Friday, December 11, 2015

MASALAH PEMUKIMAN DI BANTARAN SUNGAI KAPUAS PONTIANAK


INTISARI

Sungai Kapuas atau Sungai Kapuas Buhang atau Batang Lawai (Laue) merupakan sungai yang ada di Kalimantan Barat. Sungai ini merupakan sungai terpanjang di pulau Kalimantan dan sekaligus menjadi sungai terpanjang di Indonesia. Sungai yang mempunyai panjang sekitar 1.178 Km ini terdapat lebih dari 300 spesies ikan hidup. Sungai Kapuas terbentang dari Kabupaten Kapuas Hulu hingga muaranya yang relatif tidak jauh dari pusat kota Pontianak. Hingga daerah sepanjang aliran sungai Kapuas sangat potensial untuk dikembangkan menjadi objek wisata, terutama di Kota Pontianak.
Sungai Kapuas yang dulunya menjadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat (terutama suku Dayak dan Melayu) di sepanjang aliran sungai. Sebagai sarana transportasi yang murah, Sungai Kapuas dapat menghubungkan daerah satu ke daerah lain di wilayah Kalimantan Barat, dari pesisir Kalimantan Barat sampai ke daerah pedalaman Putussibau dihulu sungai ini. Selain itu, sungai Kapuas juga merupakan sumber mata pencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi nelayan/penangkap ikan secara tradisional.
Namun, belakangan ini Sungai Kapuas telah tercemar logam berat dan berbagai jenis bahan kimia, akibat aktivitas penambangan emas dan perak di bagian tengah sungai ini. Selain telah tercemar oleh adanya penambangan, Sungai Kapuas juga tercemar oleh adanya aktivitas penduduk yang ada dilingkungan sekitarnya terutama di wilayah Pontianak. Misalnya pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan pinggir sungai serta hampir memadati jalan dekat daerah aliran sungai sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan berbagai masalah. Masyarakat miskin di wilayah perairan Kapuas itu unik dengan berbagai problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka.
Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai pemukiman masyarakat miskin adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang harus disingkirkan. Terbentuknya pemukiman disepanjang aliran sungai Kapuas baik di jembatan Landak, jembatan tol 1, dan jembatan tol 2, membuat kelompok kami tertarik untuk mengetahui apakah daerah tersebut tergolong pemukiman liar/squater area  atau pemukiman kumuh/slum area dan masalah sosial apa saja yang terjadi disekitar pemukiman ini. Hal ini karena dapat menimbulkan berbagai perilaku menyimpang seperti kejahatan dan sumber penyakit sosial lainnya. Sehingga tanggung jawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial serta tolong menolong menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.


PENDAHULUAN 
Latar Belakang
Adanya permukiman penduduk di tepian Sungai kapuas dengan budaya kehidupan masyarakatnya yang cukup unik dan ketergantungan terhadap sungai sebagai sumber kehidupannya dapat menyebabkan berbagai masalah terhadap daerah disekitar sungai. Permukiman penduduk yang berada diatas sungai sangat dipengaruhi oleh pasang surut wilayah perairan, sehingga kondisi lingkungannya yang dinamis tercermin dari penggunaan air dalam kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan sungai Kapuas oleh masyarakat permukiman sekitarnya seperti aktivitas pelayaran, perdagangan, industri, transportasi air, dan pariwisata membuat masyarakat tertarik untuk mencari rezeki disekitar sungai ini. Mereka berlomba-lomba membuat rumah di sepanjang tepi Sungai Kapuas tanpa memikirkan masalah yang akan timbul dikemudian hari.
Sungai Kapuas seakan menjadi jantung kehidupan mereka. Berbagai aktivitas keseharian menggantungkan pada sungai yang tidak bisa dibilang bersih dan sehat itu. Mulai dari mandi, mencuci, dan buang air dilakukan di satu aliran sungai itu. Tidak terbayangkan bagaimana kotor dan tidak sehatnya perilaku hidup mereka. Tidak hanya itu, buang sampah pun mereka lakukan di Sungai Kapuas. Kebiasaan hidup seperti mengotori air sungai sementara disisi lain memanfaatkan air tersebut, menandakan tidak adanya rasa kebersihan dan kesehatan dalam diri masyarakat sekitar aliran Sungai Kapuas. Kesehatan dan kebersihan seakan tidak penting untuk dipikirkan bersama.
Pengaruh yang terjadi di pemukiman liar sangat banyak sekali di antaranya, pengaruh lingkungan seperti pencemaran air, pencemaran lingkungan yang sangat mengganggu untuk kesehatan, pengaruh kenyamanan, dan yang sangat penting yaitu pegaruh keselamatan. Pengaruh yang dialami penghuni pemukiman liar di pinggiran sungai yaitu bahaya banjir yang akan mengancam mereka kerugian di sini adalah kerugian materi yaitu mereka akan kehilangan harta benda akibat luapan air sungai bahkan nyawa para penghuni pemukiman liar tersebut juga akan terancam.
Biasanya penghuni pemukiman liar untuk mempertahankan hidupnya mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang sapu jalanan, pengamen, pemulung, pengemis, gelandangan, dan pedagang kaki lima. Dengan bekerja seperti itu mereka bisa mempertahankan hidupnya di pemukiman tersebut sehingga menjadi komunitas kumuh di perkotaan. Selanjutnya penuntutan kebutuhan sarana dan prasarana pemukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan pemukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah sehingga kapasitas daya dukung sarana dan prasarana lingkungan pemukiman yang ada mulai menurun yang pada gilirannya memberikan kontribusi terjadinya lingkungan pemukiman liar.
Dengan bermodalkan pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan (kota) yang kurang memadai mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Terjadinya perilaku menyimpang ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dengan yang diharapkan dan tidak dapat memperbaiki kehidupan masyarakat.
Terbentuknya pemukiman disepanjang aliran sungai Kapuas baik di jembatan Landak, jembatan tol 1, dan jembatan tol 2, membuat kelompok kami tertarik untuk mengetahui apakah daerah tersebut tergolong pemukiman liar/squater area  atau pemukiman kumuh/slum area dan masalah sosial apa saja yang terjadi disekitar pemukiman ini. Berdasarkan latar belakang tersebut timbul pertanyaan apakah penyebab terbentuknya pemukiman liar di Pontianak ? apa sajakah masalah-masalah yang timbul akibat pemukiman liar ? bagaimana upaya untuk mengatasi pemukiman liar di Pontianak ?.

Tujuan Penulisan Artikel
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah:
1.      Untuk mengetahui penyebab terbentuknya pemukiman luar di Pontianak.
2.      Untuk mengetahui masalah-masalah yang timbul akibat pemukiman liar.
3.      Untuk mengetahui upaya untuk mengatasi pemukiman liar di Pontianak.

Tinjauan Pustaka
A.      Pengertian Pemukiman Liar
Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, di diami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).
Menurut Patrick McAuslan (1986), dalam Purnawan (2004), kehadiran permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam:
1.         Massa permukiman liar yang diorganisir.
2.         Keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka.
3.         Permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun. Berbekal sedikit sumber finansial, keterampilan dan akses lain, serta adanya kebebasan nyata untuk mendiami lahan kosong ilegal telah memberi kemungkinan bagi mereka untuk membangun tempat-tempat perlindungan darurat (Srinivas, 2007).


B.       Masalah-masalah Pemukiman Liar
Permukiman liar umumnya berada di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Terbentuknya permukiman liar tersebut dipengaruhi juga oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbangunnya permukiman liar seperti pertumbuhan ekonomi yang lambat, peraturan pemerintah kota yang setengah hati, program pembangunan perumahan rakyat yang tak berjalan mulus, sosial ekonomi, pendidikan dan keahlian, aksesibilitas, pengawasan tanah kurang ketat, kurangnya pengetahuan dan kesadaarn hukum, dan ketersediaan lahan.
Keberadaan permukiman liar memberi dampak negatif terhadap tata ruang kota, secara umum dampak yang diakibatkan adalah degradasi lingkungan hidup dan degradasi kehidupan sosial. Degradasi lingkungan hidup ini merupakan penurunan kualitas lingkungan itu sendiri. Masalah-masalah yang timbul dapat dilihat dari ruang terbuka hijau yang semakin berkurang, drainase semakin buruk, sirkulasi terganggu, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat.
1.         Ruang Terbuka Hijau Berkurang
Berkurannya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat mengganggu fungsi RTH  secara ekologis, dimana secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota.
2.         Drainase Semakin Buruk
Permukiman yang tidak dirancang dengan baik akan mengganggu sistem drainase di daerah permukiman itu sendiri, dimana drainase ini berfungsi sebagai saluran penyerapan air ke dalam tanah, yang pada akhirnya akan mengakibatkan banjir di daerah tersebut.
3.         Sirkulasi Terganggu
Sirkulasi transportasi di suatu daerah akan terganggu jika permukiman liar berada pada jalur- jalur transportasi, seperti jalur kereta api dan pinggir jalan tol.
4.          Tingkat Kesehatan Masyarakat Menurun
Areal yang difungsikan sebagai permukiman liar tersebut, bukanlah lahan pribadi yang dimiliki oleh pemukim. Secara tidak langsung, rasa bertanggung jawab dari pemukim tersebut sangat kurang, maka dari itu kualitas lingkungan di daerah tersebut sangat rendah. Kualitas lingkungan yang rendah ini dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat semakin menurun.
Degradasi kehidupan sosial merupakan suatu penurunan kualitas kehidupan sosial yang dialami oleh penduduk atau masyarakat sebagai penghuni permukiman liar, yang termasuk didalam degradasi kehidupan sosial adalah meningkatnya kriminalitas, dan bertambahnya pengemis di lingkungan tersebut.
1.         Kriminalitas Meningkat
Individu yang tinggal di permukiman liar tersebut, sebagia besar berasal dari desa dan cenderung individu yang datang tidak mempunyai kemampuan atau kemampuannya kurang. Hal ini dapat mempengaruhi individu tersebut dalam mendapatkan pekerjaan. Dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, akan mempengaruhi pola pikir individu tersebut menjadi keras, jika individu tersebut tidak berhasil dalam mendapatkan pekerjaan, secara tidak langsung mereka terpancing untuk melakukan tindakan kriminal.
2.         Bertambahnya Pengemis
Skill dan pendidikan yang rendah, tidak mampu bersaing akan mendorong penghuni dari permukiman liar yang ada di perkotaan untuk melakukan aktivitas mengemis.
Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.


C.       Upaya Mengatasi Pemukiman Liar
Walaupun kerap kali Pemerintah telah melakukan penggusuran terhadap mereka yang tinggal di bantaran sungai, tetapi tak lama kemudian timbul lagi pemukiman di sekitar bantaran sungai. Hal ini mungkin dikarenakan Pemerintah tidak memberikan solusi terhadap orang-orang yang di gusur tersebut.
Berikut ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi pemukiman liar ini diantaranya:
1.         Membangun Ruman Susun
Rumah susun akan dapat menampung masyarakat. Jadi akan lebih baik jika mereka tinggal di rumah susun yang walaupun tidak terlalu mewah, tetapi lebih nyaman daripada tinggal di bantaran sungai.
2.         Pemahaman Mengenai Dampak Tinggal di Bantaran Sungai
Tinggal di tempat yang jauh dari layak huni ini akan menyebabkan banyak masalah yang akan timbul misalnya masalah air. Setiap orang yang tinggal di bantaran sungai akan menggunakan air sungai untuk mandi, mencuci bahkan untuk memasak. Padahal air di sungai tersebut tidak bisa dijamin kebersihanya. Maka yang timbul nantinya adalah berbagai penyakit.
3.         Menggalang Program Pembersihan Sungai
Lingkungan sekitar bantaran sungai akan nampak lebih indah apabila tidak ada sampah-sampah dan kotoran di sekitar sungai jadi bisa dilakukan dengan pengerukan sungai untuk mengangkat sampah-sampah yang ada.
4.         Membuka Lapangan Kerja Baru
Dengan pembukaan lapangan kerja baru maka mereka yang tinggal di bantaran sungai tersebut sedikit banyak akan dapat menambah pundi-pundi perekonomian mereka sehinnga pada akhirnya mereka bisa pindah dan mencari pemukiman yang lebih layak.
Hal tersebut merupakan program yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota-kota besar termasuk kota besar seperti Jakarta. Seperti tertuang pada Perda tentang larangan untuk mendirikan bangunan di bantaran kali dalam Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1/2012 tentang Recana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2030, dan Perda tentang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta.
Dengan adanya kesadaran semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat diharapkan Ibu Kota Jakarta tercinta ini terbebas dari pemukiman-pemukiman liar di sekitar bantaran sungai, karena itu hanya akan mengurangi keindahan di Kota ini dan menyebabkan wabah penyakit. Untuk itu sebagai masyarakat kota Jakarta yang baik mulailah kita turut ikut melestarikan keindahan kota ini.

(http://www.yukiwaterfilter.com/in/artikel-180-tanggulangi-pemukiman-liar.html)

METODE YANG DIGUNAKAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumenter dan wawancara responden dengan daftar pertanyaan. Penelitian dilakukan di sekitar bantaran sungai Kapuas kota Pontianak dengan menggunakan data yang diperoleh dari ketua RT dan beberapa warga sebagai unit analisis. Adapun data-data yang dikumpulkan adalah:
1.      Data dari warga dan ketua RT kelurahan Tanjung Hulu.
2.      Data dari warga dan ketua RT kelurahan Tambelan Sampit.
Selain itu digunakan referensi pendukung untuk membantu dalam melakukan analisis. Data-data terkait tersebut kemudian diolah, disusun dan dianalisis berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan tinjauan pustaka yang sudah dibangun.


HASIL DAN PEMBAHASAN

1.    Penyebab Terbentuknya Pemukiman Liar di Pontianak
Dalam perkembangan suatu kota sangat erat kaitannya dengan mobilitas penduduknya. Masyarakat yang mampu cenderung memilih tempat huniannya keluar dari pusat kota. Sedangkan bagi masyarakat yang kurang mampu akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota khususnya kelompok masyarakat urbanisasi yang ingin mencari pekerjaan dikota. Tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh kantong masyarakat yang kurang mampu serta kebutuhan akan akses ke tempat usaha menjadi penyebab timbulnya lingkungan pemukiman liar di perkotaan.
Seperti halnya yang terjadi di daerah bantaran aliran sungai kapuas (jembatan tol 2) kelurahan Tanjung Hulu RT 03 RW 13, permukiman liar yang ada di daerah sini terjadi karena adanya mobilitas penduduk dari berbagai daerah dari luar Pontianak seperti daerah Sekadau, Batang Tarang, Ketapang, Sumatera Utara bahkan ada yang dari pulau Jawa. Sebagian besar masyarakat yang melakukan mobilitas merupakan masyarakat yang kurang mampu dan masih mencari-cari pekerjaan. Karena keadaan ekonomi dan tidaknya fasilitas perumahan yang tersedia, maka para urbanisan memilih mendirikan perumahan di daerah tidak bertuan atau tanah sengketa yakni di dekitar aliran Sungai Kapuas. Jumlah penduduk yang tinggal di wilayah ini kira-kira 400 lebih orang dengan 84 KK. Sebelumnya daerah ini dihuni oleh 124 KK, karena adanya penggusuran maka mereka pindah ke daerah lain seperti selat panjang.
Dekat dengan tempat kerja, pasar, dan dekat dengan fasilitas kota merupakan alasan lain mengapa mengapa mereka memilih tinggal di di daerah pinggiran Sungai Kapuas. Dibangunnya perumahan oleh sektor non-formal, baik secara perorangan maupun dibangunkan oleh orang lain dapat mengakibatkan munculnya lingkungan perumahan liar, yang padat, tidak teratur dan tidak memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi standar teknis dan kesehatan. Warga yang tinggal di sini rata-rata berprofesi sebagai Pemulung, tukang bangunan, buruh, pedagang bahkan pensiunan TNI dan juga anggota Polri (Polisi Republik Indonesia).
Lain halnya dengan daerah jembatan tol 1 kelurahan Tambelan Sampit, sebagian besar penduduk di daerah sini merupakan warga asli Pontianak. Hanya beberapa saja yang dari daerah di Luar Pontianak misalnya daerah Sekadau, Terindak, Sambek, Jawa Tengah. Seperti yang mendiami RT 02 RW 07 rata-rata merupakan warga asli Pontianak. Daerah ini dihuni sekitar 300 orang/RT dari 35-50 KK. Mereka mendiami daerah pinggiran sungai karena daerah itu merupakan tanah warisan leluhur mereka. Hal ini tercermin dari bangunan rumah lebih bagus dan tata ruangnya lebih rapi. Berdasarkan penjelasan Ibu Ventia dari RT 02 RW 07, daerah tempat tinggalnya dulunya masih berupa tanah, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman tanah yang menjadi penopang rumah lambat laun di penuhi oleh air karena erosi. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Mahmud dari RT 04 RW 01, beliau mengatakan bahwa sekitar tahun 1975 setelah masuk perusahaan atau PT tanah di daerah sekitar sungai mulai terkikis sedikit demi sedikit. Sebagian warga yang tinggal di kelurahan Tambelan Sampit sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Warga di sini rata-rata berprofesi sebagai tukang bangunan, buruh harian lepas, pedagang, pengusaha (kardus) dan terambak ikan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat kelompok kami simpulkan ada dua hal yang menjadi penyebab terbentuknya pemukiman di tepi sungai kapuas. Pertama, pemukiman ini terjadi karena tanah yang mereka tinggali merupakan tanah warisan. Hal ini seperti yang terjadi di kelurahan Tambelan Sampit. Kedua karena tanah tidak bertuan atau tanah sengketa. Ini bisa dilihat di daerah jembatan Landak kelurahan Tanjung Hulu.

2.    Masalah-masalah yang Timbul Akibat Pemukiman Liar
Dari segi pemerintahan, pendirian daerah pemukiman liar yang tidak memiliki surat-surat lengkap dan KTP dapat menimbulkan masalah antara warga dengan pemerintah selain itu pemerintah dianggap dan dipandang tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan terhadap masyarakat. Sementara pada dampak sosial, masyarakat didaerah sini berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah sehingga menambah kumuh tata kota Pontianak. Tidak memiliki surat-surat lengkap tidak membuat warga merasa takut atau was-was, perasaan mereka biasa-biasa saja.
Masyarakat yang tinggal di pemukiman ini baik di kelurahan Tanjung Hulu maupun kelurahan Tambelan Sampit pada umumnya memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang tidak tetap. Walaupun sulit mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan kemampuan yang terbatas, perilaku menyimpang di daerah pemukiman ini jarang terjadi. Bentrok antar warga jarang terjadi, mereka hidup tenteram dan damai. Hanya saja seperti di kelurahan Tanjung Hulu warga kurang memperhatikan peraturan yang ada seperti membuang sampah ke sungai, menghindari pajak, dan sebagian tidak memiliki KTP.
Walaupun demikian, gotong-royong tetap dilaksanakan. Hal ini terjadi di kelurahan Tanjung Hulu maupun kelurahan Tambelan Sampit. Perbedanya warga di kelurahan Tambelan Sampit memiliki KTP. Anak-anak yang tinggal di kelurahan Tanjung Hulu banyak yang tidak sekolah, mereka bahkan hanya tamatan SD. Lain lagi dengan anak-anak yang tinggal di kelurahan Tambelan Sampit. Mereka rata-rata sudah menempuh pendidikan hingga ke jenjang atas (SMA) bahkan ada beberapa yang melanjutkan sampai tingkat perguruan tinggi. Bahkan di Kelurahan Tambelan Sampit memiliki bangunan sekolah dari SD sampai SMA yang terletak di RT 03 RW 05.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Solihin Ahmad RT 03 RW 13 tentang kelakuan remaja di kelurahan Tanjung Hulu kami mendapatkan informasi bahwa kalangan remaja dan pengangguran, untuk mengisi kekosongan biasanya mereka main biliar, begadang di pinggir jalan dengan sampai pagi. Untuk tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya di daerah pinggiran aliran sungai ini tidak terjadi atau bisa dikatakan dalam kategori aman. Hal yang sama juga terjadi di kelurahan Tambelan Sampit hanya bedanya kalangan remaja dan pengangguran tidak ada yang begadang sampai pagi.
Jika dikategorikan secara umum permasalahan yang terjadi di daerah pemukiman liar pinggiran sungai Kapuas diantaranya ukuran bangunan yang sangat sempit dan tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni, rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah pemukiman rawan akan bahaya kebakaran, sarana jalan yang sempit dan tidak memadai, tidak tersedianya jaringan drainase, kurangnya suplai air bersih, fasilitas MCK yang tidak memadai.

3.    Upaya Untuk Mengatasi Pemukiman Liar di Pontianak
Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman liar tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi dan eksistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota maupun masyarakat sendiri selaku penerima manfaat, Pelaku dunia usaha, LSM/NGO, cerdik pandai dan pemerhati yang peduli. Apabila hal ini tidak disiapkan penanggulanganya sejak dini, maka masalah pemukiman liar tidak akan menjadi masalah ketidakmampuan kota dalam menjalankan perannya sebagai pusat pembangunan sosial, ekonomi dan politik (Sri, 1988).
Berdasarkan aspirasi masyarakat di Kelurahan Tambelan Sampit dan Kelurahan Tanjung Hulu diperlukan beberapa upaya untuk memperbaiki wilayah tempat tinggal mereka. Bagi masyarakat di Kelurahan Tanjung hulu yang mayoritasnya bukan warga asli pontianak mengharapkan adanya perumahan rusunami bukan rusunama. Lain halnya dengan masyarakat di kelurahan Tambelan Sampit. Mereka mengharapkan pembangunan seperti perluasan sarana jalan, melanjutkan program pemerintah seperti bedah rumah, aliran PDAM sampai kewilayah sungai dan pendirian tempat sampah di daerah dekat sungai.
Jika aspirasi masyarakat didengar dan dilaksanakan oleh pemerintah maka upaya untuk mengatasi masalah pemukiman liar dikota Pontianak dapat diberjalan dengan baik. Hal ini dapat menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman di wilayah kota Pontianak sehingga masalah pemukiman liar tidak lagi menjadi masalah yang besar bagi pemerintah kota.


KESIMPULAN
Perpindahan penduduk dari desa ke kota jika tidak diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan para migran, dapat menimbulkan masalah bagi wilayah yang didatangi. Kondisi perekonomian yang tidak memadai memaksa  penduduk memanfaatkan lahan kosong seperti jalur-jalur hijau dan daerah pinggiran sungai untuk membangun tempat bermukim. Pemukim membangun tempat tinggal di sepanjang pinggiran sungai yang seharusnya dibiarkan kosong karena memang peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau.  
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga baik dari kelurahan Tanjung Hulu maupun kelurahan Tambelan Sampit dapat kelompok kami simpulkan bahwa kelurahan Tanjung Hulu merupakan kelurahan dengan permukiman liar. Sedangkan kelurahan Tambelan Sampit merupakan tanah warisan leluhur yang telah mengalami erosi sehingga tampak seperti pemukiman liar di tepian aliran sungai Kapuas. Jika dikategorikan secara umum permasalahan yang terjadi di daerah pemukiman ini diantaranya ukuran bangunan yang sangat sempit dan tidak memenuhi standart untuk bangunan layak huni, rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah pemukiman rawan akan bahaya kebakaran, sarana jalan yang sempit dan tidak memadai, tidak tersedianya jaringan drainase, kurangnya suplai air bersih, fasilitas MCK yang tidak memadai.
Walaupun daerahnya tampak kumuh dan potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan masyarakat masih bisa hidup tenteram dan rukun satu sama lain. Kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya di daerah pinggiran aliran sungai ini tidak terjadi atau bisa dikatakan dalam kategori aman.
Cara mengatasi pemukiman kumuh ini dapat dilakukan oleh pemerintah dengan cara menjalin kerjasama dengan pihak swasta dan masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Sehingga permasalahan pemukiman kumuh ini dapat diatasi dengan tuntas sehingga tidak menjadi masalah bagi pemerintah kota Pontiaanak.

DAFTAR PUSTAKA

Nona Winda. 2014. Pemukiman Kumuh dan Liar. Tersedia pada http://nonawinda.blogspot.co.id/2014/07/pemukiman-kumuh.html (diakses pada 27 November 2015)
Citra Wayan . 2012. Keberadaan Pemukiman Liar Dalam Tata Ruang Kota. Tersedia pada http://citra-wayan.blogspot.co.id/2012/03/keberadaan-permukiman-liar-dalam-tata.html (diakses pada  27 November 2015)
Anonim. 2014. Tanggulangi Pemukiman Liar. Tersedia pada http://www.yukiwaterfilter.com/in/artikel-180-tanggulangi-pemukiman-liar.html (diakses pada 27 November 2015)