound understanding is a sign for showing a gratitude to a female who wishes moving to her new family relationship which in turn honoring her role as a wife of the groom”. Berdasarkan pandangan umum, makna belis dalam pengertian ikatan kekerabatan adalah tanda bagi menunjukkan rasa terima kasih kepada seorang wanita yang ingin pindah ke hubungan keluarga barunya yang pada gilirannya menghormati perannya sebagai istri pengantin pria.

Pemberian belis dianggap sebagai tradisi yang tidak terlepas dari pandangan belis sebagai sebuah budaya yang hidup bersama dengan masyarakat, khususnya dalam hal ini masyarakat Bajawa. Menurut Larry Samovar dkk (2007) seperti yang dikutip dalam skripsi Theresia Christina Nuwa tahun 2019, belis dikatakan sebagai budaya karena memuat elemen-elemen seperti, pertama, belis adalah bagian dari sejarah dan sebagai tradisi yang dilakukan dimulai dari generasi-generasi yang sudah lalu sebagai identitas yang dimiliki oleh masyarakat Nusa Tengga Timur. Kedua, sebuah budaya didalamnya terdapat nilai-nilai yang tidak hanya diikuti oleh kelompok sosial tertentu, tetapi kelompok ini pulalah yang menciptakan nilai-nilai tersebut. Nilai dalam suatu budaya sebagai pedoman tentang bagaimana seorang individu dalam sebuah kebudayaan masyarakat tertentu harus memahami sesuatu dan berperilaku.

Ketiga, belis hidup ditengah-tengah kelompok sosial yakni masyarakat yang terdapat agen-agen sosialisasi seperti keluarga, pemerintah, institusi pendidikan dan masyarakat itu sendiri. Maka, budaya dikaitkan dengan internalisasi nilai-nilai yang berkelanjutan dari tiap generasi yang hidup dalam sebuah komunitas sosial. Keempat, bahasa sebagai elemen yang menjalankan elemen lainnya. Melalui bahasa, nilai-nilai membudaya dari tiap generasi dapat dikomunikasikan. Bahasa tidak hanya memberikan ruang untuk berbagi gagasan, perasaan dan informasi, namun melalui bahasa itulah budaya dapat ditransmisikan.

Belis dianggapnya sebagai na buah ma an mane (suatu simbol untuk mempersatukan laki-laki dan wanita sebagai suami istri). Selain itu juga belis dipandang sebagai syarat pengesahan berpindahnya keanggotaan suku dari suku wanita ke suku suaminya. Oleh karena selama belis belum terbayar dalam perkawinan belis dihutang, suami harus tinggal di rumah orang tua wanita dan tidak berhak atas anak-anaknya. Hal ini juga karena adanya anggapan bahwa laki-laki itu sebagai balas jasa pada ibu dan kakeknya yang wanita yang telah melahirkan dan memelihara serta membesarkannya.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981:95) belis di Nusa Tenggara Timur pada umumnya berupa emas, perak, dan hewan, seperti kerbau dan kuda. Barang-barang lain berupa bahan makanan, misalnya beras, jagung dan sebagainya. Pada beberapa daerah tertentu belis berupa barang-barang khusus, seperti di Alor belis 'biasanya berupa Moko (nakara kecil), di Flores Timur dan Maumere (Sikka) berupa gading gajah.

Mengenai besarnya belis, ditentukan oleh tinggi rendahnya status sosial wanita dan oleh hasil perundingan antara pihak 1aki-laki dan pihak wanita. Untuk menentukan siapa yang akan menerima bagian dari belis, biasanya diadakan perundingan lebih dulu. Orang-orang yang tentu mendapat bagian yaitu: Orangtua wanita, paman, kakak, tua adat. Dalam pembayaran belis, sering ditambah dengan kewajiban menurut adat karena pelanggaran-pelanggaran atau denda-denda karena kesalahan yang jumlahnya tidak sedikit. Bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur, urusan kawin termasuk pengadaan belis bukan merupakan urusan individu yang bersangkutan atau keluarga inti, tetapi merupakan urusan clan secara keseluruhan. Belis dikutip dari Neonnub (2018:111) mempunyai beberapa fungsi untuk pihak laki-laki dan perempuan antara lain:

a.              Alat penentu sahnya perkawinan.

b.             Sebagai alat mempererat hubungan keluarga.

c.              Sebagai penanda bahwa si gadis telah keluar dari keluarga asal.

d.             Alat menaikkan nama keluarga laki-laki.

 

Dikutip dalam skripsi Sri Wahyuni (2016:8) “Belis mempunyai fungsi ekonomi, sosial, moral dan lambang status perempuan. Belis juga mempunyai makna yang sangat penting dalam perkawinan adat. sebagai bentuk penghargaan, penghormatan kepada perempuan dan keluarganya, belis sebagai pengikat hubungan perkawinan, belis merupakan alat pengesahan perkawinan, lambang status perempuan”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Siti Rodliyah (2018:65) dalam penelitiannya sebagai berikut:


Keberadaan belis seiring dengan fungsi dan makna sosial masyarakat NTT. Belis mencerminkan prestise dan harga diri wanita maupun pria; antara belis yang terbayar lunas ataupun tidak, belis menunjukkan norma sosial dan kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Nilai sosial belis memupuk kerja sama antar keluarga yang bersangkutan.Belis dalam pelunasannya sering melibatkan keluarga besar pihak pria maupun wanita. Menghormati wanita dan keluarga orang tua mereka adalah sebuah bentuk nilai sosial yang diajarkan dalam tradisi belis.

Dalam pembayarannya, belis bisa berdampak positif dan negatif. Dampak positif dari pemberian belis seperti yang dikutip dalam jurnal yang di tulis oleh Neonnub (2018:112), antara lain:

a.              Martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat.

Melalui pemberian belis martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat atau diangkat karena pihak pria dianggap mampu membayar belis yang ditentukan oleh pihak keluarga wanita.

b.             Pihak keluarga wanita merasa dihargai.

Maksud dari pemberian belis ini adalah sebagai imbalanm jasa atau penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan jerih payah orangtua selama melahirkan dan memlihara si gadis sampai dewasa.

c.              Munculnya sebuah kekerabatan baru.

Dengan memberikan belis akan muncul sebuah kekerabatan baru antara keluarga wanita dan pria. belis dijadikan sebagai pengikat.

d.             Calon pengantin

Melalui pemberian belis, calon pengantin pria dan wanita sudah mendapat restu dari orangtua dan keluarga sehingga boleh melanjutkan hubungan kejenjang perkawinan.

 

Selain dampak positif, belis juga ada dampak negatif. Adapun dampak negatif dari pemberian belis, antara lain:

a.              Martabat wanita direndahkan

Dengan pemberian belis kepada keluarga wanita, pihak pria merasa bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga martabat wanita direndahkan dan wanita kurang dihargai dalam hidup berumah tangga.

b.             Pihak laki-laki merasa malu

Jika pihak pria tidak mampu membayar belis maka pria akan tinggal di rumah keluarga wanita dan bekerja untuk keluarga wanita. Wanita merasa statusnya lebih tinggi dari pria itu sehingga pria akan merasa malu.

c.              Pertentangan diantara kedua keluarga

Hal ini terjadi karena belis yang dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi sehingga pihak pria tidak mampu membayarnya.

d.             Menimbulkan utang piutang

Jika tak mampu membayar belis, maka keluarga laki-laki mengambil jalan pintas dengan meminjam uang pada pihak lain sehingga menimbulkan utang piutang.


Ada beberapa pola perkawinan yang ada pada masyarakat Nusa Tenggara Timur.


a.              Pertama, kawin pinang: perkawinan yang didahului dengan peminangan, sesuai dengan adatnya. Ini merupakan perkawinan yang ideal.

b.             Kedua, Kawin lari: hal ini terjadi apabila, anak sudah saling mencintai tetapi orangtua tidak setuju. Setelah mendapat perlindungan adat, perkawinan dilanjutkan seperti biasa, dengan pembayaran belis dan denda-denda lainnya. Apabila belisnya dibayar kontan, maka si istri langsung dapat pindah ke clan suaminya. Sedang apabila belis dihutang mengakibatkan kawin masuk. Suami harus menetap di pihak wanita selama belis belum terbayar lunas.

c.              Ketiga, kawin menggantikan yaitu seorang yang ditinggalkan mati atau oleh karena suaminya telah lama tidak pulang (tak ada khabar dari suaminya) dikawinkan lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Ini berdasarkan cinta mencintai, bukan paksaan. Wanita tersebut dapat pula kawin dengan laki-laki lain tetapi pihak suami yang baru itu harus membayar beli kepada pihak suaminya yang lama. Apabila kawin dengan laki-laki yang masih termasuk keluarga suaminya yang lama, tidak diperlukan lagi pembayaran belis. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1981:98).


Perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya melalui beberapa tahap yaitu peminangan, pembayaran belis, dan upacara perkawinan. Peminangan pada umumnya dilakukan oleh tua adat atau ketua suku. Pada waktu meminang pada umumnya orang harus membawa sirih pinang. Pada umumnya waktu meminang menggunakan bahasa-bahasa kiasan waktu menyampaikan maksud atau ketika menjawabnya. Apabila peminangan telah diterima, barang yang dibawa waktu itu tidak dikembalikan. Jika ditolak semua barang bawaan tadi dikembalikan semuanya.

Kemudian sampai tahap kedua yakni merundingkan tentang belis. Di Nusa Tenggara Timur, belis merupakan unsur dalam lembaga perkawinan yang memegang peranan penting. Belis dianggapnya sebagai na buah ma an mane (suatu simbol untuk mempersatukan laki-laki dan wanita sebagai suami istri). Selain itu juga belis dipandang sebagai syarat pengesyahan berpindahnya keanggotaan suku dari suku wanita ke suku suaminya. Oleh karena selama belis belum terbayar dalam perkawinan belis dihutang, suami harus tinggal di rumah orang tua wanita dan tidak berhak atas anak-anaknya. Hal ini juga karena adanya anggapan bahwa laki-laki itu sebagai balas jasa pada ibu dan kakeknya yang wanita yang telah melahirkan dan memelihara serta membesarkannya.

Berdasarkan tulisan portal online yang diterbitkan oleh Multi Language Documents (2015) dengan judul Kebudayaan Ngada sebelum sampai pada pembayaran belis, dimulai dengan pengenalan dan pacaran (papa tei tewe moni neni) tahap ini merupakan tahap mencari jodoh yang dilakukan sendiri oleh sang pria. Hasil temuannya disampaikan kepada orang tuanya untuk diproses lebih lanjut dengan tata urusan yang mulai melibatkan keluarga besar dan anggota suku.

Kedua, beku mebhu tana tigi (hancurnya dedaunan di sepanjang jalan dan padatnya tanah yang sering dilalui). Disebut demikian karena inilah yang dinamakan dengan tahap penjajakan yang bukan dilakukan oleh pemuda kepada pacarnya, tetapi oleh ibunya. Ibu sang pemudalah yang aktif ke rumah calon besannya untuk menjajaki kenyataan perilaku dan sifat gadis idaman anaknya dan berupaya mendapatkan kepastian apakah gadis yang bersangkutan sungguh-sunguh bebas dari incaran pria lain selain putranya.

Ketiga, bere tere oka pale (meletakan tempat untuk sekapur sirih). Inilah tahap peminangan atau melamar. Di sini, pihak lelaki mengutus juru bicara peminangannya yang terdiri dari saudari kandung dan beberapa wanita lainnya yang dianggap layak dan mampu bersekapur sirih dengan pihak gadis pinangan dan keluarganya. Hal ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk diketahui oleh seisi kampung bahwa gadis itu telah dipinang (dilamar). Acara ini dilakukan dengan penuh persaudaraan dan keakraban sebagai suatu kerabat yang saling menerima dalam satu ikatan.

Keempat, nasa. Berarti, kedua calon suami-istri menjalankan pencocokan tingkah laku atau tahap penyamaan persepesi, visi dan misi, sebelum menikah secara adat. Masa ini boleh disebut sebagai masa pertunanganan. Kelima, zeza: yang merupakan upacara peresmian atau pengesahan perkawinan secara adat. Dalam upacara zeza ini akan dilakukan beberapa ritus pokok:

a.    Zia  ura ngana. Pada waktu ritus ini, babi dan beras diletakkan pada tempat yang sama lalu didoakan oleh tua adat kemudian dimasak untuk dimakan dalam acara tersebut.

b.     Pengurapan darah babi pada pengantin: darah babi yang dioleskan di dahi merupakan penegasan seorang laki-laki memasuki rumah wanita.

c.       Tota ura ngana untuk membaca kehendak penguasa langit dan bumi dan para leluhur guna membimbing, melindungi pengantin sesuai dengan permohonan yang diharapkan dalam pengucapan doa.

d.     Bau gae persembahan atau penyajian yang suci kepada penguasa langit dan bumi dan para luluhur sekaligus memohon perlindungan dan naungan itu.

e.   Zeza pemberian makan makanan utama berupa daging babi dan nasi kepada pengantin lelaki sebagai ujud untuk sudah boleh hidup bersama.

f.      Ritus Penutup acara penutup sering disebut dengan “Ka toka inu sobhe, lese dhe peda pawe.” Yang memiliki arti makan bersama penutup bagi semua yang hadir pada upacara tersebut.