![]() |
sumber: dosensosiologi.com |
A. ESENSI FUNGSIONAL STRUKTURAL
Fungsionalisme
struktural[1]
adalah salah satu paham (perspektif) dalam sosiologi yang memandang masyarakat
sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian saling berhubungan satu
sama lain, di mana bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa bagian yang
lain. Perkembangan fungsionalisme didasarkan atas model perkembangan sistem
organisme yang didapat dalam biologi. Asumsinya bahwa setiap elemen (unsur)
kehidupan masyarakat harus fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan
bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka
struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya (punah).
Teori
fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan sosial di masyarakat.
Teori ini menganggap masyarakat sebagai organisme yang saling berkaitan satu sama
lain dan mengemukakan keseimbangan sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi
manifest dan keseimbangan. Susunan dalam teori ini menjelaskan bahwa hakekatnya
masyarakat ingin hidup dalam persatuan, kedamaian, ketentraman, ketenangan, tanpa
kesenjangan sosial yang membatasianya.
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang bagian-bagiannya saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pada bagian lainnya. Jika sebuah elemen tidak bisa diubah untuk menjaga keseimbanga (equilibrium) maka seluruh sistem harus diubah. Perubahan sosial dalam pandangan teori fungsional structural bersifat evolutif dan bukannya revolusioner. Sama halnya dengan pendekatan lain, pendekatan struktural fungsional juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
B.
TOKOH-TOKOH
TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL
Teori
fungsionalisme struktural menjadi suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Masyarakat abad ini
menginginkan kehidupan yang damai, bertoleransi, bersatu, tanpa terjadi
kesenjangan dalam masyarakat. Adapun tokoh yang pertama kali mencetuskan
fungsional structural diantaranya:
1.
August Comte
Comte adalah salah
satu tokoh aliran positivisme yang percaya bahwa masyarakat adalah bagian dari
alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat digunakan untuk menemukan
hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Comte[2]
melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik dan pada kenyataannya
lebih dari bagian-bagian yang saling tergantung. Comte mengajukan tiga metode
empiris untuk mengerti tentang masyarakat sehinggan mampu menciptakan
masyarakat yang adil dan baik. Metode tersebut yakni pengamatan, eksperimen,
dan perbandingan.
Comte memiliki
konsep normatif tentang masyarakat yang ‘baik’. Bagi Comte, kebaikan itu segala
sesuatu yang mempunyai kontribusi untuk mempertahankan masyarakat secara menyeluruh.
Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang teratur yang selalu berada di dalam
keseimbangan seperti yang terjadi sebelum revolusi Prancis. Sehingga untuk
menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya
tidak dapat digugat.
Selain itu,
Auguste Comte[3]
juga membandingkan masyarakat dengan organisme yaitu makhluk hidup baik
tumbuhan maupun hewan. Jika biologi mempelajari organisme individual yaitu
tumbuhan atau hewan, maka sosiologi mempelajari organisme sosial yakni
masyarakat itu sendiri. Di dalam biologi, organisme individual (tumbuhan dan hewan)
memiliki sel-sel, maka di dalam organisme sosial (masyarakat), sel-sel itu
adalah keluarga-keluarga. Selain itu, Comte juga membandingkan
jaringan-jaringan dalam organisme individual (tumbuhan atau hewan) dengan kelas-kelas
sosial dan kasta-kasta dalam masyarakat. Serta anggota-anggota tubuh dari
organisme biologis dibandingkan dengan kota-kota dan komunitas-komunitas di
dalam dunia sosial.
2.
Emile Durkheim
Teori
kemajuan dan pembagian kerja dari Emile Durkheim, yang menyatakan bahwa karena
faktor kemajuan dan pembagian kerja, maka masyarakat berkembang dan berubah
dari sistem masyarakat yang mekanik ke sistem masyarakat yang organik. Durkheim
mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya
terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian
tersebut saling ketergantungan (interdependensi)
satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan
merusak keseimbangan sistem.
Studi yang menjadi perhatian utama Durkheim adalah keteraturan dan tata tertib sosial. Perhatian Durkheim terhadap fakta-fakta sosial, struktur sosial, dan hubungan dengan kebutuhan masyarakat sebagai satu keseluruhan memberikan sumbangsih pada bagian-bagian dari organisme sosial dan hubungan tambal balik serta dampakanya bagi masyarakat.
3.
Herbet Spencer
Dalam
membahas struktur masyarakat, comte menerima premis bahwa masyarakat adalah
laksana organisme hidup[4]. Sosiolog
kebangsaan Inggris ini, juga membandingkan masyarakat dengan organisme
individual (tumbuhan atau hewan) dengan masyarakat. Spencer melihat beberapa
kesamaan antara organisme individual (tumbuhan atau hewan) dengan organisme sosial (masyarakat).
Secara umum, fungsionalisme struktural berdasarkan
pada beberapa ide dari tiga sosiolog klasik ini. Aguste Comte mengembangkan
analogi mengenai organisme. Herbert Spencer mengembangkan analogi Comte
mengenai persamaan organisme dan masyarakat. Emile Durkheim menggabungkan
pemikiran Comte dan Spencer bahwa masyarakat terdiri dari bagian-bagian yang
satu dan lainnya saling membutuhkan karena memiliki fungsi yang berbeda untuk
menciptakan sebuah kestabilan.
C.
PENDUKUNG
TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL
Pendukung
teori ini memusatkan perhatian mereka pada sistem sosial sebagai satu
keseluruhan dan memperhatikan dampak dari berbagai komponen yang berbeda-beda
terhadap keseluruhan. Menurut mereka, bagian-bagian dari sistem tersebut
memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat tersebut. Mereka juga melihat
bahwa bagian-bagian itu mempunyai hubungan terhadap satu sama lain sehingga
perubahan pada salah satu komponen akan menyebabkan perubahan juga pada bagian
lain
1.
Talcott
Parsons
Parsons
tokoh sosiologi fungsional struktural terkemuka dari Amerika, secara khusus
membahas hubungan antara kepribadian individual, sistem sosial, sistem budaya. Talcott
Parsons memberikan penjelasan mengenai teori fungsional struktural sebagai
bagian keseimbangan dalam institusi sosial, yang apabila masyarakat berhasil
menjalankan tugas serta fungsinya dengan baik, tanpa memberikan perbedaan
sedikitpun. Parsons percaya bahwa masyarakat terdiri dari sistem sosial yang
saling terkait dan fungsional.
Teori
Fungsionalisme struktural yang dipaparkan oleh Talcott Parsons membahas tentang
skema AGIL. Paradigma AGIL adalah gambaran mengenai keperluan sosial atau
kebutuhan fungsional tertentu, di mana setiap anggota masyarakat harus
menjaganya untuk memelihara kehidupan sosial yang stabil. AGIL merupakan
singkatan dari Adaptation, Goal, Integration, dan Latency[5].
Menurut Parsons keempat skema ini harus saling berkaitan. Jika salah satu dari skema ini tidak dijalankan, maka skema-skema yang lainnya akan sia-sia untuk dilakukan. Maksudnya, sebuah sistem (tindakan) akan berlaku jika skema A-G-I-L ini dijalankan.
2.
Robert
K. Merton
Merton
berupaya mengembangkan analisisnya tentang teori Struktural Fungsionalisme
dengan beberapa pokok pikiran baru yakni mengenai disfungsi, fungsi yang tampak
(manifest function), dan fungsi yang
tak tampak (latent function). Menurut
Merton, fungsi-fungsi didefinisikan sebagai ―konsekuensi-konsekuensi yang
diamati yang dibuat untuk adaptasi atau penyesuaian suatu sistem tertentu.
Robert
K. Merton seorang pentolan teori ini berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi
adalah fakta sosial, seperti: peranan sosial, pola-pola institusional, proses
sosial, organisasi kelompok, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan
sebagainya. Hampir semua penganut teori ini berkecenderungan untuk memusatkan
perhatiannya kepada fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang
lain. Hanya saja menurut Merton pula, sering terjadi percampuradukan antara
motif-motif subyektif dengan pengertian fungsi.
Fungsi
adalah akibat-akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian
dalam suatu sistem. Oleh karena fungsi itu bersifat netral secara ideologis,
maka Merton mengajukan pula satu konsep yang disebut: dis-fungsi. Sebagaimana
struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan
fakta-fakta sosial lainnya. sebaliknya, fungsi juga dapat menimbulkan
akibat-akibat yang bersifat negatif. Contohnya perbudakan dalam sistem sosial 9
Amerika Serikat lama, khususnya di bagian selatan. Perbudakan tersebut jenis
fungsional bagi masyarakat Amerika kulit putih. Karena sistem tersebut dapat
menyediakan tenaga buruh yang murah, memajukan ekonomi pertanian kapas serta
menjadi sumber bagi status sosial terhadap kulit putih. Tetapi sebaliknya,
perbudakan mempunyai disfungsi. Sistem perbudakan membuat orang sangat
tergantung kepada sistem ekonomi agraris sehingga tidak siap untuk memasuki industrialisasi[6].
Uraian
di atas terlihat bahwa suatu pranata (institusi) tertentu dapat fungsional bagi
unit sosial tertentu dan sebaliknya disfungsional bagi unit sosial yang lain. Perbudakan
itu fungsional bagi unit kulit putih dan disfungsinal bagi unit sosial negro. Merton
melihat konsep lain mengenai sifat dari fungsi. Merton membedakannya atas
fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang diharapkan.
Fungsi manifest dari institusi perbudakan di atas adalah untuk meningkatkan
produktivitas di Amerika Serikat bagian Selatan. Sedangkan fungsi laten adalah fungsi
yang tidak diharapkan. Fungsi latennya adalah menyediakan kelas rendah yang
luas yang memungkinkan peningkatan status sosial orang kulit putih. Fungsi
laten ini berhubungan dengan konsep Merton lainnya yang disebut: un anticipated qonsequences[7].
3.
Lewis
Coser
Konflik
dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih kelompok[8]. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Coser
melihat katup penyelamat (wadah penyelesaian konflik) berfungsi sebagai jalan
ke luar yang meredakan permusuhan. Coser menyebut katup penyelamat sebagai
penyedia objek pengalih konflik antara dua belah pihak yang bermasalah. Tujuan
utama pengalihan konflik adalah agar konflik tidak berdampak pada masyarakat
secara keseluruhan. Tanpa katup penyelamat hubungan di antara pihak yang
bertentangan akan semakin menajam. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Contoh katup
penyelamat misalnya kompetisi olahraga antarsekolah dengan maksud menyalurkan
ekspresi pelajar dan menghindarkan kemungkinan konflik, misalnya tawuran.
Coser
sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam
pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya
dapat memperkuat struktur sosial. Coser mengenalkan katup penyelamat yang dapat
dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial sehingga
struktural fungsional dalam masyarakat tetap terjaga. Dengan demikian Coser
menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan
kestabilan suatu hubungan. Jadi fungsional struktur Lewis Coser mempertahankan
struktur melalui konflik.
4.
Piter
Michael Blau
Dalam
buku Exchange and Power in Social Life,
Peter Blau muncul mengkritik paradigma salah satu tokoh utama fungsionalis yakni
Talcot Parsons. Jika Parsons berpendapat bahwa human behavior (perilaku individu) hanya dipengaruhi oleh sistem
nilai individu, tidak demikian dengan Blau. Blau berpendapat bahwa human behavior dipengaruhi oleh sistem
nilai individu dan sistem nilai lingkungan sosialnya (nilai masyarakat).
Pusat
perhatian Blau dalam proses petukaran ialah perilaku manusia dan hubungan di
antara individu dan kelompok. Paradigma
Peter Blau berusaha menggabungkan antara teori mikro dan makro dan mengkonsepkan
kekuasaan lebih mendominasi dalam pertukaran sosial. Oleh karena itu, ia
menandai adanya saling ketergantungan antara pertukaran sosial di tingkat mikro
dan munculnya struktur sosial yang lebih makro. (Salim, 2008: 56)
Menurut
Blau, banyak orang tertarik satu sama lain karena banyak alasan yang
memungkinkan mereka membangun sebuah perkumpulan (asosiasi) sosial atau organisasi
sosial. Jika ikatan awal sudah terbentuk, maka ganjaran (reward) yang diberikan kepada sesamanya dapat berfungsi untuk mempertahankan
dan menguatkan ikatan itu. Apabila ganjaran yang didapat tidak seimbang maka dapat
memperlemah atau bahkan menghancurkan perkumpulan itu sendiri yang akan
melahirkan sebuah eksploitasi kekuasaan. Ganjaran yang dimaksud bersifat intrinsik dan
ekstrinsik. Ganjaran intrinsik, seperti pujian, kehormatan, cinta, kasih
sayang, afeksi, dan lain-lain. Ganjaran ekstrinsik, seperti benda-benda
tertentu, uang dan jasa. Apabila setiap kelompok tidak mampu memberi ganjaran
secara seimbang, maka disitulah ketimpangan kekuasaan terjadi. (Ritzer, 2010:
343- 344).
Blau
memengajukan empat langkah berurutan, mulai dari pertukaran antar pribadi ke
struktur sosial hingga ke perubahan sosial. Kekuasaan juga dapat diperoleh melalui
pemberian terus menerus pelayanan dari surplus semberdaya pada yang
membutuhkan. Dalam sebuah organisasi yang berkuasa dilahirkan dari kemampuan
individu menarik perhatian pihak lain tentang kompetensi yang dimiliki.
Stabilisasi kekuasaan pun kemudian terjadi. Misalnya, ketika pemimpin berhasil
menjaga keutuhan nilai dan norma bersama kelompok, dan ketika seorang pemimpin
selalu memberikan reward kepada para
pegawainya, sehingga pegawai akan meningkatkan kinerja dan loyalitas kepada
pemimpinnya.
Apabila
seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain, namun tidak memberikan apapun
sebagai tukarannya, maka akan terjadi 4 kemungkinan. Pertama, orang tersebut
dapat memaksa orang lain untuk membantunya. Kedua, orang tersebut akan mencari
sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga, orang tersebut dapat mencoba
terus bergaul dengan baik tanpa mendapat dan mengharapkan apa yang
dibutuhkannya dari orang lain. Keempat, orang tersebut mungkin akan menundukkan
diri terhadap orang lain yang dapat memberikan penghargaan yang sebanding
dengan apa yang ia lakukan.
Melihat konsepsi di atas, dapat ditarik suatu pemahaman; Pertama, individu yang membutuhkan orang lain berupaya untuk mendapatkan dukungan dan bantuan demi terciptanya hubungan yang menguntungkan. Kedua, orang yang berada dalam relasi tersebut bertindak mencari kebutuhan dan jika tidak ada ganjaran yang diperolahnya maka hubungan yang terbangun akan berantakan. Ketiga, adanya pembedaan hubungan di antara individu sehingga terjadi pertentangan maka hal itu mendasari terjadinya perubahan atau peralihan dalam hubungan tersebut. Keempat, konsep hubungan yang terjalin dalam masyarakat hanya mengarah pada norma dan nilai untuk mendapatkan pernghargaan yang diharapkan.
D.
PENERAPAN
FUNGSIONAL STRUKTURAL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Teori
Fungsionalis Struktural masyarakat dianggap sebagai organisme biologis, terdiri
dari bagian-bagian yang saling membutuhkan satu sama lain agar organisme
tersebut tetap hidup. Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi yang berbeda untuk
menciptakan sebuah kestabilan. Ketika ada satu bagian yang tidak berfungsi, akan
menyebabkan kerusakan sistem dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, teori
fungsional struktural dianggap sebagai teori yang dapat menciptakan keteraturan
sosial di masyarakat.
Awal
kemunculannya, teori fungsionalisme merujuk pada peranan masyarakat dalam
lingkup besar, ketimbang peranan masyarakat sebagai individu dalam suatu
komunitas. Masyarakat luas terdiri dari berbagai elemen atau insitusi.
Elemen-elemen itu antara lain ekonomi,
politik, hukum, agama, pendidikan, keluarga, kebudayaan, adat-istiadat, dan
lain-lain. Seturut pandangan teori ini, masyarakat luas akan berjalan normal
kalau masing-masing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan baik.
Kemacetan pada salah satu institusi akan menyebabkan kemacetan pada
institusi-institusi lain dan pada akhirnya akan menciptakan kemacetan pada
masyarakat secara keseluruhan.
Guna
memahami teori ini secara lebih baik, kita bisa menganalisa bisnis penerbangan
yang berada di bandara udara. Berdasarkan struktur, bisnis penerbangan itu
terdiri dari pelbagai unsur, elemen, atau komponen, seperti pesawat, pilot,
pramugari, penjual tiket, ahli mesin, penumpang, petugas menara, karyawan
restoran, dan sebagainya. Seturut teori fungsionalisme struktural, bisnis
penerbangan itu akan berjalan lancar kalau masing-masing komponen tersebut di
atas menjalankan fungsinya dengan baik. Kemacetan atau perubahan pada salah
satu bagian akan menimbulkan kemacetan atau perubahan pada bagian yang lain
sehingga menciptakan ketidak-seimbangan atau kemacetan[9].
Pada
implementasinya dalam kehidupan sekarang ini misalnya, membayar pajak,
pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Membayar pajak yang dilakukan oleh
masyarakat. Sejatinya pajak digunakan untuk kepentingan bersama baik untuk pembangunan
infrastruktur maupun kegiatan ekonomi yang dikelola dengan baik oleh
pemerintah, maka unsur konstitutif dan unsur deklaratif akan terpenuhi. Apabila
dana pajak di gunakan tidak semestinya, maka akan terjadi ketidakseimbangan
dalam membangun unsur-unsur tersebut. Kecenderungan masyarakat yang rajin membayar
pajak secara tidak langsung telah memikirkan kebersamaan dalam hidupanya.
Lembaga
pendidikan merupakan bagian struktural fungsional. Masyarakat yang ingin hidup lebih
baik dan siap terhadap bentuk perubahan sosial (modernisasi), maka harus
memiliki pendidikan tinggi. Dengan hal ini maka, pemerintah berperan memberikan
fasilitas pendidikan pendidikan tertentu. Misalnya saja untuk memperbaiki SDM
pemerintah membangun pendidikan formal dan wajib belajar 9 tahun. Untuk membangun
karakter yang baik pemerintah membangun pendidikan nonformal. Untuk
menunjang keterampilan pemerintah kemudian menyusun dan membangun pendidikan
informal. Kehidupan masyarakat yang tentram, teratur, seperti yang diharapkan
dalam fungsional structural, maka selain pendidikan, pemerintah juga memberi
solusi untuk lapangan pekerjaan. Dengan lowongan kerja yang di dorong
pemerintah sebagai cara untuk mengatasi pengangguran.
[1] Raho, Bernard. 2021. Teori Sosiologi Modern (Edisi Revisi). Maumere: Ledalero. Hal 65-66
[2] Anto, Rusdi. 2018. Teori-Teori Sosiologi Hukum Fungsional Struktural. Article. (https://www.researchgate.net/publication/326610706)
[3] Raho, Bernard. 2021. Teori Sosiologi Modern (Edisi Revisi). Maumere: Ledalero. Hal 62-63
[4] Paloma,
Margaret. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Rajawali. Hal. 23
[5] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Hal 121.
[6]
George Ritzer. 2009. Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: RajaGrafindo Persada halm 22.
[7]
Muhammad Solikhudin. 2016. Penyalahgunaan
Narkoba Dalam Masyarakat: Sebuah Analisis Teori Struktural Fungsionalisme.
Tamaddun Volume 1, Nomor 1. Hal33-48.
[8] M. Wahid Nur Tualeka. 2017. Teori Konflik Sosiologi Klasik Dan Modern. JURNAL AL-HIKMAH, Volume, 3 Nomor, 1, Januari 2017. SSN 2407-9146
[9] Raho, Bernard....... Maumere: Ledalero. Hal 66
No comments:
Post a Comment