Thursday, March 11, 2021

BELIS DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR

 

Hakikat Belis

Belis merupakan kata lain dari maskawin atau mahar bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Belis menjadi hak mutlak calon pengantin wanita yang wajib diberikan oleh pengantin pria sebelum akad nikah dilangsungkan. Belis melambangkan tanggung jawab pengantin pria terhadap wanitanya, yang kemudian menjadi istrinya. Belis adalah harta yang diberikan pada saat melangsungkan sebuah perkawinan adat. Belis menjadi unsur dalam lembaga perkawinan adatyang memegang peranan penting.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Fransiska Idaroyani Neonnub (2018:111) belis mempunyai arti untuk menentukan sahnya perkawinan sebagai imbalan jasa atau jerih payah orangtua, sebagai tanda penggantian nama si gadis. Artinya, menurunkan nama keluarga si gadis dan menaikkan nama keluarga laki-laki. Jika tidak dilaksanakan belis, pihak laki-laki tidak berhak atas pemberian nama suku atas nama sukunya.

Rodliyah dkk (2016:27) mengungkapkan “According to public opinion the meaning of belis in kinship bound understanding is a sign for showing a gratitude to a female who wishes moving to her new family relationship which in turn honoring her role as a wife of the groom”. Berdasarkan pandangan umum, makna belis dalam pengertian ikatan kekerabatan adalah tanda bagi menunjukkan rasa terima kasih kepada seorang wanita yang ingin pindah ke hubungan keluarga barunya yang pada gilirannya menghormati perannya sebagai istri pengantin pria.

Pemberian belis dianggap sebagai tradisi yang tidak terlepas dari pandangan belis sebagai sebuah budaya yang hidup bersama dengan masyarakat, khususnya dalam hal ini masyarakat Bajawa. Menurut Larry Samovar dkk (2007) seperti yang dikutip dalam skripsi Theresia Christina Nuwa tahun 2019, belis dikatakan sebagai budaya karena memuat elemen-elemen seperti, pertama, belis adalah bagian dari sejarah dan sebagai tradisi yang dilakukan dimulai dari generasi-generasi yang sudah lalu sebagai identitas yang dimiliki oleh masyarakat Nusa Tengga Timur. Kedua, sebuah budaya didalamnya terdapat nilai-nilai yang tidak hanya diikuti oleh kelompok sosial tertentu, tetapi kelompok ini pulalah yang menciptakan nilai-nilai tersebut. Nilai dalam suatu budaya sebagai pedoman tentang bagaimana seorang individu dalam sebuah kebudayaan masyarakat tertentu harus memahami sesuatu dan berperilaku.

Ketiga, belis hidup ditengah-tengah kelompok sosial yakni masyarakat yang terdapat agen-agen sosialisasi seperti keluarga, pemerintah, institusi pendidikan dan masyarakat itu sendiri. Maka, budaya dikaitkan dengan internalisasi nilai-nilai yang berkelanjutan dari tiap generasi yang hidup dalam sebuah komunitas sosial. Keempat, bahasa sebagai elemen yang menjalankan elemen lainnya. Melalui bahasa, nilai-nilai membudaya dari tiap generasi dapat dikomunikasikan. Bahasa tidak hanya memberikan ruang untuk berbagi gagasan, perasaan dan informasi, namun melalui bahasa itulah budaya dapat ditransmisikan.

Belis dianggapnya sebagai na buah ma an mane (suatu simbol untuk mempersatukan laki-laki dan wanita sebagai suami istri). Selain itu juga belis dipandang sebagai syarat pengesahan berpindahnya keanggotaan suku dari suku wanita ke suku suaminya. Oleh karena selama belis belum terbayar dalam perkawinan belis dihutang, suami harus tinggal di rumah orang tua wanita dan tidak berhak atas anak-anaknya. Hal ini juga karena adanya anggapan bahwa laki-laki itu sebagai balas jasa pada ibu dan kakeknya yang wanita yang telah melahirkan dan memelihara serta membesarkannya.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981:95) belis di Nusa Tenggara Timur pada umumnya berupa emas, perak, dan hewan, seperti kerbau dan kuda. Barang-barang lain berupa bahan makanan, misalnya beras, jagung dan sebagainya. Pada beberapa daerah tertentu belis berupa barang-barang khusus, seperti di Alor belis 'biasanya berupa Moko (nakara kecil), di Flores Timur dan Maumere (Sikka) berupa gading gajah.

Mengenai besarnya belis, ditentukan oleh tinggi rendahnya status sosial wanita dan oleh hasil perundingan antara pihak 1aki-laki dan pihak wanita. Untuk menentukan siapa yang akan menerima bagian dari belis, biasanya diadakan perundingan lebih dulu. Orang-orang yang tentu mendapat bagian yaitu: Orangtua wanita, paman, kakak, tua adat. Dalam pembayaran belis, sering ditambah dengan kewajiban menurut adat karena pelanggaran-pelanggaran atau denda-denda karena kesalahan yang jumlahnya tidak sedikit. Bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur, urusan kawin termasuk pengadaan belis bukan merupakan urusan individu yang bersangkutan atau keluarga inti, tetapi merupakan urusan clan secara keseluruhan. Belis dikutip dari Neonnub (2018:111) mempunyai beberapa fungsi untuk pihak laki-laki dan perempuan antara lain:

a.              Alat penentu sahnya perkawinan.

b.             Sebagai alat mempererat hubungan keluarga.

c.              Sebagai penanda bahwa si gadis telah keluar dari keluarga asal.

d.             Alat menaikkan nama keluarga laki-laki.

 

Dikutip dalam skripsi Sri Wahyuni (2016:8) “Belis mempunyai fungsi ekonomi, sosial, moral dan lambang status perempuan. Belis juga mempunyai makna yang sangat penting dalam perkawinan adat. sebagai bentuk penghargaan, penghormatan kepada perempuan dan keluarganya, belis sebagai pengikat hubungan perkawinan, belis merupakan alat pengesahan perkawinan, lambang status perempuan”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Siti Rodliyah (2018:65) dalam penelitiannya sebagai berikut:


Keberadaan belis seiring dengan fungsi dan makna sosial masyarakat NTT. Belis mencerminkan prestise dan harga diri wanita maupun pria; antara belis yang terbayar lunas ataupun tidak, belis menunjukkan norma sosial dan kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Nilai sosial belis memupuk kerja sama antar keluarga yang bersangkutan.Belis dalam pelunasannya sering melibatkan keluarga besar pihak pria maupun wanita. Menghormati wanita dan keluarga orang tua mereka adalah sebuah bentuk nilai sosial yang diajarkan dalam tradisi belis.

Dalam pembayarannya, belis bisa berdampak positif dan negatif. Dampak positif dari pemberian belis seperti yang dikutip dalam jurnal yang di tulis oleh Neonnub (2018:112), antara lain:

a.              Martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat.

Melalui pemberian belis martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat atau diangkat karena pihak pria dianggap mampu membayar belis yang ditentukan oleh pihak keluarga wanita.

b.             Pihak keluarga wanita merasa dihargai.

Maksud dari pemberian belis ini adalah sebagai imbalanm jasa atau penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan jerih payah orangtua selama melahirkan dan memlihara si gadis sampai dewasa.

c.              Munculnya sebuah kekerabatan baru.

Dengan memberikan belis akan muncul sebuah kekerabatan baru antara keluarga wanita dan pria. belis dijadikan sebagai pengikat.

d.             Calon pengantin

Melalui pemberian belis, calon pengantin pria dan wanita sudah mendapat restu dari orangtua dan keluarga sehingga boleh melanjutkan hubungan kejenjang perkawinan.

 

Selain dampak positif, belis juga ada dampak negatif. Adapun dampak negatif dari pemberian belis, antara lain:

a.              Martabat wanita direndahkan

Dengan pemberian belis kepada keluarga wanita, pihak pria merasa bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga martabat wanita direndahkan dan wanita kurang dihargai dalam hidup berumah tangga.

b.             Pihak laki-laki merasa malu

Jika pihak pria tidak mampu membayar belis maka pria akan tinggal di rumah keluarga wanita dan bekerja untuk keluarga wanita. Wanita merasa statusnya lebih tinggi dari pria itu sehingga pria akan merasa malu.

c.              Pertentangan diantara kedua keluarga

Hal ini terjadi karena belis yang dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi sehingga pihak pria tidak mampu membayarnya.

d.             Menimbulkan utang piutang

Jika tak mampu membayar belis, maka keluarga laki-laki mengambil jalan pintas dengan meminjam uang pada pihak lain sehingga menimbulkan utang piutang.


Ada beberapa pola perkawinan yang ada pada masyarakat Nusa Tenggara Timur.


a.              Pertama, kawin pinang: perkawinan yang didahului dengan peminangan, sesuai dengan adatnya. Ini merupakan perkawinan yang ideal.

b.             Kedua, Kawin lari: hal ini terjadi apabila, anak sudah saling mencintai tetapi orangtua tidak setuju. Setelah mendapat perlindungan adat, perkawinan dilanjutkan seperti biasa, dengan pembayaran belis dan denda-denda lainnya. Apabila belisnya dibayar kontan, maka si istri langsung dapat pindah ke clan suaminya. Sedang apabila belis dihutang mengakibatkan kawin masuk. Suami harus menetap di pihak wanita selama belis belum terbayar lunas.

c.              Ketiga, kawin menggantikan yaitu seorang yang ditinggalkan mati atau oleh karena suaminya telah lama tidak pulang (tak ada khabar dari suaminya) dikawinkan lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Ini berdasarkan cinta mencintai, bukan paksaan. Wanita tersebut dapat pula kawin dengan laki-laki lain tetapi pihak suami yang baru itu harus membayar beli kepada pihak suaminya yang lama. Apabila kawin dengan laki-laki yang masih termasuk keluarga suaminya yang lama, tidak diperlukan lagi pembayaran belis. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1981:98).


Perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya melalui beberapa tahap yaitu peminangan, pembayaran belis, dan upacara perkawinan. Peminangan pada umumnya dilakukan oleh tua adat atau ketua suku. Pada waktu meminang pada umumnya orang harus membawa sirih pinang. Pada umumnya waktu meminang menggunakan bahasa-bahasa kiasan waktu menyampaikan maksud atau ketika menjawabnya. Apabila peminangan telah diterima, barang yang dibawa waktu itu tidak dikembalikan. Jika ditolak semua barang bawaan tadi dikembalikan semuanya.

Kemudian sampai tahap kedua yakni merundingkan tentang belis. Di Nusa Tenggara Timur, belis merupakan unsur dalam lembaga perkawinan yang memegang peranan penting. Belis dianggapnya sebagai na buah ma an mane (suatu simbol untuk mempersatukan laki-laki dan wanita sebagai suami istri). Selain itu juga belis dipandang sebagai syarat pengesyahan berpindahnya keanggotaan suku dari suku wanita ke suku suaminya. Oleh karena selama belis belum terbayar dalam perkawinan belis dihutang, suami harus tinggal di rumah orang tua wanita dan tidak berhak atas anak-anaknya. Hal ini juga karena adanya anggapan bahwa laki-laki itu sebagai balas jasa pada ibu dan kakeknya yang wanita yang telah melahirkan dan memelihara serta membesarkannya.

Berdasarkan tulisan portal online yang diterbitkan oleh Multi Language Documents (2015) dengan judul Kebudayaan Ngada sebelum sampai pada pembayaran belis, dimulai dengan pengenalan dan pacaran (papa tei tewe moni neni) tahap ini merupakan tahap mencari jodoh yang dilakukan sendiri oleh sang pria. Hasil temuannya disampaikan kepada orang tuanya untuk diproses lebih lanjut dengan tata urusan yang mulai melibatkan keluarga besar dan anggota suku.

Kedua, beku mebhu tana tigi (hancurnya dedaunan di sepanjang jalan dan padatnya tanah yang sering dilalui). Disebut demikian karena inilah yang dinamakan dengan tahap penjajakan yang bukan dilakukan oleh pemuda kepada pacarnya, tetapi oleh ibunya. Ibu sang pemudalah yang aktif ke rumah calon besannya untuk menjajaki kenyataan perilaku dan sifat gadis idaman anaknya dan berupaya mendapatkan kepastian apakah gadis yang bersangkutan sungguh-sunguh bebas dari incaran pria lain selain putranya.

Ketiga, bere tere oka pale (meletakan tempat untuk sekapur sirih). Inilah tahap peminangan atau melamar. Di sini, pihak lelaki mengutus juru bicara peminangannya yang terdiri dari saudari kandung dan beberapa wanita lainnya yang dianggap layak dan mampu bersekapur sirih dengan pihak gadis pinangan dan keluarganya. Hal ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk diketahui oleh seisi kampung bahwa gadis itu telah dipinang (dilamar). Acara ini dilakukan dengan penuh persaudaraan dan keakraban sebagai suatu kerabat yang saling menerima dalam satu ikatan.

Keempat, nasa. Berarti, kedua calon suami-istri menjalankan pencocokan tingkah laku atau tahap penyamaan persepesi, visi dan misi, sebelum menikah secara adat. Masa ini boleh disebut sebagai masa pertunanganan. Kelima, zeza: yang merupakan upacara peresmian atau pengesahan perkawinan secara adat. Dalam upacara zeza ini akan dilakukan beberapa ritus pokok:

a.    Zia  ura ngana. Pada waktu ritus ini, babi dan beras diletakkan pada tempat yang sama lalu didoakan oleh tua adat kemudian dimasak untuk dimakan dalam acara tersebut.

b.     Pengurapan darah babi pada pengantin: darah babi yang dioleskan di dahi merupakan penegasan seorang laki-laki memasuki rumah wanita.

c.       Tota ura ngana untuk membaca kehendak penguasa langit dan bumi dan para leluhur guna membimbing, melindungi pengantin sesuai dengan permohonan yang diharapkan dalam pengucapan doa.

d.     Bau gae persembahan atau penyajian yang suci kepada penguasa langit dan bumi dan para luluhur sekaligus memohon perlindungan dan naungan itu.

e.   Zeza pemberian makan makanan utama berupa daging babi dan nasi kepada pengantin lelaki sebagai ujud untuk sudah boleh hidup bersama.

f.      Ritus Penutup acara penutup sering disebut dengan “Ka toka inu sobhe, lese dhe peda pawe.” Yang memiliki arti makan bersama penutup bagi semua yang hadir pada upacara tersebut.

 

 

Saturday, March 6, 2021

TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS

                                                           https://id.wikipedia.org/

A.           Sejarah Teori Strukturasi

Kemunculan teori strukturasi oleh Anthony Giddens, merupakan tanggapan terhadap klaim post-strukturalis. Strukturasi menyatakan manusia memiliki kemampuan membuat struktur dan secara sukarela menentukan struktur untuk mereka sendiri, artinya manusia memiliki kebebasan penuh untuk membangun lingkungan hidup sendiri. Kekhasan dalam teori strukturasi adalah hubungan manusia sebagai “agency” terhadap “struktur” atau institusi.

Post-strukturalisme mengkritik strukturalismenya Jean Paul Satre yang melihat struktur sebagai sesuatu yang order dan stabil serta memiliki fungsi membentuk fenomena sosial. Pemikiran ini dikritik karena adanya fakta-fakta yang melihat bahwa struktur merupakan sesuatu yang dinamis dan tidak stabil. Post-strukturalisme diungkapkan oleh Michel Foucault melihat bahwa dalam setiap layer atau konteks ruang dan waktu ada kekuasaan yang mendominasi pengetahuan dan berdampak kepada realitas sosial empirik. 

Teori Strukturasi adalah teori yang memadukan agen dan struktur. Hubungan antara agen dan struktur tersebut berupa relasi dualitas (dua sisi) yang kedua unsurnya saling menunjang. Dualitas tersebut tejadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu. Manusia selalu mempunyai ide tentang dunia sosial, tentang dirinya, tentang masa depannya, dan tentang kondisi kehidupannya. Melalui idenya manusia masuk ke dalam dunia sambil mempunyai niat untuk mempengaruhi dan mengubahnya.

 

B.            Biografi Antony Giddens

Anthony Giddens adalah sosiolog asal Britania Raya yang lahir 18 Januari 1938 dan besar di Edmonto London. Ia dibesarkan dalam keluarga kelas menengah ke bawah, putra seorang juru tulis di London Transport. Dia bersekolah di Minchenden Grammar School. Giddens adalah anggota pertama keluarganya yang kuliah. Giddens menerima gelar akademik sarjana dalam bidang sosiologi dan psikologi bersama di University of Hull pada tahun 1959, diikuti oleh gelar master di London School of Economics.  Ia kemudian memperoleh gelar PhD di Kings College, Cambridge.

Giddens terkenal karena teori strukturasi dan pandangan menyeluruh tentang masyarakat modern. Gidden dianggap sebagai salah satu kontributor sosiologi modern. Anthony Gidden juga seorang ilmuwan sosial kelas dunia yang menjadi dosen tetap sosiologi di Universitas of Cambridge pada tahun 1969 dan menjadi anggota King’s College. Di Cambridge, Gidden mengembangkan Polity Press, lembaga penerbitan akademik yang mampu memproduksi 80-an buku setiap tahunnya.

Pada awalnya Giddens terlibat dalam studi tentang pencampuran kultur, menghasilkan buku pertamanya dan mencapai penghargaan internasional, berjudul The Class Structure of Advanced Societies (1975). Selama kariernya Giddens setidaknya menulis 34 buku, diterbitkan dalam setidaknya 29 bahasa, menerbitkan rata-rata lebih dari satu buku setiap tahun. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal sebagai teori strukturasi. Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku The Constitution of Society: Outline of the Theory of Society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teoritis Giddens.

 Pada tahun 2007, Giddens terdaftar sebagai penulis buku paling referensi kelima dalam bidang humaniora. Ia memiliki jabatan akademis di sekitar dua puluh universitas berbeda di seluruh dunia dan telah menerima banyak gelar kehormatan dan penghargaan akademis. Paling tidak terdapat sembilan pokok pemikiran yang mempengaruhi Giddens: filsafat bahasa post-Wittgenstein, sosiologi fenomenologis dan etnometodologi, pendekatan dramaturgi, psikoanalisa Erik Erikson, hermeneutika, strukturalisme dan post-strukturalisme Marxisme, Heidegger, dan konsep tentang ruang waktu. Dia diberi gelar Bangsawan Hidup pada bulan Juni 2004 sebagai Baron Giddens, dari Southgate di London Borough of Enfield dan duduk di House of Lords untuk Partai Buruh. 


C.           Teori Strukturasi Anthony Giddens

Untuk memahami teori Giddens, setidaknya mempelajari pandangan-pandangannya terhadap teori fungsionalisme dan strukturalisme. Yang paling inti dalam memahami strukturasi Giddens adalah kritik kerasnya atas gejala dualisme yang melekat dalam berbagai teori, khususnya dua teori di atas. Ia tidak setuju dengan dualisme struktur dan pelaku/agen/individu, namun ia lebih menekankan apa yang ia sebut dengan dualitas. Atas fakta struktur dan pelaku bukanlah sesuatu yang saling menegasikan atau bertentangan, tapi keduanya saling mengandalkan.

Dualitas Giddens menitikberatkan pada praktik sosial yang berulang yang menghubungkan antara agen/individu dan struktur. Agen dan struktur tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi dilihat sebagai hubungan dialektik dan saling mempengaruhi. Agen dan struktur adalah dwi rangkap, yaitu seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur saling jalin menjalin dalam praktik atau aktivitas manusia.

Tindakan dilihat sebagai perulangan dimana aktivitas bukan dihasilkan sekali jadi saja oleh aktor, namun dilakukan secara terus menerus atau mereka ciptakan ulang melalui suatu cara dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor. Atau dengan kata lain Giddens menjelaskan tentang agen-struktur secara historis, processual dan dinamis. Inilah yang dimaksud oleh Giddens dengan strukturasi.

Teori strukturasi memiliki elemen yang dimulai dari pemikiran tentang agen yang terus menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka. Dalam hal ini aktor melakukan rasionalisasi kehidupan mereka. Rasionalisasi adalah mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang memberikan rasa aman kepada aktor dan kemungkinan menghadapi kehidupan secara efisien. Selain rasionalisasi aktor juga memiliki motivasi untuk bertindak yang menjadi pendorong melakukan tindakan.

Tidak hanya rasionalisasi dan motivasi, kesadaran juga diperlukan. Giddens membedakan kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata- kata. Kesadaran praktis melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.

Giddens memberi penekanan pada keagenan (agency) yakni menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu, yaitu peran individu. Agen memiliki kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial dan agen tidak akan berarti apa-apa tanpa kekuasaan agen tersebut. Paksaan dan batasan terhadap aktor tidak menjadikan aktor tidak memiliki pilihan dan peluangh untuk membuat pertentangan. Konsep strukturasi mendasari bahwa agen dan struktur adalah dua kumpulan yang tidak berdiri sedniri tetapi mencerminkan dualitas ciri-ciri struktural sistem sosial sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang dibentuk secara berulang-ulang.

Skema konsep strukturasionis tentang kekuasaan

 

Konsep kekuasaan yang diungkapkan Giddens merupakan alat analisis kehidupan sosial yang terkait dengan dualitas struktur karena kekuasaan terkait dengan tindakan manusia dan struktur. Davis menyimpulkan ada 5 karakteristik utama dari kekuasaan menurut pandangan strukturasionis yaitu (Wirawan, 2012:306-307) :

1.    Kekuasaan sebagai bagian integral dari interaksi sosial (power as integration to social interaction). Setiap interaksi sosial selalu melibatkan kekuasaan sehingga dapat diterapkan pada semua jenjang kehidupan sosial dari hal yang sempit maupun secara luas.

2.     Kekuasaan merupakan hal yang pokok dalam diri manusia (power as intrinsic to human agency). Kekuasan dapat mempengaruhi dan mengintervensi serangkaian peristiwa.

3.        Kekuasaan adalah konsep relasional termasuk hubungan otonomi dan ketergantungan (power as relational concept, involving relations of otonomy and dependence). Kekuasan bukan sekedar kapasitas transformasi aktor untuk mencapai tujuan, melainkan juga konsep relasional. Artinya setiap aktor dapat mempengaruhi lingkungan di mana peristiwa interaksi itu terjadi agar aktor lauin dapat memenuhi keinginannya.

4.      Kekuasaan bersifat membatasi dan memberi kebebasan (power as contraining as well as enabling). Kekuasaan bergandengan tangan dengan dominasi yang terstruktur dimana anggota masyarakat melakukan intervensi terhadap jalannya interaksi dan melakukan kontrol terhadap perilaku orang lain dengan adanya pemberian sanksi.

5.       Kekuasaan sebagai proses (power as process). Terjadinya hubungan dialektik antara aktor dan struktur secara kontinu melakukan produksi dan reproduksi melalui proses strukturasi.

Dualisme subjek (dirinya)-objek (struktur) berkaitan dengan orientasi individu terhadap struktur. Ada tiga orientasi individu terhadap struktur yaitu (Gidden dalam Wirawan, 2012 ; 299-300) :

1.      Orientasi rutin-praktis yaitu aktor yang secara psikologi mencari rasa aman dan berusaha menghindari akibat-akibat tindakan yang tidak disadari atau belum terbayangkan. Orientasi ini menempatkan diri invidu sebagai objek-objek.

2.       Orientasi yang bersifat teoritis. Di sini aktor mampu memelihara jarak dirinya dengan struktur masyarakat sehingga memahami tentang struktur tersebut dan memberikan respon yang muncul dari struktur tersebut.

3.    Orientasi yang bersifat strategik-pemantauan, dimana individu tidak hanya mampu memelihara jarak dengan struktur, tetapi juga memiliki kepentingan dengan apa yang dilahirkan oleh struktur tersebut sehingga dianggap cepat tanggap terhadap kondisi yang ada.

Giddens menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, di mana hubungan antara keduanya berupa relasi dualitas. Dalam hubungan dualitas, termasuk pengertian bahwa antara pelaku dan struktur tidak terpisahkan. Di antara keduanya terjadi hubungan saling mempengaruhi. Hubungan antara pelaku dengan struktur dapat dipahami melalui praktik sosial di mana praktik sosial itu sendiri merupakan kejadian atau kebiasaan sehari-hari, hasil interaksi antara struktur dan pelaku.

Menurut Giddens struktur merupakan aturan (rules) dan sumber daya (resources) dapat terbentuk dari praktik sosial. di sisi lain, pelaku/agen yang merupakan aktor dapat pula mempengaruhi struktur, dalam arti tidak harus selalu tunduk kepada struktur. Giddens menyebutkan bahwa ada tiga gugus struktur yang harus dimilki oleh agen, yakni signifikasi (signification), dominasi (domination), dan legitimasi (legitimation). Struktur signifikasi menunjuk pada pemaknaan atau simbolik, penyebutan, dan wacana. Gugus struktur dominasi menunjuk pada penguasaan baik atas orang maupun barang. Gugus struktur legitimasi menunjuk pada peraturan normatif yang tampak pada aturan hukum. Ketiga gugus struktur tersebut selain dapat membatasi, dapat pula memberdayakan pelaku.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dalam teori strukturasi merupakan hubungan dialektik yang saling mempengaruhi antara agen/individu dan struktur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agen/individu memiliki kemamuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial dan agen/individu tidak berarti apa-apa tanpa memiliki kekuasaan agen tersebut.

 

D.           Kelemahan teori strukturasi

Teori strukturasi dari Giddens ini juga dikritik oleh beberapa ahli. Misalnya Ian Craib mengkritik sebagai berikut :

1.     Pusat perhatian dari kajian Giddens yang menekankan tindakan sosial dinilai dari segi ontologis memiliki kedalaman yang kurang. Giddens dianggap gagal menjelaskan struktur sosial yang melandasi kehidupan sosial.

2.      Upaya dalam membuat sintesis teoritis tidak bertautan cesara tepat dengan kompleksitas kehidupan sosial. Craib menjelaskan bahwa kehidupan sosial itu sangat rumit dan ruwet tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan tunggal.

3.     Giddens dianggap tidak bertolak dari landasan teoritis tertentu maka ia mengalami kekurangan untuk menganalisis secara kritis tentang masyarakat modern akibatnya kritikannya terhadap masyarakat modern cendrung berkualitas khusus untuk tujuan tertentu ketimbang menganalisis secara sistematis dari inti teori tersebut.

4.   Giddens kelihatannya secara fragmentaris tidak berkaitan secara utuh menyebabkan pemikirannya dianggap sepengal sehingga teorinya tidakl dapat dipersatukan satu sama lain.

 

E.            Perubahan Kurikulum Nasional dalam perspektif teori strukturasi Giddens

Sejak 1947, Indonesia tercatat telah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 10 kali. Rata-rata rentang waktu pergantian kurikulum juga tak lama, hanya sekitar lima tahun hingga sembilan tahun. Ada kurikulum yang berganti dalam waktu hanya dua tahun. Ini sangat berbeda dengan negara maju seperti Jepang misalnya, yang berganti kurikulum minimal dengan rentang waktu 9 tahun. Bergantinya kurikulum merupakan bentuk pencarian jati diri pendidikan Indonesia. Sebab, memang belum ada kurikulum yang sempurna untuk Indonesia hingga saat ini. 

Pergantian kurikulum di Indonesia tercatat dimulai tahun 1947 dengan nama “Rencana Pembelajaran” yang kemudian berganti menjadi “Rencana Pembelajaran Terurai” pada 1953. Kemudian berganti lagi menjadi kurikulum “Rencana Pendidikan” pada 1964 dan selanjutnya “Kurikulum 1968”. Pergantian selanjutnya secara berturut-turut adalah “Kurikulum 1975”, “Kurikulum 1984”, “Kurikulum 1999”, “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)” 2004, “KTSP 2006”, “Kurikulum 2013”, sebelum akhirnya kembali lagi pada “KTSP 2006”.

Dikutip dari laman tirto.id Indonesia memang harus terus membenahi kurikulum pendidikannya. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus banyak berbenah. Hasil survei tahun 2012 yang dilakukan Programmme for International Student Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) yang dirilis pada Desember 2013. Indonesia menduduki peringkat paling bawah dari 65 negara dalam pemetaan kemampuan matematika, membaca, dan sains.

Survei itu juga mengungkap, generasi muda Indonesia memiliki kelemahan dalam higher order thinking skills (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi. HOTS mengajarkan siswa agar mampu berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif dan kreatif. Kemampuan berpikir ini akan muncul pada individu saat dihadapkan pada masalah yang belum pernah ditemui sebelumnya.

Fenomena ganti menteri pendidikan merupakan hal yang paling membuat galau. Sejarah mencatat, ganti menteri pendidikan selalu berimplikasi ganti kurikulum yang berakhir pada kerepotan sistem pendidikan nasional. Perubahan atau pergantian pejabat (menteri) sering kali dibarengi dengan pergantian kebijakan, biasanya untuk posisi kemendikbud pergantian kebijakan dalam hal kurikulum nasional. Kurikulum nasional memang perlu diperbarui terlebih lagi untuk memenuhi kebutuhan revolusi industri 4.0 tetapi jangan sampai perubahan kurikulum ini memakan "korban" belum lagi selesai workshop tentang kurikulum yang sebelumnya nanti ketika ganti kurikulum harus kembali mengulang workshop yang sudah dilakukan berkali-kali.

Fenomena ganti menteri ganti kurikulum dilihat dari kacamata Strukturasi Anthony Giddens yang di dalamnya terdapat relasi dualitas antara agen dan struktur dipergunakan sebagai acuan guna melihat kurikulum pendidikan Indonesia yang mana terus mengalami perubahan. Konsep Strukturasi Giddens tersebut digunakan untuk menjelaskan hubungan antara stakeholder pendidikan yang diposisikan sebagai pelaku (agency) dengan struktur (structure) yang oleh Giddens dikonseptualisasikan sebagai aturan (rules) dan sumber daya (resources). Struktur dinyatakan oleh Giddens selain dapat membatasi atau mengekang (constraining), dapat pula memberdayakan (enabling) pelaku. Pembatasan ataupun pemberdayaan struktur tersebut dapat dilakukan oleh negara melalui kebijakan.

Keputusan untuk melakukan perubahan kurikulum dari waktu-waktu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencetak SDM yang berkualitas dan punya identitas, karena dengan era teknologi yang berkembang dengan sangat cepat dan jika sistem pendidikan tidak banyak perubahan, maka generasi muda berikutnya akan menjadi generasi "pekerja" yang menunggu seseorang memberi pekerjaan bukan generasi pencetak kerja yang dapat membuat lowongan pekerjaan baru.

Perubahan kurikulum pendidikan diterima dan ditanggapi positif dan negatif oleh sekolah, guru, siswa, maupun orang tua murid. Untuk mengantipasi penolakan maka diperlukan langkah-langkah untuk memperkenalkan perubahan baru. Stokeholder menyediakan workshop, pelatihan, seminar, dan yang lainnya. Hal ini untuk mendukung dan melancarkan perubahan baru dari kurikulum. Dengan harapan seiring berjalannya waktu pemangku kepentingan (tenaga pendidik dan siswa) mulai terbiasa dengan sistem pembelajaran yang baru.

Giddens menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, di mana hubungan antara keduanya berupa relasi dualitas. Dalam hubungan dualitas, antara pelaku dan struktur tidak terpisahkan. Di antara keduanya terjadi hubungan saling mempengaruhi. Hubungan antara pelaku dengan struktur dapat dipahami melalui praktik sosial di mana praktik sosial itu sendiri merupakan kejadian atau kebiasaan sehari-hari, hasil interaksi antara struktur dan pelaku. Dengan pendidikan Indonesia yang masuk dalam kategori belum maju, mendorong stokeholder yang dalam kata lain memiliki kekuasaan yaitu menteri pendidikan melakukan terobosan baru. Menteri pendidikan sebagai pelaku atau agen membuat struktur sebagai acuan untuk merubah kurikulum pendidikan Indonesia. Pembatasan ataupun pemberdayaan struktur tersebut dapat dilakukan oleh negara melalui kebijakan.

Hal tersebut sesuai dengan perspektif strukturasi Giddens bahwa agen manusia secara kontinu mereproduksi struktur sosial. Gidden berpandangan perubahan itu dapat terjadi apabila agen dapat mengetahui gugus mana dalam sebuah struktur yang dapat dimasuki dan diubah, gugus tersebut antara lain adalah gugus signifikasi, dominasi dan legitimasi. Gugus signifikasi menyangkut simbol, pemaknaan individu dan wacana. Gugus dominasi merupakan bentuk penguasaan terhadap orang dan barang. Sedangakan legitimasi mencakup berbagai aturan normatif dari berbagai aturan yang terwujud dalam kebiasan sehari-hari.

Kebijakan yang diambil oleh stakeholder untuk merubah sistem pendidikan merupakan bentuk pengetahuan terhadap gugus struktur yang ada. Gugus signifikasi adalah sosok menteri pendidikan yang memiliki pemahaman pendidikan yang mendalam. Dari gugus dominasi stakeholder adalah yang dihormati. Menteri pendidikan yang sekaligus sebagai agen adalah figur penting dalam dunia pendidikan sehingga mempunyai otoritas penuh untuk mengatur perkembangan pendidikan dalam negaranya. Berdasarkan gugus signifikasi dan dominasi tersebut, menteri pendidikan mempunyai otoritas yang kuat akan mudah mendapat legitimasi dari masyarakat, sehingga bukan hal yang sulit baginya untuk melakukan perubahan dan pengembangan pendidikan dalam negaranya.

Pengembangan sistem pendidikan di Indonesia dapat dipahami sebagai langkah dinamis untuk mengembangkan desain pendidikan yang integralistik dalam berbagai disiplin ilmu dalam rangka beradaptasi dengan perubahan zaman serta memenuhi tuntutan dan kebutuahan masyarakat. Sesuai dengan konsepsi strukturasi yang digagas oleh Giddens, perenungan internal dan eksternal pihak pemangku pendidikan tersebut merupakan relasi antara agen dan struktur telah merubah cara pandang pihak sekolah (guru) tentang konstruksi keilmuan. Sehingga, berimplikasi pada pengembangan sistem pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan yang berkembang di masyarakat.

Keputusan untuk memasukkan perubahan kurikulum pendidikan mengharuskan kemendikbud untuk merekonstruksi kelembagaan yang sudah ada di sesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan perubahan tersebut. Sedangkan sumber daya (resource) mengacu pada tujuan dilakukannya perubahan kurikulum untuk memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lembaga pendidikan menjadi mandiri dan berkembang apabila memperoleh dukungan yang kuat dari masyakat, terutama dari wali murid. Dukungan orang tua dan masyarakat ini diikuti oleh harapan besar pada pendidikan Indonesia agar dapat mencetak SDM yang unggul. Dukungan dan harapan dari masyarakat khususnya orang tua murid ini sesuai dengan konsep Giddens tentang gugus legitimasi yang dimiliki oleh agen.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Wadi dan Mudzakkir. 2013. Strukturasi Perubahan Pendidikan Pesantren di Madura (Fenomena Perubahan Pendidikan Pesantren Darussalam Al-Faisholiyah di Sampang Madura). Artikel. Paradigma. Volume 01 Nomor 03 Tahun 2013

Yudomahendro. 2012. Strukturalisme dan Post-strukturalisme. Online. https://yudomahendro.wordpress.com/2012/04/18/strukturalisme-dan-post-strukturalisme/

http://sosiologi.fis.unp.ac.id/images/download/BAHAN/TEORI%20SOSIOLOGI%20MODERN.pdf