Sunday, December 17, 2023

FENOMENA KEDAI KOPI DALAM PERSPEKTIF AGIL TALCOTT PARSONS

  

kompasiana.com

BIOGRAFI

Sosiolog yang berasal dari Amerika Serikat ini lahir pada 13 Desember 1902 tepatnya di Colorado. Talcott Parsons merupakan salah satu sosiolog Amerika terpenting pada abad ke-20. Ia dikenal sebagai bapak Strukturalis-Fungsionalisme karena jasanya memperkenalkan sosiologi Eropa ke AS dengan menerjemahkan teks-teks penting para sarjana Eropa. Parsons menghubungkan disiplin ilmu sosiologi dengan psikologi klinis dan antropologi sosial. Ia  mendominasi sosiologi Amerika hingga tahun 60an.

Talcott Parsons lahir dari pasangan Edward Smith Parsons dan Mary Augusta Ingersoll. Ia dibesarkan dalam keluarga yang memiliki latar belakang intelektual dan religius. Ayahnya adalah seorang pendeta gereja Kongregasional, seorang profesor dan presiden dari sebuah perguruan tinggi kecil. In 1927, Parsons got married to Hallen Bancroft Walker with who he had three children. Talcott Parsons died in May 8, 1979 due to a heart stroke[1]. Tahun 1927, Parsons menikah dengan Hallen Bancroft Walker dan memiliki tiga orang anak. Ia meninggal di Amerika karena penyakit struk pada 8 Mei 1979 di usianya yang ke-76 Tahun.

Dalam dunia akademis, pemikiran Parsons sangat dipengaruhi oleh karya Weber. Hal ini terlihat dari sebagian disertasi doktoralnya membahas karya Weber. Tahun 1927, Parsons menjadi pengajar di Harvard sampai ia meninggal. Dalam jenjang kariernya, Parson terpilih menjadi Presiden The American Sociological Association. Semasa hidupnya Parsons telah menulis beberapa buku diantaranya adalah buku The Structure of Social Action (1937), The Social System (1951), dan Toward A General Theory of Action (1951). 

ESENSI TEORI TALCOTT PARSONS

Sebagai seorang sosiolog, Parsons menyumbangkan karya yang berpengaruh di banyak bidang sosiologi, termasuk studi tentang stratifikasi, keluarga, pendidikan dan agama. Parsons semakin dekat dengan perspektif sosiologi yang paling diasosiasikan dengannya yakni fungsionalisme struktural. Teori fungsional struktural merupakan salah satu teori yang terdapat dalam gugusan paradigma fakta sosial, dimana pandangannya lebih mengutamakan pada peran setiap struktur masyarakat dan pengaruhnya terhadap pola dan sistem dalam masyarakat.

Aliran funsional struktural percaya bahwa setiap bagian atau struktur dalam masyarakat fungsional (berfungsi) terhadap struktur yang lain. Artinya tidak satu bagian dalam masyarakat yang tidak memiliki fungsi dalam sistem kehidupan di masyarakat[2]. Fungsionalisme struktural memusatkan perhatian pada masyarakat pada umumnya bukan pada individu. Dalam fungsional struktural, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan pada salah satu bagian akan menyebabkan perubahan pola pada bagian yang lain[3].

Dalam buku terbittan tahun 1951 berjudul  “The Social System”, Talcott Parsons mengemukakan pokok pikirannya tentang konsep AGIL (Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency) yang merupakan pengembangan dari teori fungsionalisme struktural. AGIL merupakan syarat mutlak agar masyarakat, kelompok, atau organisasi selalu dalam keadaan yang harmonis. Jika tidak terpenuhi, maka sistem sosial akan terancam berakhir karena tidak mampu bertahan.

1.    Adaptasi (adaptation)

Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

2.    Pencapaian tujuan (goal attainment)

Sebuah  sistem  harus  dapat menjelaskan dan meraih tujuan utamanya. Goal menentukan  suatu  tujuan  dan  tujuan  tersebut  harus  dicapai  sesuai  dengan rancangan.

3.    Integrasi (integration)

Sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya. Integration  penting  karena saling mempengaruhi satu sama lain.

4.    Pemeliharaan pola (latency)

Sebuah sistem harus bisa melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi itu[4].  Masyarakat harus mempertahankan nilai dasar serta norma yangdisepakati bersama.

Dalam konsep AGIL, apabila dalam masyarakat terjadi perubahan pada satu bagian (AGIL) akan menyebabkan ketidakseimbangan dan akan menciptakan perubahan pada bagian lainya. Jadi dapat disimpulkan teori AGIL milik Talcott Parsons semua elemen harus berfungsi atau fungsional agar masyarakat bisa menjalankan fungsinya dengan baik. 

FENOMENA KEDAI KOPI DALAM PERSPEKTIF AGIL TALCOTT PARSONS

Minum kopi saat ini menjadi suatu ritual wajib bagi sekelompok orang. Sering dijumpai pada  kedai kopi tulisan-tulisan yang menarik seperti, sudahkan anda ngopi hari ini? no coffee, no workee, tidak ada kelas dalam secangkir kopi, KOPI (Ketika Otak Perlu Inspirasi), kopi kita dan kata-kata, seperti kopi cinta itu soal rasa bukan kata, dan masih banyak kata-kata yang menunjukkan betapa banyaknya filosofi bijak dari secangkir kopi.

Nongkrong di kedai kopi kini menjadi sesuatu yang sering dijumpai di kota-kota besar bahkan sampai pelosok desa. Minum kopi kini sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian orang Indonesia. Menurut data Organisasi Kopi Internasional atau International Coffee Organization (ICO) menunjukkan konsumsi kopi melonjak hingga 174 persen pada tahun 2016. HonestDocs[5], sebuah platform informasi kesehatan, menggelar survei nasional terhadap 9.684 orang Indonesia untuk menangkap pola kebiasaan minum menunjukkan bahwa 23% remaja berusia 12-17 tahun mengaku suka minum kopi. Ditemukan juga semakin bertambah usia, tingkat keseringan konsumsi kopi semakin meningkat. Sebanyak 23% responden lansia bahkan minum kopi setidaknya 11 gelas sehari. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena minum kopi sudah merambah berbagai kalangan baik kalangan atas maupun menengah, dengan rentang usia remaja hingga dewasa.

Saat ini kopi menjadi salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Posisinya menjadi 5 besar tertinggi bersanding bersama air putih, teh, dan bir[6]. Alasan kopi menjadi minuman yang begitu banyak dikonsumsi diantaranya:

Dari segi histori, kebiasaan minum kopi di masa lalu hanya dianggap menjadi pembukti bahwa laki-laki sudah dewasa. Pada masa itu, minuman sempat mengalami genderisasi. Seperti wanita di identikan dengan minum teh, pria di identikan dengan minum kopi, dan anak-anak di identikan dengan minum susu. Lain dulu lain sekarang, saat ini minum kopi sudah bukan lagi pria dewasa, melainkan seluruh kalangan khususnya para remaja, baik pria maupun wanita semua. Hal ini menunjukkan bahwa kopi mampu beradaptasi dan menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan zaman. Seperti yang dituliskan Talcott Parsons bahwa untuk menjadi sebuah budaya, sistem (dalam hal ini minum kopi) harus mampu melakukan adaptation dengan lingkungan dan perkembangan zaman.

Bagi penikmat kopi, minum kopi bukan hanya sekedar minum. Perilaku menikmati kopi saat ini tidak hanya menjadi sebuah kebiasaan namun sudah menjadi budaya masyarakat. Dalam perilaku mengkonsumsi kopi ada makna tertentu dari setiap individu. Mulai dari menyantap makanan dan minuman, negosiasi bisnis, tukar pikiran dalam pekerjaan, reuni dengan kawan lama, sampai bincang-bincang non formal di pinggir jalan. Minum kopi di kedai kopi (ngopi) juga adalah aktivitas yang tak peduli status sosial, tanpa membedakan perbedaan jenis kelamin, strata sosial, usia atau apapun yang dapat menjadi penyekat kepopuleran sebutan ngopi ini. Makna minum kopi tidak hanya memenuhi kebutuhan nilai fungsi tetapi juga memenuhi nilai simbolik. Sehingga minum kopi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Dalam minum kopi seperti ada goal attainment bagi penikmatnya. Kebiasaan minum kopi saat ini sudah seperti gaya hidup.

Kehadiran kedai kopi yang terus meningkat membuktikan bahwa minum kopi bisa dinikmati dimanapun dan kapanpun. Kehadiran kedai kopi sebagai ruang publik yang akhirnya menimbulkan kenyamanan bagi masyarakat mendorong munculnya budaya ngopi di kalangan masyarakat.

Meningkatnya penikmat kopi saat ini mendorong lahirnya kedai-kedai kopi dengan segala hal bernuansa modern yang menawarkan kopi dengan berbagai jenis, rasa dan penyajiannya. Kedai-kedai kopi bernuansa modern dengan berbagai nama terkenal di dunia bermunculan di kota-kota Indonesia namun keberadaan kedai kopi modern tersebut belum mampu memusnahkan keberadaan kedai-kedai kopi tradisional yang telah duluan hadir. Kedai kopi tradisional saat ini bisa dikatakan masih unggul dan mencuri hati penikmatnya. Dari hal ini, bisa dikatakan bahwa terjadi integrastion antara kedai kopi tradisional dan modern. Integrasi ini bahkan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menunjukkan eksistensinya kepada kalangan penikmat kopi. Menurut Parsons sistem (kedai kopi) mampu mengatur antar hubungan yang menjadi bagian-bagiannya.

Kedai kopi saat ini bisa di katakana melakukan latency (pemeliharaan pola) dengan saat baik. Aktivitas penikmat kopi saat berada di kedai kopi sangat beragam, mulai dari menikmati atau sekedar membeli aneka makanan dan minuman aktivitas konsumsi), berkumpul atau bersosialisasi dengan kerabat (aktivitas sosial), menyelesaikan urusan yang tidak selesai di balik meja kantor (aktivitas kerja), membuat rencana atau kesepakatan bisnis (aktivitas bisnis), belajar bersama maupun menyelesaikan tugas sekolah atau kampus (aktivitas belajar) hingga bersantai melepas lelah atau mencari hiburan (aktivitas hiburan). Beragam aktivitas tersebut dapat lihat di kedai kopi setiap harinya, bahkan kadangkala dalam durasi waktu yang cukup panjang. Kenyamanan saat berada di kedai kopi dengan segala fasilitas yang ditawarkan mampu tersebut menjadikan kedai kopi sebagai tempat yang diminati atau dianggap penting dalam menjalani aktivitas keseharian bagi penikmat kopi atau masyarakat pada umumnya. Ini juga terjadi bagi seseorang kurang menyukai duduk di kedai kopi, namun ketika ada saudara, teman atau rekan kerja mengajak beraktivitas di kedai kopi, seseorang akan datang berkunjung ke kedai kopi. Ini menunjukkan bahwa kedai kopi melakukan pemeliharaan pola (latency) yang diungkapkan oleh Talcott Parsons dengan sangat baik. Kedai kopi bisa melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi itu.  

Dari fenomena kedai kopi dalam konsep AGIL Talcott Parsons, terjadi perubahan dalam pola masyarakat pada satu bagian baik dilihat dari adaptasi, tujuan, interasi, dan pemeliharaan pola (AGIL). Perubahan satu bagian ini menyebabkan bagian lain harus mampu menyesuaikan diri agar tetap terjadi keseimbangan sehingga semua elemen berfungsi atau fungsional dan sistem (kedai kopi) bisa menjalankan fungsinya dengan baik.

Wahh ternyata AGIL yang ditinjau oleh Talcott Parsons pada masanya masih relevan dengan kebiasaan kita pada saat ini. Keren ya pemikiran para sosiolog. Mereka mampu melihat sebuah fenomena yang terjadi dimasyarakat. Nah TEMANSOS ada yang suka ngopi dak ni ?? kalau nonadeke suka bangat dengan kopi. Tapi ada catatannya, nonadeke buka penikmat kopi. Dalam konsep minum kopinya nonadeke, minuman panas tidak boleh dibiarkan sampai dingin. Sebelum kopi panas menjadi dingin, nonadeke langsung habiskan. Beda sama yang penikmat kopi, semakin dingin kopi semakin nikmat katanya. Bagaimana dengan TEMANSOS? Ditunggu komennya.



[1] Karrie Writes. 2015. Talcott Parsons: A Glimpse into his Personal Life. https://studymoose.com/summer-holiday-essay (diakses pada 21 September 2023)

[2] Farid Al Amin. 2017. Sidoarjo Dari Tinjauan Teori Fungsional Struktural Agil Talcott Parssons. SKRIPSI. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Hal 28-29

[3] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011). Hal. 21.

[4] Ade Herawati. Perubahan Sosial Masyarakat di Masa New Normal (Analisis Menggunakan Perspektif   Sosiologi Talcott Parsons). Jurnal Dinamika Sosial Budaya. Vol.25, No.2, Juni 2023, pp. 285-291

[5] Yayuk Widiyarti. 2019. Kian Banyak Orang Indonesia Minum Kopi, Berapa Jumlah yang Ideal?. Online. gaya.tempo.co

[6] Mustika Treisna Yuliandri. 2023. Kenapa Kopi Jadi Salah Satu Minuman Paling Banyak Dikonsumsi Di Dunia?. Online. ottencoffee.co.id

 

Wednesday, September 20, 2023

TEORI LOOKING GLASS SELF CHARLES HORTON COOLEY

 

id.pinterest.com

BIOGRAFI

Charles Horton Cooley merupakan salah satu sosiolog Amerika Serikat yang menggunakan pendekatan sosiopsikologis dalam memahami masyarakat. Cooley lahir di Michigan 17 Agustus 1864 dari pasangan Thomas M. Cooley dan Mary Elizabeth Horton. Charles adalah anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya, Thomas Cooley merupakan pengacara terpandang dan menjadi hakim di pengadilan tinggi Michigan. Ia menikah dengan Elsie Jones tahun 1890 dan memiliki tiga anak. Cooley meninggal pada 7 Mei 1929 karena penyakit kanker yang dideritanya.

Cooley kecil memiliki kesulitan berbicara, sehingga ia memiliki sedikit teman. Karena hal ini, Ia gemar membaca, menulis, dan merenung (mencari ketenangan). Kota Ann Arbor merupakan kota pelajar dengan suasana yang tenang. Sehingga tidak heran dengan lingkungan sosial yang demikian membentuk kepribadian Cooley yang suka menyendiri dan kontemplatif. Cooley sangat mengangumi kesuksesan besar ayahnya, yang mungkin juga berkontribusi pada kepribadiannya[1]

Diusianya yang sangat muda yakni 16 tahun, Cooley mulai berkuliah di Universitas Michigan dan lulus tahun 1887 sehingga menjadikannya sarjana muda. Cooley melanjutkan  studinya untuk belajar ekonomi, politik, sosiologi dan menerima gelar Ph.D tahun 1894. Ia mengajar di Universitas Michigan mulai tahun 1892, dan tetap di sana sampai akhir hayatnya. Semasa hidupnya Charles Horton Cooley menulis karya populernya seperti Human Nature and Social Order (3 jilid 1902), Social Organization(1909), Social Process (1918) serta karya ilmiah lainnya.

ESENSI THE LOOKING GLASS SELF CHARLES HORTON COOLEY

Dalam bukunya berjudul Social Organization, Cooley menuangkan pemikirannya tentang teori cermin diri atau The Looking Glass Self melalui pendekatan observasional empiris. Sebagai salah satu murid George Herbet Mead, pemikiran Cooley mendapat pengaruh dari Mead. Buku Social Organization menganut pemikiran Mead tentang Interaksi Simbolik yang mana dalam bersosialisasi individu menggunakan simbol dan simbol tersebut memiliki makna. Berbeda dengan Mead, Cooley cenderung menyukai studi kasus dan menggunakan anak-anaknya sendiri sebagai subyek pengamatannya.

Cooley percaya bahwa pembentukan diri atau kepribadian seseorang terjadi melalui interaksi dengan orang lain.  Diri terbentuk melalui dua cara yakni melalui pengalaman aktual seseorang dan melalui apa yang dibayangkan oleh orang lain mengenai gagasan dirinya. Hal inilah yang disebut Cooley sebagai “looking glass self” atau cermin diri. Teori ini mendeskripsikan melalui suatu ibarat mengenai diri individu yang sedang menatap kaca (bercermin)[2].

Secara lebih lanjut Cooley mengemukakan konsep diri teori looking glass self dimana cermin tersebut memantulkan apa yang ada didepannya sehingga seseorang dapat melihat dirinya.

The concept of symbolic interactionism theory according to Cooley provides three premises:1)In social interaction there are individual attitudes and actions on one’sappearance based on their imagination; 2) There is an imagination of whatthey should judgeregarding one’sappearance; 3)The existence of a certain kind of self-feeling, such as a sense of self-worth or shame, as a result of the individual's image of others’ judgement[3].

Dalam pengamatannya [4]terdapat tiga unsur dalam looking glass self, pertama seseorang membayangkan bagaimana dirinya tampak bagi orang lain di sekitarnya. Kedua, seseorang menafsirkan respon dari orang lain. Ketiga, seseorang mengembangkan suatu konsep diri. In Cooley's concept, society is a mirror[5]. Individu menganggap masyarakat sebagai cermin dan dari cermin tersebut individu menerima konsep diri berdasarkan tampilan cermin (masyarakat) atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam refleksi atau pandangan orang lain.

CENTANG BIRU INSTRAGAM  DALAM PERSPEKTIF  THE LOOKING GLASS SELF

Teori looking glass self menggambarkan cerminan individu mengenai bagaimana ia berfikir dan terlihat dihadapan orang lain. Pemikiran dasar dari teori ini adalah konsep diri seseorang terbentuk karena dipengaruhi oleh keyakinan individu bahwa orang lain berpendapat mengenai dirinya.

Menjadi salah satu platform media sosial paling populer saat ini, instagram terus melakukan pembaruan dan pengembangan. Sejak awal perilisannya tahun 2010 silam, Instagram sudah di-download oleh lebih dari 1 miliar pengguna di seluruh dunia. Tidak heran, jika banyak pengguna Instagram berhasil membangun komunitas sendiri yang memiliki ketertarikan sama. Dari kalangan tokoh dunia, selebritis, hingga masyarakat biasa tidak asing dengan media sosial instragram. Instragam memiliki ciri sendiri yakni centang biru bagi pengguna yang memiliki banyak pengikut. Centang biru seakan menunjukkan bahwa pemilik akun terkenal di dunia maya. Dengan banyak pengikut, pemilik akun membangun citra diri sesuai apa yang diinginkannya.

Melihat konsep dasar looking glass self , pertama bahwa seseorang membayangkan dirinya tampak bagi orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, diri sendiri membayangkan bagaimana orang lain melihat mereka. Sama seperti media sosial lainnya, pengguna instagram juga mempunyai maksud tertentu. Ada yang ingin viral hingga dijadikan ladang bisnis. Dengan viral, user mendapat ketenaran dan menjadi terkenal. Terkenal yang dimaksud yaitu banyak pengikut sehingga banyak yang mengenal dirinya, banyak yang melihat dan menyukai unggahannya.

Bagi pengguna instagram, banyak pengikut merupakan sebuah keuntungan. Manfaat centang biru Instagram seolah menunjukkan bahwa akun pengguna memiliki pengaruh dan pantas diikuti oleh banyak pengguna lainnya.  Hal tersebutlah yang membuat user berfikir jika dengan terkenal mereka akan dianggap, dihargai dan dihormati oleh orang lain. Disinilah seseorang membayangkan dirinya bagaimana orang sekitar atau di dunia maya melihat mereka.

Kedua, seseorang menafsirkan respon dari orang lain. Unsur ini merupakan bagaimana seseorang membayangkan penilaian orang lain berdasarkan bagaimana orang berfikir dan memandang mereka. Hal ini dilakukan dengan memaknai respon atau komentar yang diberikan sebagai penilaian atau cara pandang orang lain tentang diri user (pengguna instagram). Tentunya penilaian yang diberikan berbeda-beda.

Jika penilaian tersebut bersifat positif maka user membayangkan bahwa mereka sudah diterima dengan baik dan banyak disukai, yang menimbulkan kepuasan dalam menerima penilian positif tersebut. Begitupun sebaliknya, jika penilaian yang diberikan bersifat negatif maka mereka beranggapan bahwa mereka tidak diterima dengan baik. Dengan citra diri yang dibangun di instagram, user juga berharap bahwa apa yang dibangunnya itulah penilain yang di harapkan dari orang lain terhadap dirinya. Tentunya penilaian tersebut bersifat positif.

Konsep ketiga dari Looking Glass Self adalah seseorang mengembangkan suatu konsep diri. Maksudnya ialah bagaimana individu membangun konsep diri berdasarkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Pengguna instagram akhirnya mengembangkan konsep diri berdasarkan respon atau komentar dari orang lain yang diterima, baik respon positif maupun respon negatif. Yang pada akhirnya menciptakan konsep diri kearah yang positif ataupun konsep diri negatif.

Dikutip dari jurnal Padaringan, dalam perjalanan bermedsos dan menghadapi tantangan, jika pengguna media sosial yakin dan mampu mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, dan mampu memperbaiki diri, maka konsep diri yang dikembangkan akan mengarah pada konsep diri positif. Tetapi jika mereka peka pada kritik, responsif  terhadap pujian, hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain, dan bersikap pesimis terhadap kompetisi maka konsep diri yang dikembangkan akan mengarah kepada konsep diri negatif.

Sebagai contoh kepercayaan dari orang lain. Seorang sudah mendapatkan centang biru, maka menghadirkan rasa percaya bagi pengguna yang mengikuti. Sebagai contoh kepercayaan dari orang lain. Bagi akun Instagram artis, influencer, musisi, dan tokoh terkenal lainnya, centang biru ini menjadi penanda jika akun yang akan di-follow memang lolos verifikasi atau kredibel untuk diikuti. Pengguna dengan adanya kepercayaan yang dibangun orang lain terhadap dirinya, maka user mengembangkan bahwa dirinya bisa dipercaya agar kredibilitasnya tidak turun. User terus mengembangkan diri sesuai dengan citra yang diberikan kepadanya. Secara tidak langsung hal ini memberikan dampak positif terhadap user tersebut.

Saat ini juga di instagram mulai bermunculan kutipan-kutipan indah tentang menjadi diri sendiri. Kutipan ini mendorong kita untuk lebih menghargai dan mencintai diri sendiri. Dari berbagai kutipan tersebut, membuat kita lebih memahami bahwa dengan menjadi diri sendiri akan membuat kita lebih pecaya diri, mendorong diri kita untuk terus melangkah maju menuju tujuan, mencintai apa yang sedang kita kerjakan, lebih dari itu menjadi diri sendiri membuat kita menerima diri kita apa adanya tanpa harus membandingkan dengan orang lain.

Hal ini karena saat seseorang dihadapkan dengan beragam masalah maka satu-satunya cara untuk melawatinya adalah mengsugesti diri sendiri untuk memerangi masalah agar tidak depresi. Kemauan dan tekat yang kuat mempunyai kendali yang lebih besar atas diri kita. Maka tidak adil rasanya penilaian orang lain yang belum tentu mengenal kita secara mendalam menjadi patokan kita dalam mengenal diri kita sendiri. Jadi, mari menjadi diri sendiri selama berproses di kehidupan yang indah ini TEMANSOS.






[1] Lewis A. Coser, Charles Horton Cooley: Orangnya, dalam Magister Pemikiran Sosiologis: Ide dalam Konteks Sejarah dan Sosial (Harcourt, 1977 ISBN 0155551302 ), 314–316.

[2] Shafira, Maya. Analisis Teori Looking-Glass-Self Cooley: Fenomena Eksistensi Akun Kampus Cantik dan Konstruksinya di Masyarakat. The Indonesia Journal of Social Studies. Volume 6 (2) (2022): 12-20

[3] Syam, syahrianti. 2022. Analysis of Cooley’s “Looking Glass Self” in Mattompang Arajang Ceremony for Bugis Bone Culture. Italienisch. ISSN: 0171-4996, Vol. 12, No. 1. pp 936-941

[4] Rizki Setiawan, Rizki dan Nabila, Putri Ayu. Penggunaan Aplikasi Tiktok Dalam Pembentukan Konsep Diri Remaja Di Desa Pisangan Jaya, Kabupaten Tangerang. Padaringan Jurnal pendidikan Sosiologi Antropologi. Vol. 4 No. 3 September 2022

[5] Syahrianti Syam. Analysis of Cooley’s “Looking Glass Self” in Mattompang Arajang Ceremony forBugis Bone Culture. Italienisch. Vol. 12, No. 1, 2022, pp 936-941.

 

Wednesday, August 30, 2023

TEORI KONFLIK MENURUT RALF DAHRENDORF

 

kompasiana.com
 

A.            BIOGRAFI

Dahrendorf merupakan salah satu tokoh sosiolog yang lahir pada tanggal 1 Mei 1929  di Hamburg Jerman. Ia dikenal juga sebagai filsuf, ilmuwan politik, dan politikus liberal Jerman-Britania. Dahrendorf lahir dari pasangan dari Gustav dan Lina. Semasa hidupnya, Dahrendorf menikah dua kali, yakni Ellen Dahrendorf  (1980–2004) sebagai pasangan pertama dan Christiane Dahrendorf  (2004–2009) sebagai pasangan kedua. Dahrendorf juga dikaruniai tiga orang anak yakni Alexandra DahrendorfNicola DahrendorfDaphne Dahrendorf.

Dahrendorf kecil hidup pada rezim Nazi. Hal ini menyebabkan Dahrendorf mempunyai banyak pengalaman mengenai kekejaman terhadap rezim Nazi. Dahrendorf remaja mendukung kegiatan anti Nazi dan sangat menentang kekejaman Nazi. Dahrendorf bersama ayahnya yang seorang anggota SPD Parlemen Jerman, ditangkap dan dikirim ke kamp konsentrasi supaya kegiatan mereka anti-Nazi selama nasional sosialis rezim.

Setelah perang dunia II, Dahrendorf terlibat dalam politik praktis di Jerman Barat. Ia bahkan pernah menjadi anggota parlemen. Dahrendorf juga menduduki jabatan prestisius sebagai direktur London School of Economics tahun 1974-1984. Dari pemikirannya Dahrendorf mempunyai pengaruh yang luas dan tidak terbatas di negaranya.

Dahrendorf mempelajari filsafat psikologi dan sosiologi di Universitas Hamburg tahun 1947-1952 dan meraih gelar doktor filsafat. Selanjutnya pada tahun 1957-1960 ia menjadi profesor ilmu sosiologi di Hambur, Universitas Konstanz, dan Universitas Tabingen. Tahun 1986-1997 Dahrendorf menetap di Inggris dan menjadi warga-warga Inggris di tahun 1988. Dan tahun 1974-1984, Dahrendorf menjadi direktur London School of Economics di London[1]. Pada tahun 1993, Ralf Dahrendorf telah dianugerahi penghargaan gelar sebagi Baron[2].

Ralf Dahrendorf meninggal dunia dalam usia ke-80 di Cologne, Jerman 17 Juni 2009 akibat penyakit kanker yang dideritanya. Dahrendorf meninggalkan seorang istri, tiga putri, dan satu cucu. Sebagai seorang sosiolog era moderen, ia tertarik akan konflik kelas, Dahrendorf merupakan tokoh ternama menganalisis pembagian kelas di masyarakat modern dan diakui sebagai salah satu tokoh pemikir paling berpengaruh di masanya.

 

B.            KARYA-KARYA PEMIKIRAN RAFL DAHRENDORF

Dahrendorf bersama Lewis A.Coser, Gyorgy Lukacs, dan Randal Collins termasuk tokoh teori konflik kontemporer. Karya-karya yang dihasilkan oleh Dahrendorf tidak terlepas dari karya dan pemikiran Karl Marx. Publikasi pertama karya Dahrendorf yakni sebuah tesis tentang filsafat sosial yang berisi kritik terhadap teori Marxis. Tesisnya ini tertuang pula dalam edisi Jerman di buku Modern Konflik Sosial (1992). Teori Konflik Dahrendorf menarik perhatian banyak pihak terutama para sosiolog Amerika. Ia mempublikasikan karya spektakulernya berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society pada tahun 1959[3].


C.            ESENSI TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF

Konflik merupakan gejala yang pasti datang dalam kehidupan sosial masyarakat dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan Karl Marx, Dahrendorf mempunyai pandangan tentang konflik sosial bahwa terjadinya pengelompokan kelas tidak hanya berdasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan–hubungan kekuasaan. Dari hal ini, konflik akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem (hubungan) tersebut. Karenanya konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem. Teori konflik Dahrendorf memaparkan jika relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan.

Dahrendorf menjelaskan bahwa suatu bentuk dari keteraturan di dalam kehidupan masyarakat berasal dari pemaksaan oleh anggotanya pada mereka yang telah memiliki kekuasaan. Yang memiliki kekuasaan selalu menjadi faktor dari konflik sosial. Dalam kehidupan sosial memiliki kekuasaan yang berbeda-beda. Kekuasaan tersebut memiliki dua unsur yaitu penguasa dan orang yang dikuasai[4].

Menurutnya wewenang dan Posisi merupakan kunci utama dari konflik sosial. Perbedaan wewenang menyebabkan perbedaan posisi didalamnya. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata merupakan faktor terjadinya sebuah konflik.  Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan. Apabila seseorang memegang kekuasaan memiliki kewajiban atau beban untuk mempertahankan statusnya pada saat bersamaan. 

Intinya bahwa dalam konflik masyarakat memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus (kesepakatan yang disetujui bersama). Dahrendorf memaparkan tentang kelompok, konflik dan perubahan. Bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang melakukan perubahan dalam struktur sosial.

Sebuah kelompok masyarakat tidak akan ada apabila tidak ada konsensus dan konflik menjadi salah satu kesepakatannya[5]. Hal tersebutlah yang membuat Dahrendorf berpendapat bahwa teori konflik harus dibagi menjadi dua bagian, yakni teori konflik dan teori konsensus. Konflik dapat menimbulkan adanya disintegrasi karena masyarakat tunduk pada proses perubahan dengan pertentangan yang saling beriringan, sedangkan konsensus menciptakan adanya persamaan nilai moral dan norma-norma dalam masyarakat yang dianggap penting bagi keberlangsungan dan perkembangan masyarakat, sehingga muncullah kerjasama antaranggota masyarakat dan dari situlah terjadi adanya integrasi[6].

Dapat disimpulkan konflik menurut Dahrendorf diperlukan agar terciptanya perubahan sosial. Konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya pertentangan dalam kepentingan. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan, sehingga pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan (konsesus) bersama.  Keteraturan yang terjadi pada masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.


D.            IMPLEMENTASI TEORI KONFLIK MENURUT RALF DAHRENDORF

Konflik menurut Dahrendorf  harus dibagi menjadi dua bagian, yakni konflik dan konsensus. Konflik dapat menimbulkan adanya disintegrasi (perpecahan) karena masyarakat tunduk pada proses perubahan dengan pertentangan, sedangkan konsensus menciptakan adanya persamaan nilai moral dan norma-norma yang dianggap penting bagi keberlangsungan dan perkembangan masyarakat. 

Ia percaya bahwa dalam masyarakat ada dua dimensi yang beriringan yakni konflik dan kerja sama. Konflik muncul karena adanya pertentangan kepentingan (kekuasaan) antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Akan tetapi disisi lain, kerja sama juga diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan kesatuan sosial. Baginya, dalam masyarakat modern konflik tidak selalu tentang kepemilikan sarana produksi sebagai pengontrol akan tetapi pertentangan mengenai legitimasi kekuasaan.

Sebagai contoh konket saat ini mulai gencar-gencarnya menyuarakan kesetaraan gender. Gender merupakan pandangan sosial bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan sebagaimana tuntutan masyarakat. Gender erat kaitannya dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Ketika pandangan sosial itu dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena ‘dianggap’ kodrati dan alamiah.

Kelompok wanita mulai menyadari perlunya kesetaraan dengan kaum pria dan menolak posisi semu yang diabaikan dalam struktur sosial. Kemunculan persoalan keterataan gender membuat kaum wanita menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Banyak upaya yang dilakukan kaum perempuan untuk menyuarakan kesetraan genter diantaranya adanya Komnas Perempuan, Samahita Bandung, Hollaback Jakarta, Lentera Sintas Indonesia[7].

Dengan adanya penyuaraan terhadap kesetaraan gender, maka menunjukan bahwa konflik yang terjadi tidak berkaitan dengan kepemilikan lahan produksi. Kaum perempuan menyarakan haknya agar memiliki kesaaman hak dengan laki-laki yang selama ini dipandang memiliki kuasa dalam segala hal. Hal ini sesuai dengan persepektif konflik sosial menurut Dahrendorf bahwa kelompok yang berkuasa (laki-laki) cenderung menciptakan ideologi untuk membenarkan dominasinya, sementara kelompok yang kurang berkuasa (perempuan) mungkin menciptakan ancaman terhadap ideologi tersebut dengan melakukan pemberontakan.

Dari konflik sosial ini juga menciptakan kerjasama positif terhadap kaum perempuan. Mereka bersatu padu melawan segala bentuk kekerasan yang di terima atas ketidakadilan gender dan saling mendukung untuk menyuarakan pendapat di depan publik. Hal inilah yang menurut Dahrendorf membentuk kerjasama (integrasi) bagi perempuan sebagai akibat dari konflik.

 

 

 


[1] George Ritzer & Goodman, Douglas J. 1997. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 103.

[2] Zety Tafiah. 2021. Konversi Bercadar Pada Santri di Pondok Pesantren Thoriqul Ulum Lamongan Perspektif Teori Konflik Ralf Dahrendorf. SKRIPSI. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

[3] Fauziah Nur Aini. 2018. Studi Kasus Penggunaan Rumah Tinggal Sebagai Tempat Ibadah Bagi Umat Kristen Batak Protestan di Pondok Benowo Indah, Babat Jerawat, Pakal, Surabaya. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

[4] Fajri M. Kasim dan Abidin Nurdin. 2015. Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi:Sosiologi Masyarakat Aceh. Aceh: Unimal Press. Hal. 52.

[5] Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Rajawali Pers.

[6] Rany Rizkyah Putri. Konflik Sosial Dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf). Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2018

[7] Nisita Widianti. 2019. 5 Komunitas dan Yayasan yang Peduli dengan Perempuan Korban Kekerasan. Online. https://journal.sociolla.com/lifestyle/komunitas-peduli-perempuan-korban-kekerasan (diakses pada 30 Agustus 2023)