Thursday, May 26, 2022

INSTAGRAM SEBAGAI PANGGUNG DRAMATURGI ERVING GOFFMAN

ERVING GOFFMAN

sumber: https://www.sosiologi79.com/

A.          Biografi Erving Goffman

Goffman lahir di Mannville, Alberta, Kanada pada 11 Juni 1922. Ia lahir dalam keluarga Yahudi Ukraina dari pasangan Max Goffman dan Anne Goffman. [1]Pada tahun 1972 Goffman menikah dengan Angelica Choate, setahun kemudiaan putra pertama mereka Thomas Goffman lahir. Akibat penyakit mental, tahun 1964 Angelica meninggal bunuh diri. Tahun 1981 Goffman menikah lagi dengan Gillian Sankoff seorang sosiolinguistik. Dari pernikahan ini lahir seorang putri bernama Alice Goffman. Alice Goffman mengikuti jejak sang ayah menjadi seorang sosiolog. Enam puluh (60) tahun kemudian tepatnya 19 November 1982 di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat Goffman meniggal dunia karena kanker usus.

Goffman pernah terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Manitoba jurusan kimia, namun ia berhenti dari studinya. Goffman meraih gelar Bachelor of Arts (B.A) tahun 1945 di Universitas Toronto, gelar Master of Arts tahun 1949 di Universitas Chicago, dan gelar Philosophy Doctor (Ph.D) tahun 1953 juga di Universitas Chicago. Tahun 1958 meraih gelar Guru Besar, tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of Incarceration. Dan tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim. Ia juga menjabat sebagai Presiden dari American Sociological Association tahun 1981-1982.

Sepanjang kariernya sebagai Sosiolog, Ervin Goffman banyak menghasilkan tulisan, baik buku maupun artkel ilmiah. Salah satu teori yang cukup populer dari Goffman adalah teori dramaturgi dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life. [2]Tulisan Goffman yang telah dibukukan adalah sebagai berikut:

B.          Pandangan yang mempengaruhi

Paradigma Goffman tidak terlepas dari pengaruh antropologi sosial, observasi partisipan, dan tradisi penelitian sosiologi. Ada beberapa pandangan ahli interaksionisme simbolik yang mempengaruhi Eving Goffman adalah diantaranya Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, dan Herbert Blumer[3].



                          Skema Pengaruh Pandangan Interaksionisme Simbolik terhadap Goffman

     Sumber: [4]sosiologi.fis.unp.ac.id        

  

Perbedaan antara Perspektif Goffman dengan interaksionis simbolik adalah bagaimana Goffman memperhatikan cara "individu sebagai masyarakat .... memaksa untuk menghadirkan suatu citra diri tertentu .... memainkan antara banyak peran yang rumit, yang juga membuat individu selalu kurang jujur, tidak konsisten dan tidak terhormat".

Pandangan dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-hari pasti menampilkan bagian depan (front) sebagai bentuk pengeskpresian diri mencakup penampilan dirinya atau citra diri di khalayak ramai. Bagian belakang (back) adalah ekspresi diri yang disembunyikan atau penampilan diri yang tidak ada pada front stage (diri individu apa adanya tidak dibuat-buat).

C.          Esensi Teori Dramaturgi

Dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life Goffman menjelaskan proses dan makna dalam berinteraksi. Goffman menganalogikan dunia sosial seperti panggung sandiwara. Dalam hubungan sosial, seorang individu menjadi aktor atas statusnya dan bebas memainkan peran dirinya. Asumsi Goffman bahwa peran yang ditampilkan aktor dalam interaksi mengandung simbol tertentu. Simbol tersebut digunakan individu untuk menunjukkan citra (image) diri agar bisa diterima orang lain. Goffman menyebutnya impression management (pengelolaan kesan).

Kehidupan sosial ini bagi Goffman dibagi menjadi “panggung depan” (front stage) dan “panggung belakang” (back stage). Front stage memungkinkan aktor bergaya, menampilkan, atau memainkan peran yang sudah ditentukan oleh dirinya sendiri. Sedangkan back stage merupakan tempat dimana aktor mempersiapkan perannya untuk menampilkan hal terbaik di front stage. Front stage ibarat “panggung” sandiwara yang dipertontonkan, sedangkan back stage ibarat ruang ruang ganti utnuk mempersiapkan diri, atau sekedar berlatih.

 Goffman membagi Front stage menjadi dua bagian yakni front pribadi (personal front) dan setting. Personal Front situasi atau alat yang dianggap sebagai perlengkapan dibawa aktor ke dalam setting (situasi fisik). Tanpa setting aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukan. Misalnya seorang guru memerlukan ruang kelas (setting), membawa perlengkapan mengajar, berpenampilan rapi, serta menggunakan sepatu. Personal front juga mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Bagian ini juga mungkinkan aktor memanipulasi perannya misalnya melembutkan tutur katanya, menghitamkan rambutnya dan sebagainya.

Berbeda dengan Front stage, panggung belakang (back stage) memungkinkan aktor berbicara dengan kata-kata kasar, duduk dan berdiri sembrono, merokok, berpakaian seenaknya, mengomel, berteriak, bertindak agresif, bersenandung dan sebagainnya. Panggung depan dan penggung belakang biasanya sangat berbeda. [5]Ada 7 alasan yang disembunyikan aktor dalam pertunjukkan yakni:

Goffman berpendapat bahwa umumnya orang-orang akan berusaha menunjukkan diri dalam pertunjukan mereka di pangung depan, mereka merasa perlu menyembunyikan hal-hal tertentu yang dapat merusak peran yang sedang dimainkannya dan menaruhnya di belakang panggung agar tak terlihat oleh penonton. Dari hal ini ada 4 hal yang Goffman coba tampilkan tampilkan dalam dramaturgi yakni front stage, back stage, audience (penonton), impression management (pengelolaan kesan). Hal tersebut dapat dipahami sebagai berikut:

1.             Panggung Depan (Front Stage)

Panggung depan merupakan tempat dimana aktor memainkan peran yang ingin dimainkan di depan penonton.

2.             Panggung Belakang (Back Stage)

Panggung belakang merupakan tempat dimana aktor mempersiapkan diri, beristirahat, melakukan latihan, atau segala upaya untuk menunjang perannya di depan panggung.

3.             Penonton (Audience)

Penonton merupakan orang yang menonton suatu permainan peran atau pertunjukan yang dimainkan oleh aktor.

4.             Pengelolaan Kesan (Impression Management)

Pengelolaan kesan merupakan upaya atau alasan aktor memainkan sebuah peran sehingga menumbuhkan kesan sesuai dengan citra diri yang ingin dilabelkan pada aktor. 

D.          Instagram sebagai panggung Dramaturgi

Pada tulisan kali ini tidak melihat sisi negatif dari sosial media. Dengan acuan dramaturgi Goffman kita membahas sosial media sebagai sarana pengakuan diri untuk membangun image seseorang di dunia maya.

 Seperti yang sudah kita ketahui bersama, di era millennial saat ini, semua orang rata-rata mengenal dan bersosial media. Salah satu contoh sosial media yang digunakan adalah platform instagram. Dewasa ini sosial media instagram menjadi hal yang lumrah untuk dimiliki. Instagram memudahkan penggunanya berpartisipasi, berkomunikasi, bersosialisasi, mencari teman, berbisnis, dan mencari informasi ter-update dengan siapa saja dibelahan dunia manapun.

Bahkan dalam jurnal [6]Teaching and Teacher Education dunia pendidikan mulai melirik media sosial instagram untuk menunjang pembelajaran. “ …… They also make professional use of sites not originally created with educators in mind, and Instagram is yet another example of this phenomenon. Instagram appears to be a portal to access professional affinity spaces where teachers exchange ideas and affirmation, with a subset of users monetizing some of the idea exchanges”. (Mereka juga memanfaatkan situs secara profesional yang awalnya tidak dibuat dengan mempertimbangkan pendidik, dan Instagram adalah contoh lain dari ini fenomena. Instagram tampaknya menjadi portal untuk mengakses ruang afinitas profesional di mana guru bertukar ide dan penegasan, dengan sebagian pengguna yang memonetisasi beberapa pertukaran ide).

Media sosial berbasis foto ini berdiri sejak tahun 2010 dan mampu bersaing dengan platform medsos lainnya. [7]Tujuan umum dari Instagram itu sendiri salah satunya yakni sebagai sarana kegemaran dari masing-masing individu yang ingin mempublikasikan kegiatan, barang, tempat atau pun dirinya sendiri kedalam bentuk foto. Banyak pengguna instagram mengekspresikan diri untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan dirinya dengan meng-upload foto atau video. Selain itu untuk mendapatkan perhatian, meminta pendapat, menumbuhkan citra, hobi, dan untuk menambah teman.

Tentunya foto-foto dan video yang dibagikan di aplikasi instagram sering kali berbeda dengan keadaan sebenarnya. Individu atau aktor berusaha sebisa mungkin mengedit foto atau video agar terlihat lebih menarik. Dengan fitur-fitur yang ditawarkan oleh instagram, postingan yang ditampilkan terlihat instagramable sesuai keinginan pengguna. Dengan foto yang sudah dimanipulasi agar terlihat fotogenik aktor membangun sebuah citra diri. Citra diri atau image yang dibangun memiliki value yang diharapkan aktor dari pengikut instagramnya.

Pendekatan dramaturgi Goffman berintikan pandangan bahwa ketika seseorang berinteraksi dengan sesamannya, seseorang ingin mengelola kesan yang diharapkan dari orang lain terhadapnya. [8]Untuk itu, setiap orang memainkan peran yang dipilihnya di depan orang lain untuk membangun citra diri sesuai dengan keinginannya. Seseorang bisa saja memainkan peran yang berbeda dengan peran yang sebelumnya dimainkannya bergantung pada situasi apa yang sedang dihadapinya.

Di panggung Depan (Front Stage) tempat dimana aktor memainkan peran yang ingin ditampilkan, dalam hal ini adalah foto atau video yang ditampakkan dalam media sosial Instagram. Aktor memainkan peran tertentu sehingga membantu mencapai tujuan seperti keinginan yakni meningkatnya status sosial dan mendapatkan perhatian dari followersnya. Sebagai sosial media yang sangat luas dan digandrungi banyak usia mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, instagram tentunya menjadi media yang dianggap cocok sebagai Front Stage untuk bermain peran. Foto atau video (sebagai peran yang dimainkan aktor) di upload  ke instagram dapat dengan mudah dilihat oleh siapapun dan dimanapun. Hal inilah yang mempermudah seseorang dalam membangun citranya melalui dunia maya.

Di Panggung Belakang (Back Stage) sebagai tempat aktor mempersiapkan diri, beristirahat, melakukan latihan, atau segala upaya untuk menunjang perannya di depan panggung. Pada panggung belakang seorang aktor berusaha memenuhi atau mendukung peran yang akan ia mainkan. Sebelum memposting foto atau video, aktor mencari referansi atau bahkan dengan mengikuti trending terbaru untuk eksistensi atau sekedar viral.  Tidak jarang postingan aktor di front stage berbeda dengan back stage. Dipanggung belakang berkaitan dengan status seorang aktor. Bila aktor tersebut karyawan maka ia harus bekerja untuk memenuhi atau membeli barang-barang yang akan menunjang statusnya.

Menurut Goffman, penonton atau (Audience) ialah orang yang menyaksikan pertunjukan aktor panggung depannya. Penonton instagram ialah pengikut atau para pengguna instagram yang melihat, menyukai, atau berkomentar, unggahan dari aktor yang berupaya memainkan perannya dalam media sosial instagram.

Alasan seorang aktor memainkan sebuah peran demi menumbuhkan kesan sesuai dengan citra diri yang ingin dilabelkan pada aktor bagi Goffman adalah pengolahan pesan atau (Impression Management).  Aktor menunjukan perannya melalui foto-foto atau instastory yang diunggah pada akun instagram pribadinya disertai dengan caption yang mendukungnya dalam menciptakan image bahwa aktor memiliki status sosial yang tinggi. Tidak hanya ingin status sosialnya terlihat lebih tinggi dalam segi ekonomi, tetapi juga dalam segi pengetahuan. Tidak hanya itu, aktor juga kerap mengunggah quotes dengan kalimat bijak yang dibuatnya ke instagram untuk menunjukkan bahwa dirinya memiliki pengalaman hidup yang banyak sehingga membuatnya tampak seperti orang yang bijak.

Terlepas dari semua itu, tidak ada salahnya seorang username melakukan panjat sosial, walaupun sebenarnya aktor tidak benar-benar mampu secara ekonomi. Saat ini instagram juga menjadi ladang bisnis yang cukup menjanjikan. Semua orang, siapapun itu bisa menggunakan sosial medianya untuk mencari kebutuhan hidup. Selama menggunakan dengan bijak, tidak menjadi masalah jika membentuk kesan di benak followersnya bahwa aktor memiliki status sosial yang tinggi padahal dalam kenyataannya status tersebut tidak benar-benar ada.

Instagram yang digunakan sebagai panggung dramaturgi, sudah kita ketahui bersama bahwa front stage dan back stage nya berbeda. Namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua username melakukan panjat sosial atau membangun citra diri. Ada sebagian besar username menggunakan instagram sebagai album foto digital. Menyimpan semua kenangan foto dan video untuk dilihat oleh anak cucunya kelak.

Terlepas bagaimana kita bersosial media, mari menggunakannya dengan bijak. Tidak menjatuhkan atau menyinggung orang lain. Kita tidak akan terlihat keren dengan postingan yang selalu menjatuhkan orang lain. Lebih bagus lagi jika sosial media menjadi sesuatu yang menguntungkan kita secara finansial, karena kita sebagai makhluk hidup butuh makan bukan sekedar kata-kata. Sebagai conclusion, kesan realitas apapun yang aktor coba tampilkan untuk membangun image diri demi sebuah identitas sosial online, jangan sampai merugikan orang lain. Mungkin itu implementasi paling bijak yang Goffman harapkan dari kita semua.



[1] Olivia Rebeca. Erving Goffman Sosiologi. academia.edu diakses pada 3 Mei 2022

[2] Ensiklopedi dunia. Erving Goffman. p2k.stekom.ac.id diakses pada 3 Mei 2022

[3] Wirawan. Teori-teori Sosial dalam tiga paradigma: Fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Jakarta: Kencana, 2012 (255).

[4] Teori Sosiologi Modern. sosiologi.fis.unp.ac.id diakses 3 Mei 2022

[5] Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2004.  hal 116

[6] Jeffrey P. Carpenter dkk. 2020. How and why are educators using Instagram?. ELSEVIER Journal. Teaching and Teacher Education 96 (2020) 103149

[7] Mahendra, bimo. 2017. Eksistensi Sosial Remaja dalam Instagram (Sebuah Perspektif Komunikasi). Jurnal Visi Komunikasi/Volume 16, No.01, Mei 2017: 151 – 160

[8] Tian Angga Pradhana. 2019. Self-Presenting Pada Media Sosial Instagram Dalam Tinjauan Teori Dramaturgi Erving Goffman (Studi Pada Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya). Skripsi

1 comment:

  1. Pembahasannya mudah dimengerti👍👍 semangat menulis terus non

    ReplyDelete