Hakikat
Belis
Belis merupakan
kata lain dari maskawin atau mahar bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Belis menjadi hak mutlak calon pengantin
wanita yang wajib diberikan oleh pengantin pria sebelum akad nikah
dilangsungkan. Belis melambangkan tanggung jawab pengantin pria terhadap wanitanya,
yang kemudian menjadi istrinya. Belis adalah harta yang diberikan pada saat
melangsungkan sebuah perkawinan adat. Belis menjadi unsur dalam lembaga
perkawinan adatyang memegang peranan penting.
Dalam
jurnal yang ditulis oleh Fransiska Idaroyani Neonnub (2018:111) belis mempunyai arti untuk menentukan
sahnya perkawinan sebagai imbalan jasa atau jerih payah orangtua, sebagai tanda
penggantian nama si gadis. Artinya, menurunkan nama keluarga si gadis dan
menaikkan nama keluarga laki-laki. Jika tidak dilaksanakan belis, pihak
laki-laki tidak berhak atas pemberian nama suku atas nama sukunya.
Rodliyah
dkk (2016:27) mengungkapkan “According to
public opinion the meaning of belis in kinship bound understanding is a sign
for showing a gratitude to a female who wishes moving to her new family
relationship which in turn honoring her role as a wife of the groom”.
Berdasarkan pandangan umum, makna belis dalam pengertian ikatan kekerabatan
adalah tanda bagi menunjukkan rasa terima kasih kepada seorang wanita yang
ingin pindah ke hubungan keluarga barunya yang pada gilirannya menghormati
perannya sebagai istri pengantin pria.
Pemberian
belis dianggap sebagai tradisi yang tidak terlepas dari pandangan belis sebagai
sebuah budaya yang hidup bersama dengan masyarakat, khususnya dalam hal ini
masyarakat Bajawa. Menurut Larry Samovar dkk (2007) seperti yang dikutip dalam
skripsi Theresia Christina Nuwa tahun 2019, belis dikatakan sebagai budaya
karena memuat elemen-elemen seperti, pertama,
belis adalah bagian dari sejarah dan sebagai tradisi yang dilakukan dimulai
dari generasi-generasi yang sudah lalu sebagai identitas yang dimiliki oleh
masyarakat Nusa Tengga Timur. Kedua,
sebuah budaya didalamnya terdapat nilai-nilai yang tidak hanya diikuti oleh
kelompok sosial tertentu, tetapi kelompok ini pulalah yang menciptakan
nilai-nilai tersebut. Nilai dalam suatu budaya sebagai pedoman tentang
bagaimana seorang individu dalam sebuah kebudayaan masyarakat tertentu harus memahami
sesuatu dan berperilaku.
Ketiga,
belis hidup ditengah-tengah kelompok sosial yakni masyarakat yang terdapat
agen-agen sosialisasi seperti keluarga, pemerintah, institusi pendidikan dan
masyarakat itu sendiri. Maka, budaya dikaitkan dengan internalisasi nilai-nilai
yang berkelanjutan dari tiap generasi yang hidup dalam sebuah komunitas sosial.
Keempat, bahasa sebagai elemen yang
menjalankan elemen lainnya. Melalui bahasa, nilai-nilai membudaya dari tiap
generasi dapat dikomunikasikan. Bahasa tidak hanya memberikan ruang untuk
berbagi gagasan, perasaan dan informasi, namun melalui bahasa itulah budaya
dapat ditransmisikan.
Belis
dianggapnya sebagai na buah ma an mane
(suatu simbol untuk mempersatukan laki-laki dan wanita sebagai suami istri).
Selain itu juga belis dipandang sebagai syarat pengesahan berpindahnya
keanggotaan suku dari suku wanita ke suku suaminya. Oleh karena selama belis
belum terbayar dalam perkawinan belis dihutang, suami harus tinggal di rumah
orang tua wanita dan tidak berhak atas anak-anaknya. Hal ini juga karena adanya
anggapan bahwa laki-laki itu sebagai balas jasa pada ibu dan kakeknya yang
wanita yang telah melahirkan dan memelihara serta membesarkannya.
Dalam
buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981:95) belis
di Nusa Tenggara Timur pada umumnya berupa emas, perak, dan hewan, seperti
kerbau dan kuda. Barang-barang lain berupa bahan makanan, misalnya beras,
jagung dan sebagainya. Pada beberapa daerah tertentu belis berupa barang-barang
khusus, seperti di Alor belis 'biasanya berupa Moko (nakara kecil), di Flores
Timur dan Maumere (Sikka) berupa gading gajah.
Mengenai
besarnya belis, ditentukan oleh tinggi rendahnya status sosial wanita dan oleh
hasil perundingan antara pihak 1aki-laki dan pihak wanita. Untuk menentukan
siapa yang akan menerima bagian dari belis, biasanya diadakan perundingan lebih
dulu. Orang-orang yang tentu mendapat bagian yaitu: Orangtua wanita, paman,
kakak, tua adat. Dalam pembayaran belis, sering ditambah dengan kewajiban
menurut adat karena pelanggaran-pelanggaran atau denda-denda karena kesalahan
yang jumlahnya tidak sedikit. Bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur, urusan
kawin termasuk pengadaan belis bukan merupakan urusan individu yang
bersangkutan atau keluarga inti, tetapi merupakan urusan clan secara
keseluruhan. Belis dikutip dari Neonnub (2018:111) mempunyai beberapa fungsi untuk pihak
laki-laki dan perempuan antara lain:
a.
Alat
penentu sahnya perkawinan.
b.
Sebagai
alat mempererat hubungan keluarga.
c.
Sebagai
penanda bahwa si gadis telah keluar dari keluarga asal.
d.
Alat
menaikkan nama keluarga laki-laki.
Dikutip dalam skripsi Sri Wahyuni
(2016:8) “Belis mempunyai fungsi ekonomi, sosial, moral dan lambang status
perempuan. Belis juga mempunyai makna yang sangat penting dalam perkawinan adat.
sebagai bentuk penghargaan, penghormatan kepada perempuan dan keluarganya,
belis sebagai pengikat hubungan perkawinan, belis merupakan alat pengesahan
perkawinan, lambang status perempuan”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Siti
Rodliyah (2018:65) dalam penelitiannya sebagai berikut:
Keberadaan belis seiring dengan fungsi dan makna sosial masyarakat NTT. Belis mencerminkan prestise dan harga diri wanita maupun pria; antara belis yang terbayar lunas ataupun tidak, belis menunjukkan norma sosial dan kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Nilai sosial belis memupuk kerja sama antar keluarga yang bersangkutan.Belis dalam pelunasannya sering melibatkan keluarga besar pihak pria maupun wanita. Menghormati wanita dan keluarga orang tua mereka adalah sebuah bentuk nilai sosial yang diajarkan dalam tradisi belis.
Dalam pembayarannya, belis bisa berdampak positif dan negatif.
Dampak positif dari pemberian belis seperti yang dikutip dalam jurnal yang di tulis oleh Neonnub (2018:112),
antara lain:
a.
Martabat
keluarga laki-laki menjadi terhormat.
Melalui pemberian belis martabat
keluarga laki-laki menjadi terhormat atau diangkat karena pihak pria dianggap
mampu membayar belis yang ditentukan oleh pihak keluarga wanita.
b.
Pihak
keluarga wanita merasa dihargai.
Maksud dari pemberian belis ini
adalah sebagai imbalanm jasa atau penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan
jerih payah orangtua selama melahirkan dan memlihara si gadis sampai dewasa.
c.
Munculnya
sebuah kekerabatan baru.
Dengan memberikan belis akan
muncul sebuah kekerabatan baru antara keluarga wanita dan pria. belis dijadikan
sebagai pengikat.
d.
Calon
pengantin
Melalui pemberian belis, calon
pengantin pria dan wanita sudah mendapat restu dari orangtua dan keluarga
sehingga boleh melanjutkan hubungan kejenjang perkawinan.
Selain
dampak positif, belis juga ada dampak negatif. Adapun dampak negatif dari pemberian
belis, antara lain:
a.
Martabat
wanita direndahkan
Dengan pemberian belis kepada
keluarga wanita, pihak pria merasa bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga
martabat wanita direndahkan dan wanita kurang dihargai dalam hidup berumah
tangga.
b.
Pihak
laki-laki merasa malu
Jika pihak pria tidak mampu
membayar belis maka pria akan tinggal di rumah keluarga wanita dan bekerja
untuk keluarga wanita. Wanita merasa statusnya lebih tinggi dari pria itu
sehingga pria akan merasa malu.
c.
Pertentangan
diantara kedua keluarga
Hal ini terjadi karena belis yang
dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi sehingga pihak pria tidak mampu
membayarnya.
d.
Menimbulkan
utang piutang
Jika tak mampu membayar belis, maka keluarga laki-laki mengambil jalan pintas dengan meminjam uang pada pihak lain sehingga menimbulkan utang piutang.
Ada beberapa pola perkawinan yang ada pada masyarakat Nusa Tenggara Timur.
a.
Pertama, kawin pinang: perkawinan
yang didahului dengan peminangan, sesuai dengan adatnya. Ini merupakan
perkawinan yang ideal.
b.
Kedua, Kawin lari:
hal ini terjadi apabila, anak sudah saling mencintai tetapi orangtua tidak
setuju. Setelah mendapat perlindungan adat, perkawinan dilanjutkan seperti
biasa, dengan pembayaran belis dan denda-denda lainnya. Apabila belisnya
dibayar kontan, maka si istri langsung dapat pindah ke clan suaminya. Sedang
apabila belis dihutang mengakibatkan kawin masuk. Suami harus menetap di pihak
wanita selama belis belum terbayar lunas.
c.
Ketiga, kawin
menggantikan yaitu seorang yang ditinggalkan mati atau oleh karena suaminya
telah lama tidak pulang (tak ada khabar dari suaminya) dikawinkan lagi dengan
saudara laki-laki dari suaminya. Ini berdasarkan cinta mencintai, bukan
paksaan. Wanita tersebut dapat pula kawin dengan laki-laki lain tetapi pihak
suami yang baru itu harus membayar beli kepada pihak suaminya yang lama.
Apabila kawin dengan laki-laki yang masih termasuk keluarga suaminya yang lama,
tidak diperlukan lagi pembayaran belis. (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,1981:98).
Perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat Nusa
Tenggara Timur (NTT) pada umumnya melalui beberapa tahap yaitu peminangan,
pembayaran belis, dan upacara perkawinan. Peminangan pada umumnya dilakukan
oleh tua adat atau ketua suku. Pada waktu meminang pada umumnya orang harus
membawa sirih pinang. Pada umumnya waktu meminang menggunakan bahasa-bahasa
kiasan waktu menyampaikan maksud atau ketika menjawabnya. Apabila peminangan
telah diterima, barang yang dibawa waktu itu tidak dikembalikan. Jika ditolak
semua barang bawaan tadi dikembalikan semuanya.
Kemudian sampai tahap kedua yakni merundingkan
tentang belis. Di Nusa Tenggara Timur, belis merupakan unsur dalam lembaga perkawinan
yang memegang peranan penting. Belis dianggapnya sebagai na buah ma an mane (suatu simbol untuk mempersatukan laki-laki dan
wanita sebagai suami istri). Selain itu juga belis dipandang sebagai syarat
pengesyahan berpindahnya keanggotaan suku dari suku wanita ke suku suaminya.
Oleh karena selama belis belum terbayar dalam perkawinan belis dihutang, suami
harus tinggal di rumah orang tua wanita dan tidak berhak atas anak-anaknya. Hal
ini juga karena adanya anggapan bahwa laki-laki itu sebagai balas jasa pada ibu
dan kakeknya yang wanita yang telah melahirkan dan memelihara serta
membesarkannya.
Berdasarkan tulisan portal online yang diterbitkan
oleh Multi Language Documents (2015) dengan judul Kebudayaan Ngada sebelum
sampai pada pembayaran belis, dimulai dengan pengenalan dan pacaran (papa tei tewe moni neni) tahap ini
merupakan tahap mencari jodoh yang dilakukan sendiri oleh sang pria. Hasil
temuannya disampaikan kepada orang tuanya untuk diproses lebih lanjut dengan
tata urusan yang mulai melibatkan keluarga besar dan anggota suku.
Kedua, beku
mebhu tana tigi (hancurnya dedaunan di sepanjang jalan dan padatnya tanah
yang sering dilalui). Disebut demikian karena inilah yang dinamakan dengan
tahap penjajakan yang bukan dilakukan oleh pemuda kepada pacarnya, tetapi oleh
ibunya. Ibu sang pemudalah yang aktif ke rumah calon besannya untuk menjajaki
kenyataan perilaku dan sifat gadis idaman anaknya dan berupaya mendapatkan
kepastian apakah gadis yang bersangkutan sungguh-sunguh bebas dari incaran pria
lain selain putranya.
Ketiga, bere
tere oka pale (meletakan tempat untuk sekapur sirih). Inilah tahap
peminangan atau melamar. Di sini, pihak lelaki mengutus juru bicara
peminangannya yang terdiri dari saudari kandung dan beberapa wanita lainnya
yang dianggap layak dan mampu bersekapur sirih dengan pihak gadis pinangan dan
keluarganya. Hal ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk diketahui oleh
seisi kampung bahwa gadis itu telah dipinang (dilamar). Acara ini dilakukan
dengan penuh persaudaraan dan keakraban sebagai suatu kerabat yang saling
menerima dalam satu ikatan.
Keempat, nasa.
Berarti, kedua calon suami-istri menjalankan pencocokan tingkah laku atau tahap
penyamaan persepesi, visi dan misi, sebelum menikah secara adat. Masa ini boleh
disebut sebagai masa pertunanganan. Kelima, zeza:
yang merupakan upacara peresmian atau pengesahan perkawinan secara adat. Dalam upacara
zeza ini akan dilakukan beberapa ritus pokok:
a. Zia ura ngana. Pada waktu
ritus ini, babi dan beras diletakkan pada tempat yang sama lalu didoakan oleh
tua adat kemudian dimasak untuk dimakan dalam acara tersebut.
b. Pengurapan
darah babi pada pengantin: darah babi yang dioleskan di dahi merupakan
penegasan seorang laki-laki memasuki rumah wanita.
c. Tota ura ngana untuk membaca
kehendak penguasa langit dan bumi dan para leluhur guna membimbing, melindungi
pengantin sesuai dengan permohonan yang diharapkan dalam pengucapan doa.
d. Bau gae persembahan
atau penyajian yang suci kepada penguasa langit dan bumi dan para luluhur
sekaligus memohon perlindungan dan naungan itu.
e. Zeza pemberian makan
makanan utama berupa daging babi dan nasi kepada pengantin lelaki sebagai ujud
untuk sudah boleh hidup bersama.
f. Ritus Penutup acara penutup
sering disebut dengan “Ka toka inu sobhe,
lese dhe peda pawe.” Yang memiliki arti makan bersama penutup bagi semua
yang hadir pada upacara tersebut.