George Ritzer
A.
BIOGRAFI
GEORGE RITZER
Salah
satu tokoh sosiolog postmodern ini, lahir di Manhattan Amerika Serikat pada 14
Oktober 1940 dari sebuah keluarga Yahudi. George Ritzer merupakan tokoh
teoretisi sosiologi yang banyak berkarya dalam bidang metateoretis. Pada
kenyataannya, George Ritzer tidak memiliki gelar di bidang sosiologi,
maupun latar belakang formal di bidang sosiologi. Namun pemikiran dan karyanya
menulis banyak tentang sosiologi. Hal ini membuat George Ritzer mengajar
jurusan sosiologi di berbagai negara selama lebih dari tiga puluh tahun.
Kehidupan
masa kecil George Ritzer tidak segemilang kariernya sekarang. Ia terlahir
sebagai anak seorang sopir taksi dan ibu seorang sekretaris. Ayahnya mengidap
sebuah penyakit aneh sehingga membuat ibunya bekerja keras untuk menghidupi
keluarga. Hidup dalam kehidupan ekonomi yang marjinal, Ritzer tidak pernah
merasa kekurangan Kedua orang tua Ritzer
pada umumnya tidak memaksanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.
Saat
di sekolah menengah[1],
Ritzer merasa bahwa ia adalah siswa yang biasa saja sebab berada di antara
individu yang sangat cerdas. Karena pengaruh lingkungan, butuh waktu lama untuk
menyadari bahwa dirinya juga memiliki kecerdasan sedikit di atas rata-rata. Meskipun
bersekolah disekolah yang beorientasi pada matematika atau sains, Ritzer tidak
tertarik pada matematika atau sains. Saat tumbuh dewasa, Ritzer sangat menyukai
olahraga. Ia sering bermain basket olahraga lain seperti bisbol.
George
Ritzer menikah pada tahun 1963 dengan istrinya bernama Sue dan memiliki
dua orang anak. George Ritzer telah memiliki lima orang cucu. Meskipun
seorang pekerja keras, ia selalu menyediakan waktu untuk keluarganya. Ritzer
juga suka bepergian, dan sering kali memanfaatkan perjalanan dinasnya sebagai
waktu untuk liburan singkat bersama istrinya. Saat ini Ritzer dan keluarganya
tinggal di Maryland negara bagian Amerika Serikat.
Ritzer
lulus dari Sekolah Menengah Atas Sains Bronx pada tahun 1958. Ia menerima
beasiswa dan melanjutkan pendidikan tinggi di City College of New York jurusan
akuntansi. Setelah lulus dari CCNY tahun 1962, ia diterima di program MBA University of Michigan
Ann Arbor , di mana ia menerima beasiswa parsial.
Setalah lulus, Ia melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Cornell tahun
1965. Disinilah ia mulai tertarik pada sosiologi. George Ritzer mendapatkan
penghargaan akademis diantaranya:
Diusianya
yang ke-83 tahun ini, George Ritzer telah menulis banyak buku dan karya-karya
terbaik yang digunakan secara luas di berbagai bidang akademis mulai dari
sosiologi, pendidikan, ekonomi. Karyanya paling fenomenal yakni McDonaldisasi
masyarakat yang dituangkan dalam buku The
McDonaldization of Society diterbitkan dalam Sembilan (9) edisi mulai edisi pertama tahun
1992 hingga edisi ke -9 tahun 2018. Secara umum buku The
McDonaldization of Society dianggap sebagai salah satu buku paling penting.
Di
samping teorinya tentang McDonaldisasi, George telah menulis banyak artikel
referensi dan monografi berpengaruh yang berhubungan dengan teori sosiologi,
konsumsi, dan globalisasi. [2]Buku
penting lainnya termasuk Sosiologi:
1. Sosiology:
A Multiple Paradigm Science (1975a), berisikan berbagai
paradigma sosiologi yang terpisah dan tidak jarang saling berbenturan, tetapi
juga memberikan argumen bagi keterkaitan, loncatan, perhubungan, dan
pengintegrasian paradigma.
2. Toward
an Integratd Sociological Paradifm (1981a),
pemahaman tentang sebuah paradigma yang terintegrasi.
3. Micro-Macro
Linkage in Sociology Theory: Applying a Methateoretical Tool (1990a),
integrasi makro-mikro.
4. Agency-Structure,
Micro-Macro, Individualizm-Holism-Relationism: A Methateorical Explanation of
Theorical Convergance between the United State and Europe (Ritzer
dan Gindoff, 1994), struktur agensi.
5.
(1990b), isu yang lebih luas tentang sintesis
teoretis.
6. Metatheorizing
in Sosiology (1991b), menyelesaikan konflik
yang tidak perlu di dalam teori sosiologi.
7. Metatheorizing (1992a), menawarkan argumen atas perlunya kasjian teori sosiologi secara sistematis.
B.
TEORI
PARADIGMA SOSIOLOGI GEORGE RITZER
Dalam
sosiologi terdapat istilah paradigma sosiologi yang membagi konsep teori
sosiologi berdasarkan dasar-dasar tertentu. Paradigma sosiologi merupakan cara
pandang dalam melihat persoalan atau fenomenal sosial yang sedang terjadi dalam
masyarakat.
Istilah
paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Samuel Kuhn[3]
seorang fisikawan Amerika dalam karyanya The
Structure of Scientific Revolution (1962). Menurut Kuhn, paradigma
merupakan gambaran fundamental dalam setiap bahasan pokok ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, paradigma menjadi konsensus ilmu pengetahuan membedakan
keilmuan dari ilmu yang satu ke ilmu yang lainnya. Kemudian, Robert Friedrichs
mempopulerkan konsep paradigma yang diperkenalkan oleh Kuhn melalui bukunya Sociology of Sociology (1970).
Dalam
buku Sociology: A Multiple Paradigm
Science, ahli sosiologi ini mengungkapkan bahwa ada dua teori yang
membangun paradigma perilaku sosial. Dua teori tersebut merupakan teori
perilaku (behavioral theory) dan teori pertukaran (exchange theory).
Pada
behavioral theory, perilaku manusia
yang melakukan suatu hal saat ini dipercaya berdampak pada kehidupannya di masa
mendatang. Melalui hubungan sebab-akibat maka potensi pengulangan pun bisa
dianalisis. Ritzer mengungkapkan, hubungan sebab-akibat yang kerap disebut reward and punishmet memang bisa
mempengaruhi perilaku manusia. Pada exchange
theory, dipercaya bahwa sebuah reward
bisa memungkinkan pengulangan perilaku. Namun semakin banyak orang
mendapat ganjaran, perilaku yang dilakukan untuk mendapatkannya akan berkurang
nilainya.
Menurut
George Ritzer, perbedaan paradigma terjadi karena tiga faktor. Pertama, perbedaan
pandangan filsafat, kedua, perbedaan teori. Terakhir, metode yang digunakan
dalam memahami dan menerangkan subtansi antar ilmu yang berbeda dari komunitas
keilmuan yang lain. George Ritzer menilai terdapat tiga faktor paradigma yang
secara garis besar mendominasi keilmuan sosiologi, yaitu[4] :
Paradigma fakta sosial menyatakan bahwa masyarakat
merupakan suatu kenyataan atau realitas yang mandiri diluar dari sikap individu
yang ada di dalamnya. Pada umumnya, kenyataan yang ada dalam masyarakat
dipandang sebagai struktur yang terdapat sistem pengorganisasian, peraturan, pranata
sosial, nilai-nilai yang disepakati, pembagian kekuasaan dan kewenangan, yang
kesemuanya itu diluar individu dan berpengaruh terhadap individu. Dengan
istilah lain, dapat dikatakan bahwa fakta sosial secara garis besar mencakup
struktur sosial dan pranata sosial dalam masyarakat.
Dalam menjelaskan
paradigm fakta sosialnya, George Ritzer menggunakan pendekatan 2 teori besar. Pertama,
teori fungsionalisme structural dari Robert K. Merton. Teori fungsionalisme
struktural menyatakan bahwa semua peristiwa dan struktur dalam masyarakat
selalu fungsional, apabila ada ketidakserasian, merupakan kewajiban bagi
penganutnya untuk menormalisasikannya. Teori ini memberi penekanan pada
keteraturan dan tidak mengindahkan adanya konflik dan perubahan dalam
masyarakat. Konsep utamanya, yaitu fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi
manifest, dan keseimbangan.
Kedua,
teori konflik dari Dahrendorf. Teori konflik yang dimaksud menekankan pada
wewenang dan posisi dimana keduanya merupakan fakta sosial. Konflik terjadi
karena adanya perbedaan keinginan dari penguasa untuk mempertahankan diri dan
di lain pihak adanya keinginan dari yang dikuasai untuk mengadakan perombakan. Dalam
hal ini, adanya ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang merupakan
penentu konflik dalam masyarakat.
Kedua teori tersebut menunjukkan bahwa keduanya sebenarnya saling melengkapi di samping mempunyai hubungan yang bersifat kausal[5]. Hal tersebutlah yang senantiasa harus menjadi sasaran studi para sosiolog dan menentukan metode penelitian terhadap pokok permasalahan sosiologi. Pada dasarnya, penganut paradigma fakta sosial mempunyai suatu kebiasaan penggunaan kuesioner dan wawancara. Tampaknya mereka kurang begitu senang menggunakan metode pengamatan (observasi) karena dirasa tidak tepat untuk mengumpulkan data dalam penelitian fakta sosial.
Permasalahan yang menjadi dasar paradigma definisi
sosial dalam sosiologi ialah tentang perilaku sosial antarhubungan sosial. Perilaku
ini berkaitan dengan tindakan sosial. Pandangan paradigma ini tidaklah bertolak
dari kenyataan sosial yang bersifat objektif, tetapi berangkat dari pemikiran
individu sebagai subjek. Dalam hal ini sekalipun kenyataan sosial yang
objektif, yaitu yang antara lain berupa organisasi, peraturan, nilai yang
disepakati, pembagian kekuasaan dan wewenang memberikan pengaruh pada perilaku
individu sebagai subjek, akan tetapi sebenarnya kebebasan untuk menentukan
tindakannya itu tetap berfokus pada individu yang bersangkutan.
Paradigma definisi sosial berangkat dari tindakan
sosial Max Weber. Dalam hal ini tindakan didefinisikan sebagai perilaku
individu yang ditunjukkan pada orang lain. sedangkan dalam hubungan sosial, perilaku (tindakan)
dari beberapa orang yang berbeda-beda serta memiliki makna dari setiap perilaku
(tindakan). Misalnya, seseorang yang bertempat tinggal di dalam suatu
masyarakat, maka pemikirannya akan sangat menentukan struktur yang ada dalam
masyarakat tersebut, sekalipun pranata-pranata sosial juga ikut
mempengaruhinya. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa tindakan sosial tiada lain
adalah perilaku individu, baik yang bermakna untuk diri sendiri maupun orang
lain.
Beberapa teori sosiologi juga relevan dengan paradigma
definisi sosial yaitu (1) teori aksi/tindakan sosial; (2) teori interaksinal
simbolik; dan (3) teori fenomenologi. Ketiga teori tersebut memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaan tersebut ialah pandangan dasar yang menganggap bahwa
manusia merupakan pelaku yang kreatif dari realitas (kenyataan) sosialnya. Ketiga
teori tersebut mempunyai perhatian serta sasaran terhadap segala sesuatu yang
terkandung di dalam pemikiran manusia meskipun teori tersebut tidak mungkin
menyelidikinya secara langsung.. Adapun perbedaannya yaitu menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan faktor yang menentukan tujuan penelitian dan gambaran
tentang pokok permasalahan sosiologi.
Nah TEMANSOS jika kalian melakukan penelitian, metode yang digunakan dalam paradigma definisi sosial ialah observasi dalam rangka mengamati untuk memahami agar dapat menyimpulkan makna tentang akibat yang timbul dari perilaku sosial antarhubungan sosial.
Menurut paradigma perilaku sosial, tingkah laku
individu berkaitan dengan lingkungan dan menimbulkan konsekuensi berupa akibat yang
menyebabkan perubahan pada lingkungan atau perubahan tingkah laku individu yang
bersangkutan. Adapun yang dimaksud lingkungan dalam hal ini, yaitu segala macam
objek sosial dan objek yang bukan sosial. Perlu diketahui bahwa dalam paradigma
perilaku sosial, peranan proses interaksi antara individu dengan objek sosial
dan objek nonsosial sangat penting. Dapat dikatakan merupakan sesuatu yang
menjadi pusat perhatian telaah sosiologi. Dengan demikian, perilaku manusia
yang menjadi objek sasaran sosiologi, yaitu tindakan yang dapat diserap secara
indrawi dan kemungkinan konsisten.
Misalnya, seseorang yang bertempat tinggal di suatu
masyarakat, perilakunya akan mengikuti atau menaati peraturan atau ketentuan
yang diberikan oleh pemimpin masyarakat tersebut. Hal itu karena seorang
pemimpin masyarakat tersebut sering mengajak atau menganjurkan agar setiap
anggota masyarakat menaati semua peraturan atau ketentuan yang berlaku.
Paradigma
perilaku sosial menitikberatkan adanya hubungan tingkah laku individu dengan
lingkungan untuk mengetahui akibat dari adanya hubungan tersebut. Berarti bahwa
hubungan tingkah laku antara individu dan lingkungan diikuti oleh akibatnya. Di
samping itu, dalam teori ini juga akan diketahui adanya pengulangan tingkah
laku manusia, dalam arti apakah tingkah laku yang pernah terjadi akan terjadi
lagi di masa yang akan datang. Dengan demikian, dapat diprediksi mengenai
tingkah laku manusia yang pernah dilakukan akan terjadi lagi di masa sekarang. Dalam
hal ini, George Ritzer menggunakan Teori Behavioral
Sociology, yang menggunakan dasar psikologi perilaku dalam sosiologi dan Exchange Theory yang mengakui selama
terjadinya interaksi sosial muncul gejala baru atau fakta sosial baru lainnya.
Nah
TEMANSOS jika kalian tertarik melakukan penelitian menggunakan paradigm perilaku
sosial maka metode yang digunakan yaitu dengan kuesioner, wawancara dan
observasi sekalipun dalam paradigma ini banyak menggunakan eksperimen.
Menurut Ritzer, semua paradigma pada hakikatnya punya nilai positif dan negatif, namun supaya tidak menjadi perdebatan atas tiga paradigma yang telah dijelaskan, maka para ilmuwan serta para sosiolog bisa menggunakan paradigma integratif yang tidak hanya terpusat pada satu paradigma saja.
C.
Pandemi
Covid 19 dalam perspektif paradigma sosial George Ritzer
Paradigma
sosiologi merupakan cara pandang dala melihat persoalan pada suatu fenomena
sosial dimasyarakat. Nah menurut George Ritzer ada tiga paradigma yang menjadi
dasar sosiolog dalam mengkaji sosiologi yakni paradigm fakta sosial, definisi
sosial, dan perilaku sosial.
Paradigm
fakta sosial adalah cara pandang yang meletakan fakta sosial sebagai sesuatu
yang nyata ada diluar individu, diluar diri, diluar subjek. Fakta sosial
memiliki realitasnya sendiri. Garis besar paradigma ini terbagi menjadi 2 yaitu
struktur sosial dan institusi sosial. Struktur sosial seperti kelas sosial,
kasta sosial, dan strata sosial. Institusi sosial seperti nilai, norma, peran,
dan posisi sosial.
Contoh
fakta sosial dalam kehidupan saat ini adalah covid 19. Kasus Covid 19 merupakan
fakta sosial karena berasal dari luar individu. Covid-19 telah menjadi pandemi global semenjak ditetapkan
oleh World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020. Kemudian virus ini
semakin lama semakin tidak terkontrol dan terkonfirmasi menjalar ke berbagai
belahan dunia, termasuk Indonesia. Pandemi covid-19 telah membawa
perubahan besar bagi seluruh lapisan masyarakat di berbagai aspek, termasuk
aspek sosial budaya.
Wabah
ini berdampak pada perubahan pola pikir, pandangan, serta sikap masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencegah penyebaran yang begitu cepat,
pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat.
Selalu menggunakan masker, rajin mencuci tangan menggunakan sabun, siap sedia
handsanitizer, menjaga jarak, menghindari kerumunan massa, menghindari kontak
fisik dengan orang lain, dan penerapan berbagai protokol kesehatan telah
menjadi kebiasaan. Pandemi covid-19 memaksa pembatasan aktivitas sosial antar
individu satu dengan yang lainnya, sehingga memunculkan kebiasaan yang berbeda
dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, pandemi ini telah memunculkan
budaya masyarakat baru baik itu nilai dan norma untuk merespon kebijakan
pembatasan aktivitas sosial yang ada.
Paradigma
yang adalah definisi sosial. Paradigma ini menunjukan cara pandang yang menekankan bahwa realitas sosial
bersifat subjektif. Eksistensi realitas sosial tidak terlepas dari individu
sebagai aktor yang melakukan suatu tindakan. Struktur sosial dan institusi
sosial dengan dimikian dibentuk oleh interaksi individu. Melalui paradigma ini,
tindakan sosial berusaha untuk dipahami dan diinterpretasikan secara subjektif.
Paradigma ini, berangkat dari teori aksi, interaksional simbolik, fenomenologi,
dan dramaturgi.
Sebagai
contoh dampak pandemi covid 19 juga menyerang berbagai sektor, baik dari sisi
perekonomian maupun bidang pendidikan. Segala macam aktivitas dilakukan terpaksa
harus dilakukan secara virtual atau daring dengan memanfaatkan teknologi yang
ada. Kondisi ini memaksa semua pihak harus sama-sama mengerti, memahami, dan
melaksanakan kebijakan yang ada. Tidak hanya mengguncang aspek sosial, pandemi ini juga
mengakibatkan perubahan kebiasaan dalam masyarakat. Banyak orang dari berbagai
kalangan memanfaatkan menjadi media sosial untuk selalu update mengenai
informasi wabah covid-19 atau berbagi kegiatan keseharian selama karantina di
rumah masing-masing.
Penggunaan
media sosial tidak hanya digunakan untuk mengupdate informasi, kepentingan
sekolah, kuliah, dan pekerjaan, namun juga digunakan sebagai aksi penggalangan
dana oleh pegiat sosial/artis melalui beberapa platform digital. Dari hal
tersebut dapat dikatakan tindakan sosial yang dilakukan oleh pegiat sosial di media
sosial memiliki intepretasi simbolik subjektif dari pegiat sosial. Dari fenomena
covid 19 menimbulkan aksi atau tindakan dengan makna yan berbeda-beda tergantung
subjektif individu.
Paradigma
sosial ketiga adalah perilaku sosial. Paradigma ini menekankan cara pandang
yang memusatkan perhatian pada hubungan individu dengan lingkungannya. Realitas
sosial merupakan realitas objektif yang dibentuk melalui perilaku individu yang
nyata dan empiris. Tingkah laku individu
yang berinteraksi merupakan bentuk dari realitas sosial itu sendiri. Paradigma
ini menggunakan pendekatan teoori behavioral sociology (perilaku sosial) dan
exchange theory (teori pertukaran). Sebagai contoh pandemi covid 19 mengajarkan banyak hal. Terganggunya
kehidupan dan aktivitas sosial masyarakat ini harus kita sikapi secara positif.
Setiap perilaku sosial yang dilakukan individu memiliki maksud dan tujuan masing-masing.
Banyak webinar yang dilakukan dengan berbagai tema di masa pandemic covid 19 dengan benefit
sertifikat dan materi (teori pertukaran).
Hai
hai TEMANSOS, seru juga menelaah pemikiran dari George Ritzer. Pertanyaannya apakan
pemikirannya relevan dengan keadaan kita sekarang. Jawaban masih relevan ya.
[1] Anonim.
2024. George Ritzer. Online. en.wikipedia.org
[2] Ritzer,
George (2012). Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] Visky
Bellia Restanova. 2022. Paradigma Sosiologi dalam Perspektif George Ritzer.
Online. kompasiana.com
[5] Wagiyo.
Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya. Modul. pustaka.ut.ac.id
Sangat bermanfaat, terus berkarya ya bu
ReplyDelete