A.
Sejarah
Teori Strukturasi
Kemunculan teori
strukturasi oleh Anthony Giddens, merupakan tanggapan terhadap klaim
post-strukturalis. Strukturasi menyatakan manusia memiliki kemampuan membuat
struktur dan secara sukarela menentukan struktur untuk mereka sendiri, artinya
manusia memiliki kebebasan penuh untuk membangun lingkungan hidup sendiri. Kekhasan
dalam teori strukturasi adalah hubungan manusia sebagai “agency” terhadap
“struktur” atau institusi.
Post-strukturalisme
mengkritik strukturalismenya Jean Paul Satre yang melihat struktur sebagai
sesuatu yang order dan stabil serta memiliki fungsi membentuk fenomena sosial.
Pemikiran ini dikritik karena adanya fakta-fakta yang melihat bahwa struktur
merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak stabil. Post-strukturalisme
diungkapkan oleh Michel Foucault melihat bahwa dalam setiap layer atau konteks
ruang dan waktu ada kekuasaan yang mendominasi pengetahuan dan berdampak kepada
realitas sosial empirik.
Teori Strukturasi adalah teori yang memadukan agen
dan struktur. Hubungan antara agen dan struktur tersebut berupa relasi dualitas
(dua sisi) yang kedua unsurnya saling menunjang. Dualitas tersebut tejadi dalam
praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu. Manusia
selalu mempunyai ide tentang dunia sosial, tentang dirinya, tentang masa
depannya, dan tentang kondisi kehidupannya. Melalui idenya manusia masuk ke
dalam dunia sambil mempunyai niat untuk mempengaruhi dan mengubahnya.
B.
Biografi
Antony Giddens
Giddens terkenal karena teori strukturasi dan
pandangan menyeluruh tentang masyarakat modern. Gidden dianggap sebagai salah
satu kontributor sosiologi modern. Anthony Gidden juga seorang ilmuwan sosial
kelas dunia yang menjadi dosen tetap sosiologi di Universitas of Cambridge pada
tahun 1969 dan menjadi anggota King’s College. Di Cambridge, Gidden
mengembangkan Polity Press, lembaga
penerbitan akademik yang mampu memproduksi 80-an buku setiap tahunnya.
Pada awalnya Giddens terlibat dalam studi tentang
pencampuran kultur, menghasilkan buku pertamanya dan mencapai penghargaan
internasional, berjudul The Class
Structure of Advanced Societies (1975). Selama kariernya Giddens setidaknya
menulis 34 buku, diterbitkan dalam setidaknya 29 bahasa, menerbitkan rata-rata
lebih dari satu buku setiap tahun. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi
selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal
sebagai teori strukturasi. Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan
terbitnya buku The Constitution of
Society: Outline of the Theory of Society, yang merupakan pernyataan
tunggal terpenting tentang perspektif teoritis Giddens.
Pada tahun 2007, Giddens terdaftar sebagai penulis buku paling referensi kelima dalam bidang humaniora. Ia memiliki jabatan akademis di sekitar dua puluh universitas berbeda di seluruh dunia dan telah menerima banyak gelar kehormatan dan penghargaan akademis. Paling tidak terdapat sembilan pokok pemikiran yang mempengaruhi Giddens: filsafat bahasa post-Wittgenstein, sosiologi fenomenologis dan etnometodologi, pendekatan dramaturgi, psikoanalisa Erik Erikson, hermeneutika, strukturalisme dan post-strukturalisme Marxisme, Heidegger, dan konsep tentang ruang waktu. Dia diberi gelar Bangsawan Hidup pada bulan Juni 2004 sebagai Baron Giddens, dari Southgate di London Borough of Enfield dan duduk di House of Lords untuk Partai Buruh.
C.
Teori
Strukturasi Anthony Giddens
Untuk memahami
teori Giddens, setidaknya mempelajari pandangan-pandangannya terhadap teori
fungsionalisme dan strukturalisme. Yang paling inti dalam memahami strukturasi
Giddens adalah kritik kerasnya atas gejala dualisme yang melekat dalam berbagai
teori, khususnya dua teori di atas. Ia tidak setuju dengan dualisme struktur
dan pelaku/agen/individu, namun ia lebih menekankan apa yang ia sebut dengan
dualitas. Atas fakta struktur dan pelaku bukanlah sesuatu yang saling
menegasikan atau bertentangan, tapi keduanya saling mengandalkan.
Dualitas Giddens
menitikberatkan pada praktik sosial yang berulang yang menghubungkan antara
agen/individu dan struktur. Agen dan struktur tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
tetapi dilihat sebagai hubungan dialektik dan saling mempengaruhi. Agen dan
struktur adalah dwi rangkap, yaitu seluruh tindakan sosial memerlukan struktur
dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur saling jalin
menjalin dalam praktik atau aktivitas manusia.
Tindakan dilihat
sebagai perulangan dimana aktivitas bukan dihasilkan sekali jadi saja oleh
aktor, namun dilakukan secara terus menerus atau mereka ciptakan ulang melalui
suatu cara dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri
sebagai aktor. Atau dengan kata lain Giddens menjelaskan tentang agen-struktur
secara historis, processual dan dinamis. Inilah yang dimaksud oleh Giddens
dengan strukturasi.
Teori
strukturasi memiliki elemen yang dimulai dari pemikiran tentang agen yang terus
menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial
dan fisik mereka. Dalam hal ini aktor melakukan rasionalisasi kehidupan mereka.
Rasionalisasi adalah mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang memberikan rasa
aman kepada aktor dan kemungkinan menghadapi kehidupan secara efisien. Selain
rasionalisasi aktor juga memiliki motivasi untuk bertindak yang menjadi
pendorong melakukan tindakan.
Tidak hanya
rasionalisasi dan motivasi, kesadaran juga diperlukan. Giddens membedakan
kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan
kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata- kata. Kesadaran praktis
melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar tanpa mampu mengungkapkan dengan
kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.
Giddens memberi
penekanan pada keagenan (agency)
yakni menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu, yaitu peran
individu. Agen memiliki kemampuan untuk
menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial dan agen tidak akan berarti
apa-apa tanpa kekuasaan agen tersebut. Paksaan dan batasan terhadap aktor
tidak menjadikan aktor tidak memiliki pilihan dan peluangh untuk membuat
pertentangan. Konsep strukturasi mendasari bahwa agen dan struktur adalah dua
kumpulan yang tidak berdiri sedniri tetapi mencerminkan dualitas ciri-ciri
struktural sistem sosial sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang
dibentuk secara berulang-ulang.
Skema konsep strukturasionis
tentang kekuasaan
Konsep kekuasaan
yang diungkapkan Giddens merupakan alat analisis kehidupan sosial yang terkait
dengan dualitas struktur karena kekuasaan terkait dengan tindakan manusia dan
struktur. Davis menyimpulkan ada 5 karakteristik utama dari kekuasaan menurut
pandangan strukturasionis yaitu (Wirawan, 2012:306-307) :
1. Kekuasaan sebagai bagian integral dari
interaksi sosial (power as integration to
social interaction). Setiap interaksi sosial selalu melibatkan kekuasaan
sehingga dapat diterapkan pada semua jenjang kehidupan sosial dari hal yang
sempit maupun secara luas.
2. Kekuasaan merupakan hal yang pokok dalam
diri manusia (power as intrinsic to human
agency). Kekuasan dapat mempengaruhi dan mengintervensi serangkaian peristiwa.
3. Kekuasaan adalah konsep relasional
termasuk hubungan otonomi dan ketergantungan (power as relational concept, involving relations of otonomy and
dependence). Kekuasan bukan sekedar kapasitas transformasi aktor untuk
mencapai tujuan, melainkan juga konsep relasional. Artinya setiap aktor dapat
mempengaruhi lingkungan di mana peristiwa interaksi itu terjadi agar aktor
lauin dapat memenuhi keinginannya.
4. Kekuasaan bersifat membatasi dan memberi
kebebasan (power as contraining as well
as enabling). Kekuasaan bergandengan tangan dengan dominasi yang
terstruktur dimana anggota masyarakat melakukan intervensi terhadap jalannya
interaksi dan melakukan kontrol terhadap perilaku orang lain dengan adanya
pemberian sanksi.
5. Kekuasaan sebagai proses (power as process). Terjadinya hubungan
dialektik antara aktor dan struktur secara kontinu melakukan produksi dan
reproduksi melalui proses strukturasi.
Dualisme subjek (dirinya)-objek (struktur) berkaitan
dengan orientasi individu terhadap struktur. Ada tiga orientasi individu
terhadap struktur yaitu (Gidden dalam Wirawan, 2012 ; 299-300) :
1. Orientasi rutin-praktis yaitu aktor yang
secara psikologi mencari rasa aman dan berusaha menghindari akibat-akibat
tindakan yang tidak disadari atau belum terbayangkan. Orientasi ini menempatkan
diri invidu sebagai objek-objek.
2. Orientasi yang bersifat teoritis. Di sini
aktor mampu memelihara jarak dirinya dengan struktur masyarakat sehingga
memahami tentang struktur tersebut dan memberikan respon yang muncul dari
struktur tersebut.
3. Orientasi yang bersifat
strategik-pemantauan, dimana individu tidak hanya mampu memelihara jarak dengan
struktur, tetapi juga memiliki kepentingan dengan apa yang dilahirkan oleh
struktur tersebut sehingga dianggap cepat tanggap terhadap kondisi yang ada.
Giddens
menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, di mana hubungan
antara keduanya berupa relasi dualitas. Dalam hubungan dualitas, termasuk
pengertian bahwa antara pelaku dan struktur tidak terpisahkan. Di antara
keduanya terjadi hubungan saling mempengaruhi. Hubungan antara pelaku dengan
struktur dapat dipahami melalui praktik sosial di mana praktik sosial itu
sendiri merupakan kejadian atau kebiasaan sehari-hari, hasil interaksi antara
struktur dan pelaku.
Menurut Giddens
struktur merupakan aturan (rules) dan
sumber daya (resources) dapat
terbentuk dari praktik sosial. di sisi lain, pelaku/agen yang merupakan aktor
dapat pula mempengaruhi struktur, dalam arti tidak harus selalu tunduk kepada
struktur. Giddens menyebutkan bahwa ada tiga gugus struktur yang harus dimilki
oleh agen, yakni signifikasi (signification),
dominasi (domination), dan legitimasi
(legitimation). Struktur signifikasi
menunjuk pada pemaknaan atau simbolik, penyebutan, dan wacana. Gugus struktur
dominasi menunjuk pada penguasaan baik atas orang maupun barang. Gugus struktur
legitimasi menunjuk pada peraturan normatif yang tampak pada aturan hukum.
Ketiga gugus struktur tersebut selain dapat membatasi, dapat pula memberdayakan
pelaku.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dalam teori strukturasi merupakan hubungan dialektik yang saling mempengaruhi antara agen/individu dan struktur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agen/individu memiliki kemamuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial dan agen/individu tidak berarti apa-apa tanpa memiliki kekuasaan agen tersebut.
D.
Kelemahan
teori strukturasi
Teori strukturasi
dari Giddens ini juga dikritik oleh beberapa ahli. Misalnya Ian Craib
mengkritik sebagai berikut :
1. Pusat perhatian dari kajian Giddens yang
menekankan tindakan sosial dinilai dari segi ontologis memiliki kedalaman yang
kurang. Giddens dianggap gagal menjelaskan struktur sosial yang melandasi
kehidupan sosial.
2. Upaya dalam membuat sintesis teoritis
tidak bertautan cesara tepat dengan kompleksitas kehidupan sosial. Craib
menjelaskan bahwa kehidupan sosial itu sangat rumit dan ruwet tidak bisa
dijelaskan dengan pendekatan tunggal.
3. Giddens dianggap tidak bertolak dari
landasan teoritis tertentu maka ia mengalami kekurangan untuk menganalisis
secara kritis tentang masyarakat modern akibatnya kritikannya terhadap
masyarakat modern cendrung berkualitas khusus untuk tujuan tertentu ketimbang
menganalisis secara sistematis dari inti teori tersebut.
4. Giddens kelihatannya secara fragmentaris
tidak berkaitan secara utuh menyebabkan pemikirannya dianggap sepengal sehingga
teorinya tidakl dapat dipersatukan satu sama lain.
E.
Perubahan
Kurikulum Nasional dalam perspektif teori strukturasi Giddens
Sejak 1947,
Indonesia tercatat telah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 10 kali.
Rata-rata rentang waktu pergantian kurikulum juga tak lama, hanya sekitar lima
tahun hingga sembilan tahun. Ada kurikulum yang berganti dalam waktu hanya dua
tahun. Ini sangat berbeda dengan negara maju seperti Jepang misalnya, yang
berganti kurikulum minimal dengan rentang waktu 9 tahun. Bergantinya kurikulum
merupakan bentuk pencarian jati diri pendidikan Indonesia. Sebab, memang belum
ada kurikulum yang sempurna untuk Indonesia hingga saat ini.
Pergantian
kurikulum di Indonesia tercatat dimulai tahun 1947 dengan nama “Rencana
Pembelajaran” yang kemudian berganti menjadi “Rencana Pembelajaran Terurai”
pada 1953. Kemudian berganti lagi menjadi kurikulum “Rencana Pendidikan” pada
1964 dan selanjutnya “Kurikulum 1968”. Pergantian selanjutnya secara
berturut-turut adalah “Kurikulum 1975”, “Kurikulum 1984”, “Kurikulum 1999”,
“Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)” 2004, “KTSP 2006”, “Kurikulum 2013”,
sebelum akhirnya kembali lagi pada “KTSP 2006”.
Dikutip dari
laman tirto.id Indonesia memang harus terus membenahi kurikulum pendidikannya.
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus banyak berbenah. Hasil survei
tahun 2012 yang dilakukan Programmme for
International Student Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) yang
dirilis pada Desember 2013. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari 65
negara dalam pemetaan kemampuan matematika, membaca, dan sains.
Survei itu juga
mengungkap, generasi muda Indonesia memiliki kelemahan dalam higher order thinking skills (HOTS) atau
kemampuan berpikir tingkat tinggi. HOTS mengajarkan siswa agar mampu berpikir
kritis, logis, reflektif, metakognitif dan kreatif. Kemampuan berpikir ini akan
muncul pada individu saat dihadapkan pada masalah yang belum pernah ditemui
sebelumnya.
Fenomena ganti
menteri pendidikan merupakan hal yang paling membuat galau. Sejarah mencatat,
ganti menteri pendidikan selalu berimplikasi ganti kurikulum yang berakhir pada
kerepotan sistem pendidikan nasional. Perubahan atau pergantian pejabat
(menteri) sering kali dibarengi dengan pergantian kebijakan, biasanya untuk
posisi kemendikbud pergantian kebijakan dalam hal kurikulum
nasional. Kurikulum nasional memang perlu diperbarui terlebih lagi untuk
memenuhi kebutuhan revolusi industri 4.0 tetapi jangan sampai perubahan
kurikulum ini memakan "korban" belum lagi selesai workshop tentang
kurikulum yang sebelumnya nanti ketika ganti kurikulum harus kembali mengulang
workshop yang sudah dilakukan berkali-kali.
Fenomena ganti menteri
ganti kurikulum dilihat dari kacamata Strukturasi Anthony Giddens yang di
dalamnya terdapat relasi dualitas antara agen dan struktur dipergunakan sebagai
acuan guna melihat kurikulum pendidikan Indonesia yang mana terus mengalami
perubahan. Konsep Strukturasi Giddens tersebut digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara stakeholder pendidikan
yang diposisikan sebagai pelaku (agency)
dengan struktur (structure) yang oleh
Giddens dikonseptualisasikan sebagai aturan (rules) dan sumber daya (resources).
Struktur dinyatakan oleh Giddens selain dapat membatasi atau mengekang (constraining), dapat pula memberdayakan
(enabling) pelaku. Pembatasan ataupun
pemberdayaan struktur tersebut dapat dilakukan oleh negara melalui kebijakan.
Keputusan untuk
melakukan perubahan kurikulum dari waktu-waktu tidak lain dan tidak bukan
adalah untuk mencetak SDM yang berkualitas dan punya identitas, karena dengan
era teknologi yang berkembang dengan sangat cepat dan jika sistem pendidikan
tidak banyak perubahan, maka generasi muda berikutnya akan menjadi generasi
"pekerja" yang menunggu seseorang memberi pekerjaan bukan generasi
pencetak kerja yang dapat membuat lowongan pekerjaan baru.
Perubahan
kurikulum pendidikan diterima dan ditanggapi positif dan negatif oleh sekolah,
guru, siswa, maupun orang tua murid. Untuk mengantipasi penolakan maka
diperlukan langkah-langkah untuk memperkenalkan perubahan baru. Stokeholder menyediakan workshop,
pelatihan, seminar, dan yang lainnya. Hal ini untuk mendukung dan melancarkan perubahan
baru dari kurikulum. Dengan harapan seiring berjalannya waktu pemangku
kepentingan (tenaga pendidik dan siswa) mulai terbiasa dengan sistem
pembelajaran yang baru.
Giddens
menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, di mana hubungan
antara keduanya berupa relasi dualitas. Dalam hubungan dualitas, antara pelaku
dan struktur tidak terpisahkan. Di antara keduanya terjadi hubungan saling
mempengaruhi. Hubungan antara pelaku dengan struktur dapat dipahami melalui
praktik sosial di mana praktik sosial itu sendiri merupakan kejadian atau
kebiasaan sehari-hari, hasil interaksi antara struktur dan pelaku. Dengan
pendidikan Indonesia yang masuk dalam kategori belum maju, mendorong stokeholder yang dalam kata lain memiliki
kekuasaan yaitu menteri pendidikan melakukan terobosan baru. Menteri pendidikan
sebagai pelaku atau agen membuat struktur sebagai acuan untuk merubah kurikulum
pendidikan Indonesia. Pembatasan ataupun pemberdayaan struktur tersebut dapat
dilakukan oleh negara melalui kebijakan.
Hal tersebut
sesuai dengan perspektif strukturasi Giddens bahwa agen manusia secara kontinu
mereproduksi struktur sosial. Gidden berpandangan perubahan itu dapat terjadi
apabila agen dapat mengetahui gugus mana dalam sebuah struktur yang dapat
dimasuki dan diubah, gugus tersebut antara lain adalah gugus signifikasi,
dominasi dan legitimasi. Gugus signifikasi menyangkut simbol, pemaknaan
individu dan wacana. Gugus dominasi merupakan bentuk penguasaan terhadap orang
dan barang. Sedangakan legitimasi mencakup berbagai aturan normatif dari
berbagai aturan yang terwujud dalam kebiasan sehari-hari.
Kebijakan yang
diambil oleh stakeholder untuk
merubah sistem pendidikan merupakan bentuk pengetahuan terhadap gugus struktur
yang ada. Gugus signifikasi adalah sosok menteri pendidikan yang memiliki
pemahaman pendidikan yang mendalam. Dari gugus dominasi stakeholder adalah yang dihormati. Menteri pendidikan yang
sekaligus sebagai agen adalah figur penting dalam dunia pendidikan sehingga
mempunyai otoritas penuh untuk mengatur perkembangan pendidikan dalam negaranya.
Berdasarkan gugus signifikasi dan dominasi tersebut, menteri pendidikan mempunyai
otoritas yang kuat akan mudah mendapat legitimasi dari masyarakat, sehingga
bukan hal yang sulit baginya untuk melakukan perubahan dan pengembangan
pendidikan dalam negaranya.
Pengembangan
sistem pendidikan di Indonesia dapat dipahami sebagai langkah dinamis untuk
mengembangkan desain pendidikan yang integralistik dalam berbagai disiplin ilmu
dalam rangka beradaptasi dengan perubahan zaman serta memenuhi tuntutan dan
kebutuahan masyarakat. Sesuai dengan konsepsi strukturasi yang digagas oleh
Giddens, perenungan internal dan eksternal pihak pemangku pendidikan tersebut
merupakan relasi antara agen dan struktur telah merubah cara pandang pihak sekolah
(guru) tentang konstruksi keilmuan. Sehingga, berimplikasi pada pengembangan
sistem pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan yang berkembang di
masyarakat.
Keputusan untuk
memasukkan perubahan kurikulum pendidikan mengharuskan kemendikbud untuk
merekonstruksi kelembagaan yang sudah ada di sesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan perubahan tersebut. Sedangkan sumber daya (resource) mengacu pada tujuan
dilakukannya perubahan kurikulum untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lembaga pendidikan menjadi mandiri dan
berkembang apabila memperoleh dukungan yang kuat dari masyakat, terutama dari
wali murid. Dukungan orang tua dan masyarakat ini diikuti oleh harapan besar
pada pendidikan Indonesia agar dapat mencetak SDM yang unggul. Dukungan dan
harapan dari masyarakat khususnya orang tua murid ini sesuai dengan konsep
Giddens tentang gugus legitimasi yang dimiliki oleh agen.
DAFTAR PUSTAKA
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi
Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wadi dan Mudzakkir. 2013. Strukturasi Perubahan
Pendidikan Pesantren di Madura (Fenomena Perubahan Pendidikan Pesantren
Darussalam Al-Faisholiyah di Sampang Madura). Artikel. Paradigma. Volume 01
Nomor 03 Tahun 2013
Yudomahendro. 2012. Strukturalisme dan
Post-strukturalisme. Online. https://yudomahendro.wordpress.com/2012/04/18/strukturalisme-dan-post-strukturalisme/
http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/TEORI%20SOSIOLOGI%20MODERN.pdf