Monday, July 1, 2024

PARADIGMA SOSIAL GEORGE RITZER

 

George Ritzer 


A.           BIOGRAFI GEORGE RITZER

Salah satu tokoh sosiolog postmodern ini, lahir di Manhattan Amerika Serikat pada 14 Oktober 1940 dari sebuah keluarga Yahudi. George Ritzer  merupakan tokoh teoretisi  sosiologi yang banyak berkarya dalam bidang metateoretis. Pada kenyataannya, George Ritzer  tidak memiliki gelar di bidang sosiologi, maupun latar belakang formal di bidang sosiologi. Namun pemikiran dan karyanya menulis banyak tentang sosiologi. Hal ini membuat George Ritzer  mengajar jurusan sosiologi di berbagai negara selama lebih dari tiga puluh tahun.

Kehidupan masa kecil George Ritzer tidak segemilang kariernya sekarang. Ia terlahir sebagai anak seorang sopir taksi dan ibu seorang sekretaris. Ayahnya mengidap sebuah penyakit aneh sehingga membuat ibunya bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Hidup dalam kehidupan ekonomi yang marjinal, Ritzer tidak pernah merasa kekurangan  Kedua orang tua Ritzer pada umumnya tidak memaksanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Saat di sekolah menengah[1], Ritzer merasa bahwa ia adalah siswa yang biasa saja sebab berada di antara individu yang sangat cerdas. Karena pengaruh lingkungan, butuh waktu lama untuk menyadari bahwa dirinya juga memiliki kecerdasan sedikit di atas rata-rata. Meskipun bersekolah disekolah yang beorientasi pada matematika atau sains, Ritzer tidak tertarik pada matematika atau sains. Saat tumbuh dewasa, Ritzer sangat menyukai olahraga. Ia sering bermain basket olahraga lain seperti bisbol.

George Ritzer menikah pada tahun 1963 dengan istrinya bernama Sue dan memiliki dua orang anak. George Ritzer  telah memiliki lima orang cucu. Meskipun seorang pekerja keras, ia selalu menyediakan waktu untuk keluarganya. Ritzer juga suka bepergian, dan sering kali memanfaatkan perjalanan dinasnya sebagai waktu untuk liburan singkat bersama istrinya. Saat ini Ritzer dan keluarganya tinggal di Maryland negara bagian Amerika Serikat.

Ritzer lulus dari Sekolah Menengah Atas Sains Bronx pada tahun 1958. Ia menerima beasiswa dan melanjutkan pendidikan tinggi di City College of New York jurusan akuntansi. Setelah lulus dari CCNY tahun 1962, ia diterima di program MBA University of Michigan Ann Arbor , di mana ia menerima beasiswa parsial. Setalah lulus, Ia melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Cornell tahun 1965. Disinilah ia mulai tertarik pada sosiologi. George Ritzer mendapatkan penghargaan akademis diantaranya:

Diusianya yang ke-83 tahun ini, George Ritzer telah menulis banyak buku dan karya-karya terbaik yang digunakan secara luas di berbagai bidang akademis mulai dari sosiologi, pendidikan, ekonomi. Karyanya paling fenomenal yakni McDonaldisasi masyarakat yang dituangkan dalam buku The McDonaldization of Society diterbitkan dalam Sembilan (9) edisi mulai edisi pertama tahun 1992 hingga edisi ke -9 tahun 2018. Secara umum buku The McDonaldization of Society dianggap sebagai salah satu buku paling penting.

Di samping teorinya tentang McDonaldisasi, George telah menulis banyak artikel referensi dan monografi berpengaruh yang berhubungan dengan teori sosiologi, konsumsi, dan globalisasi. [2]Buku penting lainnya termasuk Sosiologi:

1.      Sosiology: A Multiple Paradigm Science (1975a), berisikan berbagai paradigma sosiologi yang terpisah dan tidak jarang saling berbenturan, tetapi juga memberikan argumen bagi keterkaitan, loncatan, perhubungan, dan pengintegrasian paradigma.

2.          Toward an Integratd Sociological Paradifm (1981a), pemahaman tentang sebuah paradigma yang terintegrasi.

3.     Micro-Macro Linkage in Sociology Theory: Applying a Methateoretical Tool (1990a), integrasi makro-mikro.

4.  Agency-Structure, Micro-Macro, Individualizm-Holism-Relationism: A Methateorical Explanation of Theorical Convergance between the United State and Europe (Ritzer dan Gindoff, 1994), struktur agensi.

5.             (1990b), isu yang lebih luas tentang sintesis teoretis.

6.           Metatheorizing in Sosiology (1991b), menyelesaikan konflik yang tidak perlu di dalam teori sosiologi.

7.        Metatheorizing (1992a), menawarkan argumen atas perlunya kasjian teori sosiologi secara sistematis.

B.            TEORI PARADIGMA SOSIOLOGI GEORGE RITZER

Dalam sosiologi terdapat istilah paradigma sosiologi yang membagi konsep teori sosiologi berdasarkan dasar-dasar tertentu. Paradigma sosiologi merupakan cara pandang dalam melihat persoalan atau fenomenal sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat.

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Samuel Kuhn[3] seorang fisikawan Amerika dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962). Menurut Kuhn, paradigma merupakan gambaran fundamental dalam setiap bahasan pokok ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, paradigma menjadi konsensus ilmu pengetahuan membedakan keilmuan dari ilmu yang satu ke ilmu yang lainnya. Kemudian, Robert Friedrichs mempopulerkan konsep paradigma yang diperkenalkan oleh Kuhn melalui bukunya Sociology of Sociology (1970).

Dalam buku Sociology: A Multiple Paradigm Science, ahli sosiologi ini mengungkapkan bahwa ada dua teori yang membangun paradigma perilaku sosial. Dua teori tersebut merupakan teori perilaku (behavioral theory) dan teori pertukaran (exchange theory).

Pada behavioral theory, perilaku manusia yang melakukan suatu hal saat ini dipercaya berdampak pada kehidupannya di masa mendatang. Melalui hubungan sebab-akibat maka potensi pengulangan pun bisa dianalisis. Ritzer mengungkapkan, hubungan sebab-akibat yang kerap disebut reward and punishmet memang bisa mempengaruhi perilaku manusia. Pada exchange theory, dipercaya bahwa sebuah reward bisa memungkinkan pengulangan perilaku. Namun semakin banyak orang mendapat ganjaran, perilaku yang dilakukan untuk mendapatkannya akan berkurang nilainya.

Menurut George Ritzer, perbedaan paradigma terjadi karena tiga faktor. Pertama, perbedaan pandangan filsafat, kedua, perbedaan teori. Terakhir, metode yang digunakan dalam memahami dan menerangkan subtansi antar ilmu yang berbeda dari komunitas keilmuan yang lain. George Ritzer menilai terdapat tiga faktor paradigma yang secara garis besar mendominasi keilmuan sosiologi, yaitu[4] :

Paradigma fakta sosial menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan atau realitas yang mandiri diluar dari sikap individu yang ada di dalamnya. Pada umumnya, kenyataan yang ada dalam masyarakat dipandang sebagai struktur yang terdapat sistem pengorganisasian, peraturan, pranata sosial, nilai-nilai yang disepakati, pembagian kekuasaan dan kewenangan, yang kesemuanya itu diluar individu dan berpengaruh terhadap individu. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa fakta sosial secara garis besar mencakup struktur sosial dan pranata sosial dalam masyarakat.

Dalam menjelaskan paradigm fakta sosialnya, George Ritzer menggunakan pendekatan 2 teori besar. Pertama, teori fungsionalisme structural dari Robert K. Merton. Teori fungsionalisme struktural menyatakan bahwa semua peristiwa dan struktur dalam masyarakat selalu fungsional, apabila ada ketidakserasian, merupakan kewajiban bagi penganutnya untuk menormalisasikannya. Teori ini memberi penekanan pada keteraturan dan tidak mengindahkan adanya konflik dan perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya, yaitu fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan keseimbangan.

Kedua, teori konflik dari Dahrendorf. Teori konflik yang dimaksud menekankan pada wewenang dan posisi dimana keduanya merupakan fakta sosial. Konflik terjadi karena adanya perbedaan keinginan dari penguasa untuk mempertahankan diri dan di lain pihak adanya keinginan dari yang dikuasai untuk mengadakan perombakan. Dalam hal ini, adanya ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang merupakan penentu konflik dalam masyarakat.

Kedua teori tersebut menunjukkan bahwa keduanya sebenarnya saling melengkapi di samping mempunyai hubungan yang bersifat kausal[5]. Hal tersebutlah yang senantiasa harus menjadi sasaran studi para sosiolog dan menentukan metode penelitian terhadap pokok permasalahan sosiologi. Pada dasarnya, penganut paradigma fakta sosial mempunyai suatu kebiasaan penggunaan kuesioner dan wawancara. Tampaknya mereka kurang begitu senang menggunakan metode pengamatan (observasi) karena dirasa tidak tepat untuk mengumpulkan data dalam penelitian fakta sosial.

Permasalahan yang menjadi dasar paradigma definisi sosial dalam sosiologi ialah tentang perilaku sosial antarhubungan sosial. Perilaku ini berkaitan dengan tindakan sosial. Pandangan paradigma ini tidaklah bertolak dari kenyataan sosial yang bersifat objektif, tetapi berangkat dari pemikiran individu sebagai subjek. Dalam hal ini sekalipun kenyataan sosial yang objektif, yaitu yang antara lain berupa organisasi, peraturan, nilai yang disepakati, pembagian kekuasaan dan wewenang memberikan pengaruh pada perilaku individu sebagai subjek, akan tetapi sebenarnya kebebasan untuk menentukan tindakannya itu tetap berfokus pada individu yang bersangkutan.

Paradigma definisi sosial berangkat dari tindakan sosial Max Weber. Dalam hal ini tindakan didefinisikan sebagai perilaku individu yang ditunjukkan pada orang lain. sedangkan  dalam hubungan sosial, perilaku (tindakan) dari beberapa orang yang berbeda-beda serta memiliki makna dari setiap perilaku (tindakan). Misalnya, seseorang yang bertempat tinggal di dalam suatu masyarakat, maka pemikirannya akan sangat menentukan struktur yang ada dalam masyarakat tersebut, sekalipun pranata-pranata sosial juga ikut mempengaruhinya. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa tindakan sosial tiada lain adalah perilaku individu, baik yang bermakna untuk diri sendiri maupun orang lain.

Beberapa teori sosiologi juga relevan dengan paradigma definisi sosial yaitu (1) teori aksi/tindakan sosial; (2) teori interaksinal simbolik; dan (3) teori fenomenologi. Ketiga teori tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut ialah pandangan dasar yang menganggap bahwa manusia merupakan pelaku yang kreatif dari realitas (kenyataan) sosialnya. Ketiga teori tersebut mempunyai perhatian serta sasaran terhadap segala sesuatu yang terkandung di dalam pemikiran manusia meskipun teori tersebut tidak mungkin menyelidikinya secara langsung.. Adapun perbedaannya yaitu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan faktor yang menentukan tujuan penelitian dan gambaran tentang pokok permasalahan sosiologi.

Nah TEMANSOS jika kalian melakukan penelitian,  metode yang digunakan dalam paradigma definisi sosial ialah observasi dalam rangka mengamati untuk memahami agar dapat menyimpulkan makna tentang akibat yang timbul dari perilaku sosial antarhubungan sosial.

Menurut paradigma perilaku sosial, tingkah laku individu berkaitan dengan lingkungan dan menimbulkan konsekuensi berupa akibat yang menyebabkan perubahan pada lingkungan atau perubahan tingkah laku individu yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud lingkungan dalam hal ini, yaitu segala macam objek sosial dan objek yang bukan sosial. Perlu diketahui bahwa dalam paradigma perilaku sosial, peranan proses interaksi antara individu dengan objek sosial dan objek nonsosial sangat penting. Dapat dikatakan merupakan sesuatu yang menjadi pusat perhatian telaah sosiologi. Dengan demikian, perilaku manusia yang menjadi objek sasaran sosiologi, yaitu tindakan yang dapat diserap secara indrawi dan kemungkinan konsisten.

Misalnya, seseorang yang bertempat tinggal di suatu masyarakat, perilakunya akan mengikuti atau menaati peraturan atau ketentuan yang diberikan oleh pemimpin masyarakat tersebut. Hal itu karena seorang pemimpin masyarakat tersebut sering mengajak atau menganjurkan agar setiap anggota masyarakat menaati semua peraturan atau ketentuan yang berlaku.

Paradigma perilaku sosial menitikberatkan adanya hubungan tingkah laku individu dengan lingkungan untuk mengetahui akibat dari adanya hubungan tersebut. Berarti bahwa hubungan tingkah laku antara individu dan lingkungan diikuti oleh akibatnya. Di samping itu, dalam teori ini juga akan diketahui adanya pengulangan tingkah laku manusia, dalam arti apakah tingkah laku yang pernah terjadi akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Dengan demikian, dapat diprediksi mengenai tingkah laku manusia yang pernah dilakukan akan terjadi lagi di masa sekarang. Dalam hal ini, George Ritzer menggunakan Teori Behavioral Sociology, yang menggunakan dasar psikologi perilaku dalam sosiologi dan Exchange Theory yang mengakui selama terjadinya interaksi sosial muncul gejala  baru atau fakta sosial baru lainnya.

Nah TEMANSOS jika kalian tertarik melakukan penelitian menggunakan paradigm perilaku sosial maka metode yang digunakan yaitu dengan kuesioner, wawancara dan observasi sekalipun dalam paradigma ini banyak menggunakan eksperimen.

Menurut Ritzer, semua paradigma pada hakikatnya punya nilai positif dan negatif, namun supaya tidak menjadi perdebatan atas tiga paradigma yang telah dijelaskan, maka para ilmuwan serta para sosiolog bisa menggunakan paradigma integratif yang tidak hanya terpusat pada satu paradigma saja. 

C.           Pandemi Covid 19 dalam perspektif paradigma sosial George Ritzer

Paradigma sosiologi merupakan cara pandang dala melihat persoalan pada suatu fenomena sosial dimasyarakat. Nah menurut George Ritzer ada tiga paradigma yang menjadi dasar sosiolog dalam mengkaji sosiologi yakni paradigm fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.

Paradigm fakta sosial adalah cara pandang yang meletakan fakta sosial sebagai sesuatu yang nyata ada diluar individu, diluar diri, diluar subjek. Fakta sosial memiliki realitasnya sendiri. Garis besar paradigma ini terbagi menjadi 2 yaitu struktur sosial dan institusi sosial. Struktur sosial seperti kelas sosial, kasta sosial, dan strata sosial. Institusi sosial seperti nilai, norma, peran, dan posisi sosial.

Contoh fakta sosial dalam kehidupan saat ini adalah covid 19. Kasus Covid 19 merupakan fakta sosial karena berasal dari luar individu. Covid-19 telah menjadi pandemi global semenjak ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020. Kemudian virus ini semakin lama semakin tidak terkontrol dan terkonfirmasi menjalar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pandemi covid-19 telah membawa perubahan besar bagi seluruh lapisan masyarakat di berbagai aspek, termasuk aspek sosial budaya.

Wabah ini berdampak pada perubahan pola pikir, pandangan, serta sikap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencegah penyebaran yang begitu cepat, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Selalu menggunakan masker, rajin mencuci tangan menggunakan sabun, siap sedia handsanitizer, menjaga jarak, menghindari kerumunan massa, menghindari kontak fisik dengan orang lain, dan penerapan berbagai protokol kesehatan telah menjadi kebiasaan. Pandemi covid-19 memaksa pembatasan aktivitas sosial antar individu satu dengan yang lainnya, sehingga memunculkan kebiasaan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, pandemi ini telah memunculkan budaya masyarakat baru baik itu nilai dan norma untuk merespon kebijakan pembatasan aktivitas sosial yang ada.

Paradigma yang adalah definisi sosial. Paradigma ini menunjukan cara pandang  yang menekankan bahwa realitas sosial bersifat subjektif. Eksistensi realitas sosial tidak terlepas dari individu sebagai aktor yang melakukan suatu tindakan. Struktur sosial dan institusi sosial dengan dimikian dibentuk oleh interaksi individu. Melalui paradigma ini, tindakan sosial berusaha untuk dipahami dan diinterpretasikan secara subjektif. Paradigma ini, berangkat dari teori aksi, interaksional simbolik, fenomenologi, dan dramaturgi.

Sebagai contoh dampak pandemi covid 19 juga menyerang berbagai sektor, baik dari sisi perekonomian maupun bidang pendidikan. Segala macam aktivitas dilakukan terpaksa harus dilakukan secara virtual atau daring dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Kondisi ini memaksa semua pihak harus sama-sama mengerti, memahami, dan melaksanakan kebijakan yang ada. Tidak hanya mengguncang aspek sosial, pandemi ini juga mengakibatkan perubahan kebiasaan dalam masyarakat. Banyak orang dari berbagai kalangan memanfaatkan menjadi media sosial untuk selalu update mengenai informasi wabah covid-19 atau berbagi kegiatan keseharian selama karantina di rumah masing-masing.

Penggunaan media sosial tidak hanya digunakan untuk mengupdate informasi, kepentingan sekolah, kuliah, dan pekerjaan, namun juga digunakan sebagai aksi penggalangan dana oleh pegiat sosial/artis melalui beberapa platform digital. Dari hal tersebut dapat dikatakan tindakan sosial yang dilakukan oleh pegiat sosial di media sosial memiliki intepretasi simbolik subjektif dari pegiat sosial. Dari fenomena covid 19 menimbulkan aksi atau tindakan dengan makna yan berbeda-beda tergantung subjektif individu.

Paradigma sosial ketiga adalah perilaku sosial. Paradigma ini menekankan cara pandang yang memusatkan perhatian pada hubungan individu dengan lingkungannya. Realitas sosial merupakan realitas objektif yang dibentuk melalui perilaku individu yang nyata dan empiris. Tingkah laku individu  yang berinteraksi merupakan bentuk dari realitas sosial itu sendiri. Paradigma ini menggunakan pendekatan teoori behavioral sociology (perilaku sosial) dan exchange theory (teori pertukaran). Sebagai contoh pandemi covid 19 mengajarkan banyak hal. Terganggunya kehidupan dan aktivitas sosial masyarakat ini harus kita sikapi secara positif. Setiap perilaku sosial yang dilakukan individu memiliki maksud dan tujuan masing-masing. Banyak webinar yang dilakukan dengan berbagai tema  di masa pandemic covid 19 dengan benefit sertifikat dan materi (teori pertukaran).

Hai hai TEMANSOS, seru juga menelaah pemikiran dari George Ritzer. Pertanyaannya apakan pemikirannya relevan dengan keadaan kita sekarang. Jawaban masih relevan ya.

 


[1] Anonim. 2024. George Ritzer. Online. en.wikipedia.org

[2] Ritzer, George (2012). Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

[3] Visky Bellia Restanova. 2022. Paradigma Sosiologi dalam Perspektif George Ritzer. Online. kompasiana.com

 [4] Silvia Stevani. 2022. Paradigma Sosiologi Menurut George Ritzer. https://www.kompasiana.com/

[5] Wagiyo. Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya. Modul. pustaka.ut.ac.id