Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang memandang bahwa proses pendidikan
kita telah gagal menanamkan nilai-nilai moral pada siswa. Asumsi ini muncul
setelah kita menyaksikan begitu banyaknya siswa yang kurang memiliki nilai
moral yang sesuai dengan pandangan hidup
masyarakat kita. Pendidikn moral merupakan bagian yang tidak terpisahkaan dalam
proses pendidikan.
Dalam teori perkembangan moral, Kohlberg memberikan penekanan tentang pentingnya pemahaman guru tentang terhadap
perkembangan nilai moral anak sebagai bagian dari karakteristik individual
peserta didik. Dengan mamahami perkembangan
moral siswa, maka guru dapat mengeksplorasi, memilih dan menentukan
bahan belajar, strategi pembelajaran, model-model pemberian motivasi serta
bentuk-bentuk evaluasi yang tepat untuk mewujudkan proses pembelajaran yang
efektif.
Pemikiran-pemikiran yang positif memberi arahan yang sudah selayaknya
jika dunia pendidikan diarahkan pada upaya transformasi dan pengembangan
prinsip-prinsip secara konprenhensip dalam penyelanggaraan pendidikan dan
pembelajaran. Kepada para peserta didik perlu diberi bekal pengetahuan serta
nilai-nilai dasar sebagai suatu pandangan hidup yang sanggta berguna untuk
mengarungi kehidupan dalam masyarakat pluralis, baik dari aspek etnisitas,
kultural, maupun agama. Jika dunia pendidikan berhasil melaksanakan tugas ini,
maka kedepannya akan berkembang masyarakat yang berkualitas secara intelektual
dan moral
Dalam proses
pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada berbagai dinamika yang berkaitan
dengan perkembangan peserta didik. Perubahan-perubahan dan perkembangan yang
terjadi pada peserta didik ini harus mendapat perhatian dari guru diantaranya
berkaitan dengan perilaku. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam makalah ini
akan membahas perkembangan moral dan implementasinya
dalam pembelajaran. Berdasarkan
latar belakang, masalah umum dalam penulisan adalah “Bagaimana perkembangan nilai moral dan implementasinya”.
Untuk menghindari meluasnya pembahasan, perlu kiranya diberi batasan sebagai
berikut:
a.
Bagaimana teori moral menurut Jean Piaget?
b.
Bagaimana teori moral menurut Kohlberg?
c.
Bagaimana teori
moral menurut Erik H. Ericson?
d.
Bagaimana perpaduan
pandangan Jean Piaget, Kohlberg, Erik H. Ericson?
e.
Bagaimana
implementasi keterpaduan dalam pembelajaran?
Teori Perkembangan Moral Jean Piaget
Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang
memalalui urutan yang sama meskipun tingkatan dan jenis pengalaman mereka
berbeda satu sama yang lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara
bertahap dari tahap yang satu ketahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang
terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk
mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.
Berkaitan dengan perkembangan moral, menurut Piaget (Aunurrahman, 2012:58) mengemukakan
ada dua tahap perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Tahap pertama
disebut “heterenomous” atau tahap “realitas moral”. Dalam tahap ini, seorang
anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh
orang-orang yang berkompoten untuk itu. Tahap kedua disebut “autonomous morality” atau “independensi
moral”. Dalam tahap ini seorang anak akan memandang perlu untuk memodifikasi
aturan-aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dalam pandangan Piaget tahap-tahap kognitig mempunyai kaitan yang sangat
erat dengan empat karakteristik berikut:
a.
setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan
cara-cara yang berbeda dalam cara berpikir atau memecahkan permasalahan yang
sama.
b.
Perbedaan cara berpikir dilihat dari cara mereka menyusun
kerangka berpikir yang berbeda. Dalam kerangka pemikiranya, anak-anak akan
berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat
perkembangan usiannya.
c.
Dalam tahap ini anak akan diatur sesuai dengan cara
berpikir tertentu. Piaget mengakui bahwa
cara-cara berpikir atau struktur tersebut pada dasarnya mengendalikan pemikiran
yang berkembang.
d.
Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya
merupakan suatu integrasi hirarkis dari apa yang telah dialami sebelumnya.
Piaget mencoba mengkaji tingkah laku anak melalui aktivitas bermainnya. Ia
ingin menguji bagaimana anak-anak dapat berpikir secara spontan dan dapat
menyesuaikan konsepnya terhadap berbagai tata aturan. Dari hasil pengamatannya,
Piaget mengetahui bahwa anak-anak pada usia tiga tahun yang bermain kelereng
dengan teman-temannya umumnya belum mengembangkan aturan permainan sendiri atau
mereka bermain sendiri-sendiri tanpa adanya kerjasama yang lebih terencana.
Anak pada tahap ini cenderung menganggap pendirian atau pendapatnya sebagai
sesuatu yang paling benar. Dalam perkembangan berikutnya anak berusia 7 atau 8
tahun mulai berkembang perhatiannya pada keuntungan timbal balik dan
kecenderungannya untuk menyeragamkan aturan permainan. Pada usia 11 atau 12
tahun, mulai mampu menentukan aturan permainan secara lebih detail.
aturan-aturan yang dihasilkan oleh anak dianggap sebagai hukum yang dihasilkan
dari kesepakatan bersama, walaupun menurut mereka aturan tersebut masih dapat
dimodifikasi.
Kesimpulan mendasar dari hasil pengamatan Piaget adalah bahwa dapat diambil
pola-pola yang konsisten pada perilaku anak yang bergerak dari satu tahap
ketahap berikutnya. Pola-pola perubahan ini terkait secara langsung dengan
tingkat usia anak.
Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Menurut Kohlberg untuk memahami perilaku moral harus didasari pemahaman
tentang tahap-tahap perkembangan moral. Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan
morla adalah untuk mendorong individu-individu guna mencapai tahapan-tahapan
perkembangan moral selanjutnya. Kohlberg mengemukakan
teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan pendekatan
organismik (melalui tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan pasti dan
berlaku secara universal). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses
berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior).
Tahapan
perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Piaget. Teori ini
berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang
dapat teridentifikasi. Kohlberg menyatakan
bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Keenam
tahap perkembangan moralitas anak menurut Aunurrahman (2012:58) berada pada
tiga level, dimana tahap pertama dan kedua berada pada level pre-conventional, tahap tiga dan empat
pada level conventional, dan pada
level lima dan enam pada post-convensional.
Tahap prakonvensional anak-anak meberi respon kepada aturan dan kebiasaan mengenai
baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman,
ganjaran kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan
peraturan dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Pada tingkat prakonvensional kita
menemukan:
a.
Tahap I Orientasi hukuman dan
kepatuhan: Perilaku yang
muncul pada anak bukan suatu kesadaran tetapi karena adanya konsekuensi bila
tidak melaksanakan tindakan tesebut. Keputusan untuk melakukan tindakan
tersebut untuk menghindari hukuman..
b.
Tahap 2 Orientasi relativis-intrumental:
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan
kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Terdapat
unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi
semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah
soal ”Jika anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”,
dan ini bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
Pada level konvensional anak telah tumbuh kesadaran dan penghargaan terhadap individu lain keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai
dalam dirinya, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Individu tidak
hanya berupaya menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk
mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu. Pada tingkat konvensional menemukan:
a.
Tahap 3 Orientasi kesepakatan
antara pribadi atau Orientasi ”Anak manis”: Orientasi ”anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang
menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini seseorang bermaksud baik
apabila orang lain atau lingkungan sekitar bahwa tindakan yang dilakukan
merupakan perilaku yang baik.
b.
Tahap 4 Orientasi hukum dan
ketertiban: Orientasi kepada otoritas,
peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar
adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan
pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang
mendapatan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.
Tingkat paska-konvensional dicirikan oleh dorongan utama menuju ke prinsip-prinsip moral otonom,
mandiri, yang memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok
atau pribadi-pribadi. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan
prinsip moral yang dapat diterapkan. Pada tingkat pasca-konvensional
kita melihat:
a.
Tahap 5 Orientasi kontrak sosial
legalistis: Perbuatan yang benar cenderung
didefinisikan dari segi hak-hak bersama yang
memungkinkan adanya konsensus. Keungkinan ada perubahan hukum yang mendorong
terhadap perilaku yang lebih baik.
b.
Tahap 6 Orientasi Prinsip Etika Universal:
Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih
sendiri, yang mengacu pada pemaham logis. Prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak
asasi manusia, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebagai seorang individu.
Pandangan Psikologi Sosial Erik Erikson
Teori
psikososial Erikson berkaitan dengan prinsip–prinsip dari perkembangan secara
psikologi dan sosial, dan merupakan bentuk pengembangan dari teori psikoseksual
dari Sigmund Freud. Delapan tahapan yang dibuat oleh Erikson yaitu:
a.
Trust
vs Mistrust ( Percaya & Tidak Percaya, 0-18
bulan)
Hal pertama yang akan dipelajari seorang
anak atau bayi dari lingkungannya adalah rasa percaya pada orang di sekitarnya,
terutama pada ibu atau pengasuhnya yang selalu bersama setiap hari. Jika
kebutuhan anak cukup dipenuhi oleh sang ibu atau pengasuh seperti makanan dan
kasih sayang maka anak akan merasakan keamanan dan kepercayaan. Akan tetapi, jika ibu
atau pengasuh tidak dapat merespon kebutuhan si anak, maka anak
bisa menjadi seorang yang selalu merasa tidak aman dan tidak bisa
mempercayai orang lain, menjadi seorang yang selalu skeptis dan menghindari
hubungan yang berdasarkan saling percaya sepanjang hidupnya.
b.
Autonomy
vs Doubt (Otonomi
vs Malu, 18 bulan–3 tahun)
Kemampuan
anak untuk melakukan beberapa hal pada tahap ini sudah mulai berkembang,
seperti makan sendiri, berjalan, dan berbicara. Kepercayaan yang diberikan
orang tua untuk memberikannya kesempatan bereksplorasi sendiri dengan
dibawah bimbingan akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri
serta percaya diri.
c.
Initiative
vs Guilt (Inisiatif vs Rasa Bersalah, 3 – 6 tahun)
Anak
usia prasekolah sudah mulai mematangkan beberapa kemampuannya yang lain seperti
motorik dan kemampuan berbahasa, dan mengembangkan inisiatif untuk mulai
bertindak. Apabila
orang tua selalu memberikan hukuman untuk dorongan inisiatif anak,
akibatnya anak dapat selalu merasa bersalah tentang dorongan alaminya
untuk mengambil tindakan. Namun, inisiatif yang berlebihan juga tidak dapat
dibenarkan karena anak tidak akan memedulikan bimbingan
orang tua kepadanya. Sebaliknya, jika anak memiliki inisiatif yang terlalu
sedikit, maka ia dapat mengembangkan rasa ketidakpedulian.
d.
Industry
vs Inferiority (Tekun vs Rasa Rendah Diri, 6-12
tahun)
Anak
yang sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial akan mulai mengembangkan suatu
perasaan bangga terhadap identitasnya. Kemampuan akademik anak yang sudah
memasuki usia sekolah akan mulai berkembang dan juga kemampuan sosialnya untuk
berinteraksi di luar keluarga.
Dukungan
dari orang tua dan gurunya akan membangun perasaan kompeten serta percaya diri,
dan pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai pengalaman baru.
Sebaliknya kegagalan untuk memperoleh prestasi penting dan kurangnya dukungan
dari guru dan orang tua dapat membuat anak menjadi rendah diri, merasa tidak
kompeten dan tidak produktif.
e.
Identity
vs Role Confusion (Identitas vs
Kebingungan Peran, 12-18 tahun)
Pada
tahap ini seorang anak remaja akan mencoba banyak hal untuk mengetahui jati
diri mereka sebenarnya. Jika
anak dapat menjalani berbagai peran baru dengan positif dan dukungan orang tua,
maka identitas yang positif juga akan tercapai. Akan tetapi jika anak kurang
mendapat bimbingan dan mendapat banyak penolakan dari orang tua terkait
berbagai peranannya, maka ia bisa jadi akan mengalami kebingungan identitas
serta ketidakyakinan terhadap hasrat serta kepercayaan dirinya.
f.
Intimacy
vs Isolation ( Keintiman vs Isolasi, 18-35
tahun)
Tahap
pertama dalam perkembangan kedewasaan ini biasanya terjadi pada masa dewasa
muda, yaitu merupakan tahap ketika seseorang merasa siap membangun hubungan
yang dekat dan intim dengan orang lain. Jika sukses membangun hubungan yang
erat, seseorang akan mampu merasakan cinta serta kasih sayang. Pribadi yang memiliki
identitas personal kuat sangat penting untuk dapat menembangkan hubungan yang
sehat. Sementara kegagalan menjalin hubungan bisa membuat seseorang merasakan
jarak dan terasing dari orang lain.
g.
Generativity
vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan,
35-64 tahun)
ini
adalah tahap kedua perkembangan kedewasaan. Normalnya seseorang sudah
mapan dalam kehidupannya. Kemajuan karir atau rumah tangga yang telah dicapai
memberikan seseorang perasaan untuk memiliki suatu tujuan. Namun jika seseorang
merasa tidak nyaman dengan alur kehidupannya, maka biasanya akan muncul
penyesalan akan apa yang telah dilakukan di masa lalu dan merasa hidupnya
mengalami stagnasi.
h.
Integrity
vs Despair (Integritas vs Keputusasaan, 65 tahun
keatas)
Pada
fase ini seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flash back tentang
alur kehidupannya yang telah dijalani. Juga berusaha untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaiklikan.
Jika berhasil melewati tahap ini, maka seseorang akan mendapatkan
kebijaksanaan, namun jika gagal mereka bisa menjadi putus asa.
Memadukan Pandangan Piaget, Kahlberg, Erik Erikson
Berdasarkan pemaparan tiga tokoh perkembangan moral yakni Jean Piaget,
Kohlberg, dan Ericson, dapat dilihat beberapa kesamaan pandangan dan perbedaan,
utamanya berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan anak. Kesamaan pandangan
yang paling nampak adalah pengakuan terhadap adanya tahap-tahap perkembangan
moral anak dari dari tahap yang paling sederhana dan sangat realistik dan
memandang sesuatu sampai pada struktur yang lebih kompleks, walaupun jumlah dan
sebutan untuk masing-masing tahap berbeda menurut hasil penelitian dan kajian
mereka masing-masing.
Selain kesamaan, perbedaan para ahli tentang perkembangan anak dapat
dilihat bahwa kesimpulan Jean Piaget mengatakan bahwa semua anak akan
berkembang mulai urutan-urutan yang sama tanpa harus bergantung pada tingkat
pengalaman, kondisi keluarga bahkan cenderung merupakan kesimpulan yang kurang
proporsional. Pandangan Piaget berbeda dengan pandangan Erikson yang melihat
bahwa perkembangan tiap-tiap tahap harus didukung oleh pranata-pranata budaya
yang kuat, utamanya oleh orang tua dan berbagai unsur kemasyarakatan. Pada
teori perkembangan moral Kolhberg, perkembangan anak lebih didominasi oleh
perhatiannya pada faktor-faktor didalam individu sendiri dan kurang melihat
pentingnya faktor lingkungan dan sosial.
Implementasi Keterpaduan dalam Pembelajaran
Beberapa
teori atau pandangan yang dikemukakan sebelumnya memberikan inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap
perkembangan dan eksisitensi siswa, pemilihan bahan pembelajaran dan
strategi pembelajaran dalam mewujudkan pembelajaran yang optimal. Dalam proses belajar mengajar, diharapkan berlangsung
interaksi intruksional, tetapi juga interaksi pedagogis yang mengutamakan
sentuhan-sentuhan emosional sehingga anak merasa senang belajar. Hal ini
didukung oleh Jean Piaget yang mengingkatkan pentingnya metode mengajar anak
seimbang dengan usia dan perkembangan fisiknya.
Pemahaman
peserta didik merupakan faktor
yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Dalam upaya–upaya
pengembangan peserta didik agar mampu mngeaktualisasikan potensi-potensi yang
dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Untuk terwujudnya iklim
dan proses pembelajaran yang kondusif perlu didukung oleh berbagai faktor, baik berkenana dengan
kemampuan guru, misalnya
di dalam memilih bahan ajar, sarana
dan fasilitas pendukung serta yang tidak kalah pentingnya kesiapan dan motivasi
siswa dalam hal belajar untuk mencapai hasi belajar yang optimal.