BIOGRAFI
Sosiolog yang berasal dari Amerika Serikat
ini lahir pada 13 Desember 1902 tepatnya di Colorado. Talcott Parsons merupakan
salah satu sosiolog Amerika terpenting pada abad ke-20. Ia dikenal sebagai bapak
Strukturalis-Fungsionalisme karena jasanya memperkenalkan sosiologi Eropa ke AS
dengan menerjemahkan teks-teks penting para sarjana Eropa. Parsons menghubungkan
disiplin ilmu sosiologi dengan psikologi klinis dan antropologi sosial. Ia mendominasi sosiologi Amerika hingga tahun
60an.
Talcott Parsons lahir dari pasangan Edward
Smith Parsons dan Mary
Augusta Ingersoll. Ia dibesarkan dalam keluarga yang memiliki latar belakang
intelektual dan religius. Ayahnya adalah seorang pendeta gereja Kongregasional,
seorang profesor dan presiden dari sebuah perguruan tinggi kecil. In 1927, Parsons got married to Hallen
Bancroft Walker with who he had three children. Talcott Parsons died in May 8,
1979 due to a heart stroke[1].
Tahun 1927, Parsons menikah dengan Hallen Bancroft Walker dan memiliki tiga
orang anak. Ia meninggal di Amerika karena penyakit struk pada 8 Mei 1979 di
usianya yang ke-76 Tahun.
Dalam dunia akademis, pemikiran Parsons sangat dipengaruhi oleh karya Weber. Hal ini terlihat dari sebagian disertasi doktoralnya membahas karya Weber. Tahun 1927, Parsons menjadi pengajar di Harvard sampai ia meninggal. Dalam jenjang kariernya, Parson terpilih menjadi Presiden The American Sociological Association. Semasa hidupnya Parsons telah menulis beberapa buku diantaranya adalah buku The Structure of Social Action (1937), The Social System (1951), dan Toward A General Theory of Action (1951).
ESENSI
TEORI TALCOTT PARSONS
Sebagai
seorang sosiolog, Parsons menyumbangkan karya yang berpengaruh di banyak bidang
sosiologi, termasuk studi tentang stratifikasi, keluarga, pendidikan dan agama.
Parsons semakin dekat dengan perspektif sosiologi yang paling diasosiasikan
dengannya yakni fungsionalisme struktural. Teori
fungsional struktural merupakan salah satu teori yang terdapat dalam gugusan
paradigma fakta sosial, dimana pandangannya lebih mengutamakan pada peran
setiap struktur masyarakat dan pengaruhnya terhadap pola dan sistem dalam
masyarakat.
Aliran
funsional struktural percaya bahwa setiap bagian atau struktur dalam masyarakat
fungsional (berfungsi) terhadap struktur yang lain. Artinya tidak satu bagian
dalam masyarakat yang tidak memiliki fungsi dalam sistem kehidupan di
masyarakat[2]. Fungsionalisme struktural
memusatkan perhatian pada masyarakat pada umumnya bukan pada individu. Dalam
fungsional struktural, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri
dari elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Perubahan pada salah satu bagian akan menyebabkan perubahan pola pada bagian
yang lain[3].
Dalam
buku terbittan tahun 1951 berjudul “The Social System”, Talcott Parsons mengemukakan
pokok pikirannya tentang konsep AGIL (Adaptation,
Goal Atainment, Integration, Latency) yang merupakan pengembangan dari
teori fungsionalisme struktural. AGIL merupakan syarat mutlak agar masyarakat,
kelompok, atau organisasi selalu dalam keadaan yang harmonis. Jika tidak
terpenuhi, maka sistem sosial akan terancam berakhir karena tidak mampu
bertahan.
1.
Adaptasi
(adaptation)
Sistem harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
2.
Pencapaian
tujuan (goal attainment)
Sebuah sistem
harus dapat menjelaskan dan
meraih tujuan utamanya. Goal menentukan
suatu tujuan dan
tujuan tersebut harus
dicapai sesuai dengan rancangan.
3.
Integrasi
(integration)
Sebuah sistem harus mengatur
antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus
mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya. Integration penting
karena saling mempengaruhi satu sama lain.
4.
Pemeliharaan
pola (latency)
Sebuah sistem harus bisa melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi itu[4]. Masyarakat harus mempertahankan nilai dasar serta norma yangdisepakati bersama.
Dalam konsep AGIL, apabila dalam masyarakat terjadi perubahan pada satu bagian (AGIL) akan menyebabkan ketidakseimbangan dan akan menciptakan perubahan pada bagian lainya. Jadi dapat disimpulkan teori AGIL milik Talcott Parsons semua elemen harus berfungsi atau fungsional agar masyarakat bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
FENOMENA
KEDAI KOPI DALAM PERSPEKTIF AGIL TALCOTT PARSONS
Minum kopi saat ini
menjadi suatu ritual wajib bagi sekelompok orang. Sering dijumpai pada kedai kopi tulisan-tulisan yang menarik seperti,
sudahkan anda ngopi hari ini? no coffee,
no workee, tidak ada kelas dalam secangkir kopi, KOPI (Ketika Otak Perlu
Inspirasi), kopi kita dan kata-kata, seperti kopi cinta itu soal rasa bukan
kata, dan masih banyak kata-kata yang menunjukkan betapa banyaknya filosofi
bijak dari secangkir kopi.
Nongkrong di kedai kopi
kini menjadi sesuatu yang sering dijumpai di kota-kota besar bahkan sampai
pelosok desa. Minum kopi kini sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian orang
Indonesia. Menurut data Organisasi Kopi Internasional atau International Coffee Organization (ICO) menunjukkan konsumsi kopi
melonjak hingga 174 persen pada tahun 2016. HonestDocs[5],
sebuah platform informasi kesehatan, menggelar survei nasional
terhadap 9.684 orang Indonesia untuk menangkap pola kebiasaan minum menunjukkan
bahwa 23% remaja berusia 12-17 tahun mengaku suka minum kopi. Ditemukan juga
semakin bertambah usia, tingkat keseringan konsumsi kopi semakin meningkat.
Sebanyak 23% responden lansia bahkan minum kopi setidaknya 11 gelas sehari. Hal
ini menunjukkan bahwa fenomena minum kopi sudah merambah berbagai kalangan baik
kalangan atas maupun menengah, dengan rentang usia remaja hingga dewasa.
Saat ini kopi menjadi salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Posisinya menjadi 5 besar tertinggi bersanding bersama air putih, teh, dan bir[6]. Alasan kopi menjadi minuman yang begitu banyak dikonsumsi diantaranya:
Dari
segi histori, kebiasaan minum kopi di masa lalu hanya dianggap menjadi pembukti
bahwa laki-laki sudah dewasa. Pada masa itu, minuman sempat mengalami genderisasi. Seperti
wanita di identikan dengan minum teh, pria di identikan dengan minum kopi, dan
anak-anak di identikan dengan minum susu. Lain dulu lain sekarang, saat ini
minum kopi sudah bukan lagi pria dewasa, melainkan seluruh kalangan khususnya
para remaja, baik pria maupun wanita semua. Hal ini menunjukkan bahwa kopi
mampu beradaptasi dan menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan zaman. Seperti
yang dituliskan Talcott Parsons bahwa untuk menjadi sebuah budaya, sistem
(dalam hal ini minum kopi) harus mampu melakukan adaptation dengan lingkungan dan perkembangan zaman.
Bagi
penikmat kopi, minum kopi bukan hanya sekedar minum. Perilaku menikmati kopi saat
ini tidak hanya menjadi sebuah kebiasaan namun sudah menjadi budaya masyarakat.
Dalam perilaku mengkonsumsi kopi ada makna tertentu dari setiap individu. Mulai
dari menyantap makanan dan minuman, negosiasi bisnis, tukar pikiran dalam
pekerjaan, reuni dengan kawan lama, sampai bincang-bincang non formal di
pinggir jalan. Minum kopi di kedai kopi (ngopi) juga adalah aktivitas yang tak
peduli status sosial, tanpa membedakan perbedaan jenis kelamin, strata sosial,
usia atau apapun yang dapat menjadi penyekat kepopuleran sebutan ngopi ini. Makna
minum kopi tidak hanya memenuhi kebutuhan nilai fungsi tetapi juga memenuhi nilai
simbolik. Sehingga minum kopi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup,
tetapi sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Dalam minum kopi seperti ada goal attainment bagi penikmatnya. Kebiasaan
minum kopi saat ini sudah seperti gaya hidup.
Kehadiran
kedai kopi yang terus meningkat membuktikan bahwa minum kopi bisa dinikmati
dimanapun dan kapanpun. Kehadiran kedai kopi sebagai ruang publik yang akhirnya
menimbulkan kenyamanan bagi masyarakat mendorong munculnya budaya ngopi di kalangan masyarakat.
Meningkatnya
penikmat kopi saat ini mendorong lahirnya kedai-kedai kopi dengan segala hal
bernuansa modern yang menawarkan kopi dengan berbagai jenis, rasa dan
penyajiannya. Kedai-kedai kopi bernuansa modern dengan berbagai nama terkenal
di dunia bermunculan di kota-kota Indonesia namun keberadaan kedai kopi modern
tersebut belum mampu memusnahkan keberadaan kedai-kedai kopi tradisional yang
telah duluan hadir. Kedai kopi tradisional saat ini bisa dikatakan masih unggul
dan mencuri hati penikmatnya. Dari hal ini, bisa dikatakan bahwa terjadi integrastion antara kedai kopi
tradisional dan modern. Integrasi ini bahkan saling mempengaruhi satu sama lain
untuk menunjukkan eksistensinya kepada kalangan penikmat kopi. Menurut Parsons
sistem (kedai kopi) mampu mengatur antar hubungan yang menjadi
bagian-bagiannya.
Kedai kopi saat ini bisa di katakana melakukan latency (pemeliharaan pola) dengan saat baik. Aktivitas penikmat kopi saat berada di kedai kopi sangat beragam, mulai dari menikmati atau sekedar membeli aneka makanan dan minuman aktivitas konsumsi), berkumpul atau bersosialisasi dengan kerabat (aktivitas sosial), menyelesaikan urusan yang tidak selesai di balik meja kantor (aktivitas kerja), membuat rencana atau kesepakatan bisnis (aktivitas bisnis), belajar bersama maupun menyelesaikan tugas sekolah atau kampus (aktivitas belajar) hingga bersantai melepas lelah atau mencari hiburan (aktivitas hiburan). Beragam aktivitas tersebut dapat lihat di kedai kopi setiap harinya, bahkan kadangkala dalam durasi waktu yang cukup panjang. Kenyamanan saat berada di kedai kopi dengan segala fasilitas yang ditawarkan mampu tersebut menjadikan kedai kopi sebagai tempat yang diminati atau dianggap penting dalam menjalani aktivitas keseharian bagi penikmat kopi atau masyarakat pada umumnya. Ini juga terjadi bagi seseorang kurang menyukai duduk di kedai kopi, namun ketika ada saudara, teman atau rekan kerja mengajak beraktivitas di kedai kopi, seseorang akan datang berkunjung ke kedai kopi. Ini menunjukkan bahwa kedai kopi melakukan pemeliharaan pola (latency) yang diungkapkan oleh Talcott Parsons dengan sangat baik. Kedai kopi bisa melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi itu.
Dari
fenomena kedai kopi dalam konsep AGIL Talcott Parsons, terjadi perubahan dalam
pola masyarakat pada satu bagian baik dilihat dari adaptasi, tujuan, interasi,
dan pemeliharaan pola (AGIL). Perubahan satu bagian ini menyebabkan bagian lain
harus mampu menyesuaikan diri agar tetap terjadi keseimbangan sehingga semua
elemen berfungsi atau fungsional dan sistem (kedai kopi) bisa menjalankan
fungsinya dengan baik.
Wahh
ternyata AGIL yang ditinjau oleh Talcott Parsons pada masanya masih relevan
dengan kebiasaan kita pada saat ini. Keren ya pemikiran para sosiolog. Mereka mampu
melihat sebuah fenomena yang terjadi dimasyarakat. Nah TEMANSOS ada yang suka
ngopi dak ni ?? kalau nonadeke suka bangat dengan kopi. Tapi ada catatannya,
nonadeke buka penikmat kopi. Dalam konsep minum kopinya nonadeke, minuman panas
tidak boleh dibiarkan sampai dingin. Sebelum kopi panas menjadi dingin, nonadeke
langsung habiskan. Beda sama yang penikmat kopi, semakin dingin kopi semakin
nikmat katanya. Bagaimana dengan TEMANSOS? Ditunggu komennya.
[1] Karrie Writes. 2015. Talcott Parsons: A Glimpse into his Personal Life. https://studymoose.com/summer-holiday-essay (diakses pada 21 September 2023)
[2] Farid
Al Amin. 2017. Sidoarjo Dari Tinjauan Teori Fungsional Struktural Agil Talcott
Parssons. SKRIPSI. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Hal 28-29
[3]
George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2011). Hal. 21.
[4] Ade Herawati. Perubahan Sosial Masyarakat di Masa New Normal (Analisis Menggunakan Perspektif Sosiologi Talcott Parsons). Jurnal Dinamika Sosial Budaya. Vol.25, No.2, Juni 2023, pp. 285-291
[5] Yayuk Widiyarti. 2019. Kian Banyak Orang Indonesia Minum Kopi, Berapa Jumlah yang Ideal?. Online. gaya.tempo.co
[6]
Mustika Treisna Yuliandri.
2023. Kenapa Kopi Jadi Salah Satu Minuman Paling Banyak Dikonsumsi Di Dunia?. Online.
ottencoffee.co.id
No comments:
Post a Comment